Bab 22: Membuka Jalan Baru

Fajar menyingsing di Nagari Sago dengan cara yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Udara masih terasa dingin, kabut tipis masih enggan beranjak dari lembah, namun di antara bayang-bayang pepohonan dan di dalam bilik-bilik rumah gadang, sebuah kesadaran baru mulai menggeliat. Rencana kedua Alam, yang lahir dari keputusasaan dan ditempa oleh semangat perlawanan yang tak kunjung padam, [Bab 21] telah disepakati dengan hati-hati oleh para tetua dan didukung oleh orang-orang kunci di nagari. Ini bukan lagi sekadar rencana seorang pemuda keras hati, melainkan sebuah gerakan sunyi yang melibatkan denyut nadi seluruh kampung. Tim survei Belanda, dengan Demang Rustam sebagai kepalanya dan dua sersan Kompeni sebagai pengawasnya yang angkuh, masih berkeliaran, namun tanpa mereka sadari, setiap langkah mereka kini diikuti oleh mata-mata tak terlihat dan setiap informasi yang mereka kumpulkan mulai tercemar oleh benih-benih keraguan yang ditabur dengan sengaja.

Alam merasa beban di pundaknya sedikit terangkat, bukan karena masalahnya selesai, tetapi karena ia tidak lagi memikulnya sendirian. Dukungan dari Pak Tuo Sani dan Bundo Sari, meski penuh kekhawatiran, memberinya legitimasi. Keberanian Aisyah dan kesediaan para perempuan untuk terlibat dengan cara mereka sendiri memberinya kekuatan moral. Dan yang terpenting, ketiga sahabatnya – Bujang, Hasan, dan Arip – berdiri teguh di sisinya, siap menjalankan peran masing-masing dalam sandiwara besar yang akan mereka pentaskan.

Tahap pertama adalah pengumpulan informasi yang lebih mendalam. Bujang, dengan kemampuannya menyatu dengan hutan bak seekor Inyiak yang tak kasat mata, [2, 4] menjadi ujung tombak. Ia tidak lagi sekadar mengamati dari jauh. Dengan menyamar sebagai salah satu pembantu lokal yang bertugas mencari kayu bakar atau menjerat unggas hutan untuk kebutuhan rombongan Demang Rustam, ia berhasil mendekat, mendengar percakapan-percakapan kecil, memperhatikan detail peta kasar yang sering dibuka oleh Sersan De Vries yang berperawakan tinggi dan Sersan Pietersen yang lebih pendiam namun tak kalah mengintimidasi.

“Mereka sangat terobsesi dengan kandungan emas di hulu sungai kita, Lam,” bisik Bujang suatu senja, ketika mereka bertemu di dangau terpencil tempat biasa mereka merancang strategi. Matanya yang biasanya tenang kini memancarkan kilat waspada. “Sersan De Vries terus bertanya kepada Demang Rustam tentang cerita-cerita lama mengenai penambang emas di zaman dahulu. Mereka juga menandai beberapa jenis batu yang menurut mereka mengandung mineral berharga. Selain itu, jalur-jalur tikus yang biasa kita gunakan untuk berburu atau menuju nagari tetangga tanpa melewati jalan utama, itu juga menjadi incaran mereka.”

Informasi ini sangat krusial. Alam menyadari bahwa survei ini bukan hanya untuk pemetaan wilayah administratif atau potensi pertanian, tetapi juga untuk eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Ini memperkuat tekadnya bahwa rencana mereka harus berhasil.

Sementara Bujang bergerak di hutan, Aisyah dan jaringannya di kalangan perempuan nagari bekerja dengan cara yang lebih halus namun tak kalah efektif. Mereka memanfaatkan kedekatan sehari-hari dengan para istri pembantu Demang Rustam atau para perempuan lokal yang terpaksa dipekerjakan untuk mencuci pakaian atau memasak bagi rombongan Belanda. Dari obrolan di dapur, di pancuran, atau saat sama-sama menumbuk padi, mereka berhasil mendapatkan serpihan-serpihan informasi yang berharga.

“Sersan Pietersen itu ternyata sangat percaya takhayul, Lam,” Aisyah menyampaikan kepada Alam melalui Hasan, menjaga adat dan batasan pergaulan mereka. “Ia sering bertanya tentang tempat-tempat angker atau pantangan-pantangan di hutan ini. Istri salah seorang pembantu Demang Rustam bilang, Sersan Pietersen pernah tidak bisa tidur semalaman hanya karena mendengar suara burung hantu di dekat pondokannya, ia mengira itu pertanda buruk.”

Alam tersenyum tipis mendengar itu. Kelemahan sekecil apapun dari pihak lawan bisa menjadi senjata bagi mereka. Ia segera menyusun rencana untuk memanfaatkan ketakutan Sersan Pietersen ini.

Langkah selanjutnya adalah implementasi misdirection, atau penyesatan informasi. Kesempatan pertama datang ketika tim survei berencana untuk memetakan area perbukitan di sebelah barat nagari, sebuah wilayah yang jarang dijamah namun diyakini memiliki potensi kayu berkualitas tinggi. Pak Tuo Sani, dengan berat hati namun mengikuti skenario yang telah disusun Alam, “menawarkan” beberapa pemuda nagari sebagai penunjuk jalan, termasuk Bujang dan seorang pemuda lain bernama Kardi, yang juga telah dibriefing secara matang.

“Jalur ke Bukit Pinang itu cukup sulit, Tuan Demang,” kata Bujang dengan wajah sepolos mungkin kepada Demang Rustam, sementara kedua sersan Belanda mendengarkan dengan tidak sabar. “Banyak tebing curam dan semak berduri. Tapi ada satu jalur yang lebih landai, sering dipakai pemburu kami, walau sedikit lebih jauh.”

