Bab 10: Menyeberangi Sungai Berarus

Pusat Dokumentasi dan Informasi Padang Panjang ET Hadi Saputra

Malam yang penuh dengan suara-suara aneh dan ketegangan yang tak terucap akhirnya berlalu, digantikan oleh fajar yang merayap malu-malu di ufuk timur. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan, memberikan nuansa mistis pada hutan yang baru terbangun. Alam dan Bujang telah berjaga semalaman, bergantian dengan Hasan dan Arip menjelang dini hari. Lolongan misterius itu tidak terdengar lagi, namun jejak kegelisahan masih membekas di wajah mereka. Tidur mereka tak pernah benar-benar lelap, setiap gemerisik daun atau patahan ranting di kejauhan cukup untuk membuat mata mereka terbuka seketika.

Setelah sarapan seadanya dengan sisa ubi hutan dan seteguk air dari mata air terdekat, Alam segera mengumpulkan teman-temannya. “Kita harus melanjutkan perjalanan,” ujarnya, berusaha menyuntikkan semangat. “Semakin cepat kita bergerak, semakin cepat kita sampai di Bukittinggi, dan semakin cepat pula kita bisa membantu nagari.”

Mereka berjalan selama beberapa jam, medan yang mereka lalui semakin sulit. Jalur tikus yang ditunjukkan Bujang memang terhindar dari pengawasan manusia, namun menuntut kekuatan fisik yang luar biasa. Akar-akar pohon besar melintang seperti ular raksasa, tanjakan curam dan turunan licin silih berganti menguji ketahanan mereka. Satu-satunya kerbau yang masih mereka bawa, yang mengangkut sebagian besar beras dan rempah-rempah berharga, tampak kepayahan, namun tetap setia mengikuti langkah tuannya.

Tiba-tiba, suara gemuruh air yang semakin keras terdengar di depan mereka. Semakin dekat mereka berjalan, semakin jelas bahwa itu bukan sekadar air terjun kecil. Ketika mereka akhirnya tiba di tepi sebuah lembah yang curam, pemandangan yang terhampar di bawah membuat mereka semua terdiam. Sebuah sungai besar, lebarnya mungkin mencapai dua puluh depa, membentang gagah dengan arus yang deras dan bergolak. Airnya berwarna cokelat keruh, menandakan bahwa di hulu sana hujan deras baru saja turun. Batu-batu besar menyembul di beberapa tempat, menciptakan riak-riak putih yang ganas, dan beberapa batang pohon tumbang tersangkut di tepian, menjadi saksi bisu kekuatan alam.

“Sungai Batang Antokan,” gumam Bujang, matanya menyipit memandang aliran air yang liar. “Arusnya selalu deras, apalagi di musim penghujan seperti ini. Biasanya ada jembatan bambu sederhana sedikit ke hilir, tapi entah masih ada atau sudah hanyut.”

Hasan menelan ludah, wajahnya tampak khawatir. “Bagaimana kita akan menyeberang, Lam? Arusnya terlalu kuat untuk berenang, dan kerbau ini… dia tidak akan bisa melewatinya begitu saja.”

Arip, meskipun juga terlihat gentar, mencoba berkelakar. “Wah, ini seperti ujian dari Inyiak Penjaga Sungai. Mungkin kita harus mempersembahkan ikan asin terakhir kita agar diizinkan lewat,” katanya, namun tak ada yang tertawa.

Alam terdiam sejenak, matanya memindai seluruh bentangan sungai di hadapannya, menganalisis setiap detail. Ladiang di pinggangnya [3] kembali terasa memberikan sensasi hangat yang samar, seolah mengingatkannya untuk tetap tenang dan berpikir jernih. Ia adalah pemimpin, dan harapan teman-temannya bergantung padanya. “Kita tidak punya banyak pilihan,” katanya akhirnya. “Mencari jembatan atau bagian sungai yang lebih tenang bisa memakan waktu berhari-hari, dan kita tidak punya kemewahan itu. Kita harus menyeberang di sini.”

“Tapi bagaimana caranya?” desak Hasan.

Alam menunjuk ke beberapa pohon besar yang tumbuh kokoh di tepi sungai di sisi mereka dan juga di seberang. “Bujang, kau yang paling kuat. Kita akan coba tebang salah satu pohon yang lebih ramping di sini, usahakan agar tumbangnya melintang dan bisa mencapai batu besar di tengah sungai itu. Dari sana, kita akan cari cara lagi untuk ke seberang. Arip, Hasan, kumpulkan semua rotan dan akar-akaran kuat yang bisa kalian temukan. Kita mungkin perlu membuat tali atau rakit kecil untuk barang-barang dan kerbau ini.”

Rencana itu terdengar nekat, namun tak ada yang membantah. Mereka tahu Alam tidak akan mengambil keputusan gegabah tanpa pertimbangan matang. Bujang segera mengeluarkan kapak kecil yang selalu terselip di punggungnya dan mulai memilih pohon yang paling strategis. Suara tebangannya menggema di lembah, bersaing dengan gemuruh sungai. Hasan dan Arip berpencar, dengan cekatan mencari dan mengumpulkan sulur-sulur rotan yang kuat dan panjang.

Pekerjaan itu memakan waktu hampir setengah hari. Matahari sudah condong ke barat ketika pohon yang mereka tebang akhirnya roboh dengan suara berdebam keras, ujungnya jatuh beberapa jengkal dari batu besar di tengah sungai yang dituju Alam. Itu belum sempurna, tapi cukup untuk menjadi pijakan awal.

“Sekarang bagian yang paling sulit,” kata Alam. “Aku akan menyeberang lebih dulu ke batu itu, membawa ujung tali rotan yang sudah kita pintal. Setelah tali terpasang kuat, kita akan seberangkan barang-barang dulu, baru kerbau, dan terakhir kita semua.”

