Keberanian Aisyah dan kata-katanya yang menyejukkan [Bab 20] menjadi titik balik bagi Alam. Selama berhari-hari setelah insiden di mata air keramat dan perdebatan sengit di balai adat, ia merasa terombang-ambing dalam lautan keraguan dan kemarahan yang tertahan. Tudingan-tudingan miring dari sebagian warga [Bab 19] dan sikap Demang Rustam serta dua sersan Belanda yang semakin sewenang-wenang dalam melakukan “survei” [Bab 18] hampir mematahkan semangatnya. Namun, dukungan tak terduga dari Aisyah, dan kesadaran bahwa ia tidak sendirian dalam perjuangan ini, menyalakan kembali api di dalam dadanya. Ia bukan lagi hanya “si parewa keras hati” [1] yang bergerak atas dorongan emosi, tetapi seorang pemuda yang mulai menemukan kedalaman baru dalam tanggung jawabnya.
Alam menghabiskan beberapa hari berikutnya lebih banyak mengamati daripada berbicara. Ia memperhatikan dengan saksama setiap gerak-gerik tim survei Belanda. Ia melihat bagaimana mereka mencatat dengan detail setiap jengkal tanah, bagaimana Demang Rustam dengan patuhnya menjawab setiap pertanyaan dari kedua sersan Belanda itu, dan bagaimana para pembantu pribumi mereka dipaksa bekerja membawa peralatan berat di bawah tatapan angkuh para serdadu. Ia juga melihat ketakutan di mata para warga yang tanahnya diukur, dan kemarahan yang terpaksa mereka telan ludah. Peraturan baru tentang penjualan hasil bumi yang diumumkan Demang Rustam [Bab 18] telah menjadi topik pembicaraan utama di setiap sudut nagari, melahirkan keputusasaan yang lebih pekat daripada sebelumnya. Uang yang mereka bawa pulang dari Bukittinggi kini terasa seperti setetes air di tengah gurun pasir yang luas.
“Mereka tidak hanya ingin mengambil hasil bumi kita,” kata Alam suatu sore kepada ketiga sahabatnya, Hasan, Bujang, dan Arip, ketika mereka berkumpul di sebuah dangau terpencil di tepi hutan. “Mereka ingin mengambil semuanya. Tanah kita, adat kita, harga diri kita. Peraturan dagang itu hanyalah awal. Survei ini adalah langkah berikutnya. Mereka ingin tahu setiap jengkal kekuatan dan kelemahan kita.”
Hasan mengangguk cemas. “Lalu apa yang bisa kita lakukan, Lam? Melawan secara terbuka sama saja dengan menyerahkan nyawa.” [1]
“Mungkin kita tidak bisa melawan mereka dengan ladiang dan tombak saat ini,” sahut Alam, matanya menatap tajam. “Tapi kita juga tidak bisa diam saja menunggu mereka mencekik kita perlahan-lahan. Kita harus punya rencana. Rencana kedua.”
Arip yang biasanya ceria kini tampak lebih serius. “Rencana macam apa, Lam? Rencana berdagang lagi sudah pasti tidak mungkin dengan aturan baru itu.” [2]
Alam terdiam sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. “Aku belum punya semua jawabannya. Tapi aku tahu, kita tidak boleh hanya bertahan. Kita harus mencari cara untuk memukul balik, dengan cara kita sendiri, dengan cara yang tidak mereka duga.”
Inspirasi itu datang perlahan, sebagian dari pengamatannya terhadap kesombongan dan ketergantungan tim survei Belanda pada para pembantu lokal dan Demang Rustam, sebagian lagi dari kata-kata Aisyah tentang berbagai bentuk perlawanan. Jika Belanda ingin memetakan kekuatan Nagari Sago, bagaimana jika Nagari Sago juga memetakan kekuatan dan kelemahan Belanda, setidaknya yang ada di sekitar mereka?
“Aku berpikir,” lanjut Alam, “selama tim survei ini masih di sini, ini adalah kesempatan kita. Mereka pikir mereka sedang mengawasi kita, tapi kita juga bisa mengawasi mereka. Kita perlu tahu persis apa yang mereka cari, sejauh mana mereka akan menjelajah, dan siapa saja di antara kita yang mungkin ‘bekerja sama’ dengan mereka lebih dari yang seharusnya.” Matanya menyiratkan kecurigaan pada beberapa warga yang tampak terlalu akrab dengan Demang Rustam.
