Senja merayap turun dengan cepat di antara kerapatan pepohonan, mengubah warna hijau dedaunan menjadi siluet-siluet kelam berlatar langit yang mulai memerah saga. Alam memutuskan bahwa inilah saatnya rombongan kecil mereka berhenti untuk memulihkan tenaga. Sejak pagi buta, mereka telah berjalan tanpa jeda yang berarti, sengaja menghindari jalur utama yang lebih terbuka dan memilih menembus hutan yang lebih rapat dan perawan, berharap jejak para bandit yang mereka temukan sebelumnya telah jauh tertinggal atau salah arah. Kelelahan mulai menggerogoti otot-otot mereka, napas terasa lebih berat, namun kewaspadaan tak sedikit pun kendur. Setelah beberapa saat mencari, mereka menemukan sebuah ceruk kecil yang terbentuk di antara himpitan beberapa batu besar, seolah alam sengaja menyediakannya sebagai tempat berlindung sementara. Dari atas, cabang-cabang pohon besar menjulur seperti payung raksasa, menawarkan sedikit perlindungan dari embun malam yang mulai turun.
“Kita dirikan perkemahan di sini,” kata Alam, suaranya sedikit serak karena seharian lebih banyak diam dan mengamati. “Buat api unggun kecil saja, jangan terlalu mencolok. Cukup untuk menghangatkan badan, mengusir serangga, dan memasak sedikit bekal yang tersisa. Kita tidak ingin menarik perhatian yang tidak perlu.”
Tanpa banyak bicara, Bujang yang kekar dan Hasan yang lebih ramping namun gesit segera bergerak mengumpulkan ranting-ranting kering yang berserakan di sekitar. Arip, dengan gerutuan kecil yang lebih ditujukan untuk dirinya sendiri daripada protes, mulai mengeluarkan perbekalan makanan dari dalam bakul yang dipikulnya bergantian dengan Hasan. Hanya tersisa sedikit beras, beberapa potong ikan asin yang aromanya mulai tajam, dan beberapa buah ubi hutan yang berhasil mereka temukan di perjalanan. Aisyah, dengan kebaikan hatinya, sempat membekali mereka lebih banyak sebelum berangkat, namun Alam dengan bijak memutuskan untuk membawa seperlunya agar tidak menjadi beban yang memperlambat langkah mereka.
Tak lama kemudian, api kecil mulai berderak-derak riang di tengah-tengah mereka, percikannya menari-nari ke udara, mengusir sebagian kegelapan dan dingin yang mulai merasuk. Aroma masakan sederhana—nasi liwet yang dimasak dalam bambu darurat dan ikan asin yang dipanggang di atas bara—mulai tercium, membangkitkan selera dan sedikit melonggarkan urat-urat syaraf yang tegang. Mereka duduk melingkari api unggun, kehangatan yang menjalar ke tubuh yang letih terasa begitu nikmat. Suara-suara malam hutan yang sesungguhnya baru saja dimulai: panggilan serak burung hantu dari kejauhan, derik jutaan serangga yang bersahut-sahutan menciptakan orkestra alam yang kompleks, dan gemerisik dedaunan yang tertiup angin malam, seolah hutan itu sendiri sedang berbisik-bisik.
“Menurutmu, apakah para bandit itu masih berkeliaran di sekitar sini, Lam?” tanya Hasan, suaranya pelan, nyaris berbisik, matanya tak lepas dari bayang-bayang pepohonan yang menari-nari di batas cahaya api. Ketakutannya masih kentara, meski ia berusaha menyembunyikannya.
Alam menatap nyala api yang bergoyang-goyang, pikirannya menerawang. “Sulit untuk mengatakannya, San. Bisa jadi mereka sudah jauh meninggalkan jalur ini, atau mungkin saja mereka juga sedang beristirahat, tak jauh dari tempat kita berada sekarang. Hutan ini luas, penuh liku. Yang terpenting, kita tidak boleh lengah sedikit pun. Kewaspadaan adalah tameng terbaik kita.”
Arip, yang tampaknya sudah sedikit memulihkan keceriaan khasnya setelah perutnya terisi, mencoba menghibur dengan gayanya yang biasa. “Tenang saja, Hasan-anak-emas! Ada Bujang di sini, kuatnya macam kerbau menanduk, sekali seruduk bandit-bandit itu pasti lari tunggang langgang! Dan jangan lupakan Alam, otaknya encer macam air kelapa muda, pasti sudah punya seribu satu siasat!” candanya, menyikut lengan Bujang pelan. Namun, meski bibirnya tersenyum, mata Arip tetap awas mengamati kegelapan pekat yang melingkupi mereka di luar lingkaran cahaya api unggun.
Bujang, seperti biasa, hanya tersenyum tipis menanggapi candaan Arip. Ia lebih banyak diam, menyandarkan punggungnya pada salah satu batu besar, namun Alam tahu, di antara mereka semua, Bujanglah yang memiliki pendengaran dan naluri paling tajam terhadap setiap perubahan di sekitar mereka. Telinganya seolah mampu menangkap suara langkah semut sekalipun.
