Langit di atas Nagari Sago terasa lebih kelam dari biasanya, meskipun matahari musim kemarau bersinar terik. Kehadiran Demang Rustam dan dua sersan Belanda bersama tim survei mereka [Bab 18] selama hampir seminggu ini bagaikan kabut dingin yang menyelimuti setiap sendi kehidupan kampung. Kegembiraan dan harapan yang sempat mekar pasca kembalinya Alam dengan hasil dagang [Bab 16] kini layu sebelum berkembang, digantikan oleh ketakutan, kebingungan, dan benih-benih saling curiga yang mulai tumbuh subur.
Tim survei itu bergerak lincah, memasuki hutan-hutan adat, mengukur lebar sawah, mencatat jumlah ternak, bahkan tak segan bertanya detail tentang silsilah keluarga dan kepemilikan pusaka tinggi kepada para mamak rumah. Dua sersan Belanda yang selalu mengawal mereka dengan senapan di bahu menjadi pemandangan sehari-hari yang menyesakkan dada. Setiap langkah mereka di tanah Nagari Sago terasa seperti sebuah pelanggaran, sebuah penistaan terhadap kedaulatan adat yang selama ini dijunjung tinggi. Anak-anak tak lagi berani bermain di dekat mereka, para perempuan mempercepat langkah jika berpapasan, dan para lelaki hanya bisa mengepalkan tangan dalam diam, menahan amarah yang bergolak.
Di tengah atmosfer yang mencekam inilah, suara-suara sumbang mulai terdengar, awalnya hanya bisik-bisik di lepau atau di antara para perempuan di pancuran, namun lambat laun semakin kencang dan berani diutarakan di pertemuan-pertemuan informal. Ketidakpuasan dan ketakutan mencari kambing hitam, dan ironisnya, pandangan beberapa orang mulai tertuju pada Alam dan keberhasilan perjalanannya.
“Kalau dipikir-pikir,” celetuk Sutan Mudo di suatu sore di lepau, ketika beberapa lelaki tengah berkumpul melepas lelah sambil mengunyah sirih, “sejak si Alam itu pulang bawa uang, masalah kita malah bertambah. Dulu Belanda datang hanya untuk pajak biasa, sekarang mereka mau mengatur semua hasil panen kita, mau ukur-ukur tanah kita pula!” [Bab 3, Bab 17]
Beberapa orang yang mendengar mengangguk setuju, terpengaruh oleh logika sederhana yang menyalahkan kejadian terdekat. “Benar juga kata Sutan Mudo,” sahut seorang petani tua yang sawahnya baru saja diukur oleh tim survei. “Jangan-jangan karena ulah si Alam berdagang sampai ke Bukittinggi itu, Belanda jadi tahu kalau nagari kita ini punya ‘hasil’. Mereka jadi semakin bernafsu.”
Argumen itu, meskipun tak sepenuhnya benar, terasa masuk akal bagi mereka yang sedang dilanda ketakutan dan kebingungan. Mereka lupa bahwa tekanan Belanda sudah ada jauh sebelum Alam pergi, dan perjalanan Alam justru bertujuan untuk meringankan beban itu.
Suara sumbang lainnya datang dari kelompok yang lebih tua dan berhati-hati, yang kini merasa ketakutan mereka terbukti. Pak Cik Amin [Bab 17], dalam sebuah pertemuan kecil dengan beberapa datuk dan mamak rumah, menyuarakan keputusasaannya. “Sudah kubilang dari dulu, melawan Belanda itu seperti menanduk gunung. Lihat sekarang, kita sudah berusaha membayar pajak dengan uang yang dibawa Alam, tapi apa balasannya? Tuntutan mereka malah semakin menjadi-jadi! Lebih baik kita turuti saja semua kemauan mereka, serahkan apa yang mereka minta. Mungkin dengan begitu mereka akan kasihan dan membiarkan kita hidup tenang, walau serba kekurangan.”
Pandangan Pak Cik Amin ini diamini oleh beberapa orang yang lebih memilih jalan aman, yang menganggap perlawanan sekecil apapun hanya akan membawa kehancuran. Bagi mereka, lebih baik hidup terjajah namun selamat, daripada mencoba melawan dan binasa. “Untuk apa kita punya uang kalau akhirnya nagari kita dibumihanguskan?” tambah seorang ibu dengan suara gemetar, teringat cerita-cerita kekejaman Belanda di nagari lain yang mencoba membangkang.
Alam mendengar semua bisik-bisik dan suara-suara sumbang itu. Hatinya terasa perih. Niat tulusnya untuk membantu nagari kini seolah berbalik menjadi bumerang yang menyalahkan dirinya. Ia mencoba menjelaskan kepada beberapa orang bahwa tekanan Belanda ini adalah bagian dari strategi besar mereka untuk menguasai seluruh Ranah Minang, bukan semata-mata karena perjalanannya ke Bukittinggi. Namun, kata-katanya seolah tenggelam dalam lautan ketakutan dan keputusasaan warga. Tugasnya untuk memikirkan pertahanan nagari kini terasa semakin berat, karena bagaimana ia bisa membangun pertahanan jika warganya sendiri terpecah belah?