“Maksudmu kita jadi mata-mata, Lam?” tanya Hasan, sedikit terkejut.
“Bukan sekadar mata-mata, San,” jawab Alam. “Kita mengumpulkan informasi. Informasi adalah senjata. Jika kita tahu apa yang mereka rencanakan secara detail, mungkin kita bisa menemukan cara untuk menghambatnya, atau bahkan membalikkannya untuk keuntungan kita. Mereka punya peta, kita juga harus punya ‘peta’ tentang mereka.”
Bujang, yang sedari tadi diam mendengarkan, akhirnya angkat bicara. “Hutan ini milik kita, Lam. Mereka hanya tamu tak diundang yang sok tahu. Banyak jalur tersembunyi, banyak tempat yang hanya kita yang tahu. Jika mereka berani masuk terlalu dalam tanpa penunjuk jalan yang benar, hutan ini sendiri yang akan menghukum mereka.” [2] Ada nada dingin dalam suara Bujang yang jarang terdengar.
Kata-kata Bujang itu seolah membuka sebuah pintu baru dalam pikiran Alam. Rencana itu mulai terbentuk lebih jelas. Bukan hanya mengumpulkan informasi, tetapi juga melakukan perlawanan pasif, perlawanan cerdik yang memanfaatkan keunggulan mereka sebagai putra asli daerah itu.
“Kau benar, Jang!” seru Alam, matanya berbinar. “Ini dia! Rencana kita akan punya dua bagian. Pertama, kita akan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang kegiatan tim survei ini – rute mereka, apa yang mereka catat, siapa saja informan lokal mereka. Kedua, kita akan membuat mereka ‘tersesat’ dalam kebodohan mereka sendiri. Kita tidak akan menyerang mereka secara fisik, itu terlalu berbahaya. Tapi kita bisa membuat pekerjaan mereka menjadi sangat sulit, sangat lambat, dan hasilnya tidak akurat.”
“Bagaimana caranya membuat mereka tersesat?” tanya Arip, mulai tertarik.
“Dengan ‘bantuan’ yang salah,” jawab Alam sambil tersenyum licik. “Jika mereka butuh penunjuk jalan ke sebuah bukit, kita tunjukkan jalan yang memutar dan paling sulit. Jika mereka bertanya tentang batas tanah adat, kita berikan informasi yang sedikit ‘keliru’. Jika mereka mencari sumber mata air, kita arahkan ke mata air yang hampir kering. Kita akan membuat mereka lelah, frustrasi, dan peta yang mereka buat akan menjadi peta buta.”
Hasan tampak ragu. “Tapi itu berbahaya, Lam. Jika ketahuan, akibatnya bisa parah.”
“Semua perjuangan ada risikonya, San,” kata Alam. “Tapi risiko berdiam diri dan membiarkan mereka menginjak-injak kita jauh lebih besar. Kita lakukan ini dengan sangat hati-hati, sangat rapi, seolah-olah kita benar-benar ‘membantu’ mereka. Kita manfaatkan Demang Rustam. Dia orang kita yang bekerja untuk Belanda, tapi hatinya mungkin masih ada untuk Ranah Minang. Kita lihat sejauh mana kita bisa ‘memainkannya’.”
Rencana itu berani, licik, dan penuh risiko. Tapi ada sesuatu dalam rencana itu yang membangkitkan kembali semangat juang mereka. Ini bukan lagi sekadar bertahan, tetapi mulai melakukan perlawanan, meskipun secara sembunyi-sembunyi.
Alam tahu ia tidak bisa menjalankan rencana ini sendirian. Ia membutuhkan dukungan dari orang-orang yang ia percaya. Malam itu, setelah mematangkan detailnya bersama ketiga sahabatnya, ia memberanikan diri menemui Pak Tuo Sani dan Bundo Sari. Awalnya, kedua tetua itu terkejut dan khawatir mendengar rencana nekat Alam. Mereka takut akan akibatnya jika rencana itu gagal dan ketahuan.