Malam itu, seiring dengan semakin pekatnya kegelapan dan semakin dalamnya mereka terbuai oleh keheningan hutan yang hanya diselingi suara-suara alam, Alam merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak pernah ia rasakan dalam petualangan-petualangannya sebelumnya di pinggiran hutan Nagari Sago. Hutan ini terasa lebih hidup, lebih purba, lebih berbisik dengan bahasa yang tak ia mengerti namun getarannya terasa hingga ke relung jiwa. Ia teringat kembali cerita-cerita yang sering didongengkan Bundo Sari di surau ketika ia masih kanak-kanak. Cerita tentang Orang Bunian, makhluk halus penghuni hutan belantara dan tempat-tempat sunyi, yang terkadang menampakkan diri dalam wujud manusia rupawan, bisa menyesatkan mereka yang berniat jahat atau tak menghormati alam, namun tak jarang pula memberikan pertolongan tak terduga kepada mereka yang tersesat dengan niat baik. Bundo Sari juga pernah bercerita tentang Inyiak Balang, roh harimau perkasa yang dianggap sebagai penjaga hutan, yang akan marah jika wilayahnya diganggu namun bisa menjadi pelindung bagi mereka yang menjaga kelestarian alam. Apakah bisikan angin yang sesekali menerpa wajahnya ini hanya hembusan udara biasa, atau ada pesan lain yang coba disampaikan oleh penghuni tak kasat mata hutan ini? Ladiang yang selalu terselip di pinggangnya terasa sedikit berbeda malam ini, ada semacam getaran halus yang menjalar ke telapak tangannya, seolah benda itu pun ikut merasakan energi aneh yang menyelimuti mereka.
Tiba-tiba, di tengah lamunannya, dari kejauhan yang tak bisa dipastikan arahnya, terdengar lolongan panjang yang memecah keheningan malam. Bukan suara serigala biasa yang terkadang terdengar di perbukitan Nagari Sago. Lolongan ini lebih dalam, lebih serak, dan memiliki nada melankolis yang aneh, seolah mengandung kesedihan purba sekaligus ancaman yang tak terlukiskan. Bulu kuduk Alam seketika meremang. Suara itu begitu asing, seperti campuran antara raungan hewan buas dan sesuatu yang lain, sesuatu yang bukan berasal dari dunia nyata.
“Sua… suara apa itu, Lam?” bisik Hasan, wajahnya yang tadi sudah sedikit tenang kini kembali pucat pasi, tubuhnya gemetar tak terkendali. Ia merapatkan diri ke arah Alam, mencari perlindungan.
Bujang, dalam sekejap mata, sudah menegakkan tubuhnya yang besar, ladiang di tangannya telah terhunus, berkilauan memantulkan cahaya api unggun. Matanya nyalang menembus kegelapan, mencoba mengidentifikasi sumber suara mengerikan itu. “Aku tidak pernah mendengar suara seperti itu seumur hidupku,” katanya dengan nada suara yang berat dan serius, menunjukkan bahwa ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh.
Alam berusaha keras mengendalikan debar jantungnya sendiri. Ia harus tetap tenang, demi teman-temannya. “Mungkin… mungkin hanya hewan malam yang aneh, yang belum pernah kita temui,” katanya, mencoba terdengar meyakinkan, meski keraguan besar menyelimuti hatinya. “Hutan ini sangat luas, pasti banyak makhluk yang belum kita kenal.” Ia menepuk bahu Hasan pelan. “Jangan takut. Kita akan berjaga bergantian malam ini. Aku dan Bujang akan mengambil giliran pertama. Kalian berdua tidurlah dulu, kumpulkan tenaga untuk perjalanan besok.”
Malam itu terasa begitu panjang, diselimuti misteri dan ketegangan yang mencekik. Alam sama sekali tidak bisa memejamkan mata, bahkan ketika giliran jaganya telah usai dan digantikan oleh Arip dan Hasan. Selain ancaman nyata dari para bandit yang mungkin masih mengintai, kini ada perasaan yang tak bisa ia tepis bahwa mereka tidak sendirian di rimba raya itu. Ada kekuatan-kekuatan tak kasat mata, entah kawan entah lawan, yang seolah sedang menguji keberanian, ketahanan, dan mungkin juga niat suci mereka membawa amanah Nagari Sago. Ladiang di sisinya terasa semakin hangat, seolah menyimpan energi dari para leluhur yang pernah berjuang demi tanah Minangkabau. Ia mulai menyadari, perjalanan ini bukan hanya sekadar membawa barang dagangan ke Bukittinggi untuk membayar pajak kepada Belanda. 1 Ini adalah sebuah perjalanan penemuan jati diri, sebuah ujian bagi kepemimpinannya, dan mungkin juga sebuah perkenalan dengan dunia lain yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita-cerita lama. Tekadnya yang sekeras batu 2 kini diuji dengan cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.