Bujang, Hasan, dan Arip berusaha membela Alam. “Kalian tidak tahu betapa berat perjuangan kami untuk mendapatkan uang itu!” seru Arip di lepau, tak tahan mendengar Sutan Mudo terus menyudutkan Alam. “Kami mempertaruhkan nyawa! Dan semua itu untuk nagari ini!” [2]
“Justru itu, Rip,” balas Sutan Mudo dengan nada mengejek. “Mungkin lebih baik kalian tidak usah ‘mempertaruhkan nyawa’ dan membuat Belanda semakin marah pada kita.”
Perdebatan seperti itu semakin sering terjadi, memanaskan suasana nagari yang sudah tegang. Pak Tuo Sani dan Bundo Sari [1, 3] tak henti-hentinya berusaha menenangkan warga dan menjembatani perbedaan pendapat. Mereka mengadakan pertemuan dari rumah ke rumah, berbicara dari hati ke hati dengan para pemuka adat dan tokoh masyarakat.
“Kita tidak boleh saling menyalahkan di saat seperti ini,” kata Pak Tuo Sani dalam sebuah pertemuan dengan para datuk. “Alam dan kawan-kawannya telah menunjukkan keberanian yang luar biasa. Keberhasilan mereka adalah keberhasilan kita semua. Tuntutan Belanda ini memang berat, tapi jika kita terpecah, kita akan semakin mudah dihancurkan. Kita harus tetap bersatu dan mencari jalan keluar bersama dengan kepala dingin.”
Bundo Sari lebih banyak mendekati kaum perempuan, mencoba meredam kepanikan dan ketakutan mereka. “Ingatlah para pahlawan kita dulu,” katanya. “Leluhur kita tidak pernah menyerah pada penindasan. Kita mungkin tidak bisa melawan dengan senjata saat ini, tapi kita bisa melawan dengan kesabaran, kecerdikan, dan yang paling penting, dengan menjaga persatuan hati kita.”
Aisyah, dalam diamnya, juga merasakan kepedihan Alam. Ia melihat bagaimana pemuda yang ia kagumi itu kini harus memikul beban yang begitu berat, bukan hanya dari ancaman luar, tetapi juga dari keraguan dan tudingan dari dalam nagarinya sendiri. Beberapa kali ia mencoba memberikan kata-kata penghiburan kepada Alam secara tidak langsung melalui pesan yang ia sampaikan lewat Hasan, atau sekadar tatapan mata penuh pengertian saat mereka tak sengaja berpapasan. Ia percaya Alam tidak bersalah, dan ia berharap Alam tetap kuat.
Suatu hari, ketika tim survei Belanda sedang melakukan pengukuran di dekat sebuah mata air keramat yang dianggap suci oleh warga nagari, terjadi sebuah insiden. Salah seorang sersan Belanda, dengan seenaknya mencuci sepatunya yang kotor di mata air itu, sambil tertawa-tawa dengan Demang Rustam. Beberapa perempuan yang sedang mengambil air di sana merasa terhina dan marah. Salah seorang dari mereka, seorang ibu muda yang suaminya sedang merantau, memberanikan diri menegur.
“Tuan, tolong jangan kotori mata air kami! Itu tempat kami mengambil air minum dan bersuci!”
Sersan Belanda itu, yang tidak mengerti bahasa Minang, hanya menatap dengan pandangan meremehkan. Demang Rustam buru-buru menerjemahkan dengan nada yang diperhalus, namun sersan itu malah tertawa lebih keras dan dengan sengaja menendang salah satu tempayan air hingga pecah berantakan.
Kejadian itu menyulut kemarahan warga yang kebetulan ada di sekitar. Beberapa pemuda, termasuk Hasan, nyaris saja menyerang sersan itu jika tidak dilerai oleh beberapa lelaki yang lebih tua. Insiden kecil itu semakin memperkeruh suasana. Bagi kelompok yang pro-Belanda atau takut konflik, kejadian itu adalah bukti bahwa menentang Belanda, bahkan dengan teguran kecil, hanya akan membawa masalah. Bagi kelompok yang mulai gerah, itu adalah percikan api yang membakar semangat perlawanan mereka yang terpendam.
Alam menyaksikan semua itu dengan hati yang semakin gundah. Nagari Sago, kampung halamannya yang dulu ia kenal damai dan bersatu dalam adat, kini seperti kapal yang diombang-ambingkan badai dari luar dan digerogoti perpecahan dari dalam. Suara-suara sumbang itu bukan lagi sekadar bisikan, tetapi telah menjadi simfoni ketidakpastian yang mengancam menenggelamkan harapan mereka. Ia sadar, sebelum menghadapi Tuan Kontrolir dan segala intriknya, ia harus terlebih dahulu memenangkan pertempuran di dalam nagarinya sendiri: pertempuran melawan ketakutan, keputusasaan, dan perpecahan. Dan ia tidak tahu harus memulai dari mana.