“Ini sangat berbahaya, Alam,” kata Pak Tuo Sani dengan wajah cemas. “Kau bermain api dengan Tuan Kontrolir.” [1, 3]
“Saya tahu, Pak Tuo,” jawab Alam. “Tapi api keserakahan mereka sudah hampir membakar nagari kita. Jika kita tidak mencoba memadamkannya dengan cara apapun, kita akan hangus semua. Uang yang kita bawa tidak akan cukup untuk selamanya. Peraturan dagang baru itu akan mencekik kita. Survei ini adalah awal dari penguasaan total mereka.”
Bundo Sari menatap Alam lama, mencoba membaca kesungguhan di mata pemuda itu. “Lalu, apa yang kau harapkan dari kami, Nak?”
“Saya butuh restu dan kepercayaan Ninik Mamak sekalian,” kata Alam. “Saya juga butuh bantuan untuk meyakinkan beberapa warga yang bisa dipercaya untuk ‘membantu’ tim survei itu dengan cara yang ‘benar’ menurut rencana kita. Terutama mereka yang mengenal hutan dan jalur-jalur tersembunyi. Kita harus membuat ini terlihat alami, seolah-olah kita benar-benar patuh dan kooperatif.”
Setelah perdebatan panjang dan penuh pertimbangan, Pak Tuo Sani dan Bundo Sari akhirnya memberikan restu mereka, meskipun dengan berat hati dan syarat agar Alam bertindak sangat hati-hati dan tidak membahayakan nyawa warga. Mereka melihat tidak ada banyak pilihan lain selain mencoba sesuatu. Pasrah berarti mati perlahan.
Alam juga memutuskan untuk berbicara dengan Aisyah. Bukan untuk meminta izin, tetapi untuk berbagi beban dan mungkin mendapatkan perspektif lain. Ia menemuinya di dekat pancuran, di bawah pengawasan beberapa perempuan tua yang pura-pura tidak memperhatikan.
Aisyah mendengarkan rencana Alam dengan saksama, wajahnya serius. “Rencanamu berani, Lam,” katanya setelah Alam selesai berbicara. “Dan sangat berbahaya. Tapi aku mengerti kenapa kau harus melakukannya.” Ia terdiam sejenak, lalu matanya menatap Alam dengan kilatan aneh. “Tahukah kau, Lam, para perempuan di nagari ini juga punya cara sendiri untuk ‘mengumpulkan informasi’ dan ‘membuat orang tersesat dalam kata-kata’? Mungkin kami juga bisa membantu, dengan cara kami.”
Alam terkejut sekaligus terharu mendengar tawaran itu. Kekuatan Aisyah yang ia saksikan beberapa hari lalu [Bab 20] kini menawarkan dimensi baru. “Bagaimana caranya, Syah?”
Aisyah tersenyum misterius. “Biarlah itu menjadi rahasia dapur kami. Yang penting, kau tidak sendirian dalam hal ini. Sampaikan saja jika ada informasi tertentu yang kalian butuhkan dari obrolan di pasar atau di antara para istri pembantu Demang Rustam. Telinga kami banyak.”
Dukungan dari Aisyah dan kesediaan para perempuan untuk ikut serta dengan cara mereka sendiri memberikan kekuatan tambahan bagi Alam. Rencana kedua itu kini bukan hanya miliknya dan ketiga sahabatnya, tetapi mulai menjadi sebuah gerakan perlawanan diam-diam dari seluruh nagari.
Keesokan harinya, ketika tim survei Belanda kembali memulai aktivitas mereka, mereka disambut dengan wajah-wajah warga yang tampak lebih “kooperatif”, meskipun di balik senyum dan anggukan patuh itu, tersembunyi sebuah rencana besar untuk melindungi Nagari Sago. Alam tahu, ini adalah pertaruhan yang jauh lebih besar daripada perjalanan dagangnya ke Bukittinggi. Ia kini tidak hanya melawan keserakahan pedagang atau keganasan alam, tetapi juga melawan sebuah sistem kekuasaan yang licik dan terorganisir. Namun, dengan dukungan sahabat-sahabatnya, restu para tetua, dan kekuatan tersembunyi dari orang-orang seperti Aisyah, ia merasa lebih siap. Rencana kedua Alam telah dimulai.