Dengan ladiang di tangan untuk menjaga keseimbangan dan seutas tali rotan tebal melilit pinggangnya, Alam mulai melangkah hati-hati di atas batang pohon yang licin. Arus sungai di bawahnya menderu-deru, percikan air dingin mengenai wajahnya. Setiap langkah adalah pertaruhan. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang, namun kakinya tetap mantap. Teman-temannya di tepi sungai menahan napas, mata mereka tak lepas dari sosok Alam yang bergerak perlahan di atas jembatan darurat itu.

Beberapa kali Alam hampir terpeleset, namun entah bagaimana ia berhasil menjaga keseimbangannya. Ladiang di tangannya seolah menjadi penyeimbang tambahan, dan ada keyakinan aneh yang tumbuh dalam dirinya, keyakinan bahwa hutan ini, meskipun ganas, tidak sepenuhnya memusuhinya. Akhirnya, dengan satu loncatan terakhir, ia berhasil mencapai batu besar di tengah sungai. Sorak lega terdengar dari ketiga temannya.

Alam segera mengikatkan ujung tali rotan pada sebuah celah batu yang kokoh. Setelah memastikan ikatannya kuat, ia memberi isyarat. Satu per satu, buntalan berisi beras, rempah-rempah, dan perbekalan lainnya diseberangkan dengan hati-hati menggunakan tali tersebut, ditarik oleh Alam dari batu dan diulur oleh Bujang dari tepian. Prosesnya lambat dan melelahkan. Beberapa kali buntalan kecil hampir jatuh ke sungai, namun dengan kesigapan mereka, semua berhasil diselamatkan.

Kini giliran sang kerbau. Ini adalah tantangan terbesar. Hewan itu tampak ketakutan melihat derasnya arus. Alam dan Bujang harus membujuk dan menariknya dengan sekuat tenaga. Dengan bantuan tali yang diikatkan di tubuhnya dan didorong dari belakang oleh Arip dan Hasan, kerbau itu akhirnya terpaksa melangkah ke atas batang pohon. Namun, di tengah-tengah, hewan itu panik. Ia mengamuk, berusaha berbalik, membuat batang pohon bergoyang hebat.

“Hati-hati!” teriak Alam. Tali yang dipegangnya menegang, kulit telapak tangannya terasa perih.

Tiba-tiba, dengan satu sentakan kuat, sebagian barang bawaan yang masih terikat di punggung kerbau terlepas dan jatuh dengan suara tercebur ke dalam sungai yang ganas. Beberapa karung kecil berisi biji kopi dan lada hanyut terbawa arus dalam sekejap mata.

“Tidak!” seru Arip putus asa. Itu adalah sebagian dari harapan Nagari Sago.

Hasan terpaku, matanya nanar melihat barang dagangan mereka hilang ditelan sungai. Bujang menggeram tertahan, berusaha sekuat tenaga menenangkan kerbau yang masih panik.

Alam menggigit bibirnya, menahan rasa kecewa dan marah. Sebagian perbekalan mereka hilang. Ini adalah pukulan berat. Namun, ia tahu tak ada waktu untuk menyesal. Keselamatan kerbau dan sisa barang jauh lebih penting. “Tarik terus! Jangan biarkan dia jatuh!” perintahnya, suaranya serak namun penuh otoritas.

Dengan susah payah, setelah perjuangan yang terasa seperti selamanya, mereka akhirnya berhasil membawa kerbau itu mencapai batu besar di tengah sungai, meski dengan napas tersengal dan tubuh basah kuyup oleh keringat dan percikan air. Sebagian barang memang hilang, namun sebagian besar masih bisa diselamatkan.

Dari batu besar ke tepi seberang, tantangannya sedikit berbeda. Tidak ada pohon yang bisa mereka tumbangkan. Alam memutuskan mereka akan berenang satu per satu dengan berpegangan pada tali rotan yang direntangkan, sementara kerbau akan dipaksa berenang dengan diikat tali dan ditarik dari seberang.

Proses ini kembali memakan korban. Meskipun semua orang berhasil menyeberang dengan selamat, berkat kekuatan Bujang yang luar biasa dalam menarik tali dan menahan arus, beberapa peralatan masak sederhana dan sisa ikan asin mereka tak sengaja terlepas dari ikatan dan hanyut.

Ketika akhirnya semua – manusia dan hewan – berhasil mencapai tepi seberang sungai, hari sudah menjelang malam. Mereka basah kuyup, kedinginan, kelelahan luar biasa, dan sebagian perbekalan mereka telah hilang. Duduk bersandar di tanah lembap, memandang sungai yang masih menderu di belakang mereka, ada campuran rasa lega, kecewa, dan ketidakpastian.

Alam menatap sisa barang dagangan mereka yang berhasil diselamatkan. Jumlahnya berkurang, namun tidak habis sama sekali. “Kita kehilangan sebagian, tapi kita tidak kehilangan semuanya,” katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada teman-temannya. “Dan yang terpenting, kita semua selamat. Semangat kita tidak boleh hanyut bersama barang-barang itu.”

Meski kata-katanya terdengar tegar, hatinya terasa pedih. Potensi kehilangan perbekalan yang ia khawatirkan telah menjadi kenyataan. Ujian sungai ini telah mereka lalui, namun dengan harga yang harus dibayar. Perjalanan ke Bukittinggi masih panjang, dan tantangan-tantangan lain pasti sudah menunggu di depan. Alam hanya bisa berharap, semangat dan kerjasama tim yang telah teruji hari ini akan cukup untuk membawa mereka melewati semuanya. Malam itu, mereka beristirahat dengan perasaan campur aduk, diiringi suara sungai yang seolah tak pernah lelah menggerus tepiannya.