Demang Rustam, yang lebih mempercayai “keahlian” penduduk lokal daripada peta kasar yang ia bawa dari Bukittinggi, menyetujui usul Bujang. Maka, dimulailah sebuah ekspedisi yang seharusnya sederhana namun berubah menjadi perjalanan yang melelahkan dan membingungkan bagi tim Belanda. Bujang dan Kardi membawa mereka melewati jalur yang memang ada, tetapi jalur itu sengaja dipilih karena medannya yang paling berat – menanjak terjal, menurun curam, menyeberangi anak sungai berbatu licin berkali-kali, dan menembus hutan bambu yang begitu rapat hingga sinar matahari pun sulit menembus.

Sersan De Vries, yang fisiknya paling prima, mulai menggerutu setelah beberapa jam berjalan tanpa melihat tanda-tanda Bukit Pinang yang mereka tuju. “Apa kita tidak salah jalan, Demang? Rasanya kita hanya berputar-putar!” bentaknya, menyeka keringat yang membanjiri wajahnya.

Bujang, dengan ekspresi menyesal, menjawab, “Maafkan saya, Tuan Sersan. Mungkin ingatan saya sedikit keliru. Hutan ini sering berubah setelah musim hujan. Tapi saya yakin, sebentar lagi kita akan sampai.”

Perjalanan itu akhirnya memakan waktu hampir dua kali lipat dari yang seharusnya. Ketika mereka akhirnya tiba di sebuah bukit (yang sebenarnya bukan Bukit Pinang yang asli, melainkan bukit lain yang lebih rendah dan kurang strategis), para anggota tim survei sudah kehabisan tenaga. Sersan Pietersen bahkan sempat terpeleset dan pergelangan kakinya terkilir ringan, menambah daftar frustrasi mereka. Data yang mereka kumpulkan hari itu tentang “Bukit Pinang” jelas tidak akurat, dan catatan tentang aksesibilitas wilayah itu pasti akan diberi tanda merah.

Di lain kesempatan, ketika tim survei mencoba memverifikasi batas-batas tanah ulayat Nagari Sago dengan nagari tetangga, para tetua adat yang telah “disiapkan” oleh Alam memberikan keterangan yang saling bertentangan namun disampaikan dengan penuh keyakinan. Satu tetua mengatakan batasnya adalah sebuah batu besar berbentuk kepala kerbau di tepi sungai, tetua lain bersikeras batasnya adalah rumpun bambu kuning di puncak bukit lain, sementara yang ketiga merujuk pada sebuah makam keramat yang lokasinya pun simpang siur. Para juru gambar Belanda itu tampak pusing tujuh keliling, mencoba menggabungkan informasi-informasi kontradiktif itu ke dalam peta mereka.

Arip, dengan bakat alaminya sebagai penghibur dan pengalih perhatian, [2] memainkan perannya dengan gemilang. Ketika ia melihat para juru ukur sedang berkonsentrasi pada sebuah titik penting, ia akan mendekati salah satu sersan atau pembantu lokal, lalu dengan sengaja menjatuhkan sesuatu, atau bertanya tentang hal-hal konyol seperti “Apakah benar Tuan Kontrolir di Bukittinggi punya kuda yang bisa terbang?” atau “Apakah senapan Tuan Sersan ini bisa menembak hantu?”. Tingkahnya yang seolah-olah bodoh dan norak itu seringkali berhasil memecah konsentrasi dan menimbulkan kekesalan, namun sulit untuk ditegur karena ia melakukannya dengan wajah lugu.

Hasan, dengan ketenangannya, [1] bertugas sebagai pengamat dan pemberi sinyal. Matanya yang jeli menangkap setiap perubahan ekspresi pada wajah Sersan De Vries atau Demang Rustam. Jika ia melihat ada tanda-tanda kecurigaan yang meningkat, ia akan segera memberi isyarat halus kepada Alam atau Bujang untuk mengubah taktik atau menarik diri sejenak.

Perlawanan sunyi ini mulai menunjukkan hasil. Laporan-laporan yang dikirim Demang Rustam ke Bukittinggi kemungkinan besar akan menggambarkan Nagari Sago sebagai wilayah yang sulit diakses, miskin sumber daya, dan memiliki batas-batas yang tidak jelas. Ini mungkin akan membuat Tuan Kontrolir berpikir dua kali sebelum melakukan eksploitasi besar-besaran atau menaikkan pajak secara drastis.

Namun, bahaya selalu mengintai. Sersan De Vries bukanlah orang bodoh. Ia semakin sering menunjukkan ketidaksabarannya. Suatu hari, ia secara terang-terangan menuduh salah seorang penunjuk jalan sengaja menyesatkan mereka. “Kalian pikir kami ini bodoh, hah?!” bentaknya, wajahnya merah padam. “Jika sekali lagi kalian mencoba mempermainkan kami, akan kuhadapkan kalian pada ujung senapan ini!”

Ancaman itu nyata. Alam tahu mereka berjalan di atas tali yang sangat tipis. Satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Demang Rustam, yang posisinya semakin sulit, berusaha menengahi, namun terlihat jelas bahwa ia juga berada di bawah tekanan besar dari atasannya. Alam mulai bertanya-tanya, sejauh mana loyalitas Demang Rustam sebenarnya berpihak. Apakah ia bisa menjadi sekutu tersembunyi, atau ia akan tetap menjadi alat Belanda yang setia?

Di tengah ketegangan itu, Alam terus merenungkan langkah selanjutnya. Perlawanan pasif ini hanyalah taktik jangka pendek. Ia sadar, Nagari Sago membutuhkan solusi jangka panjang. Mereka tidak bisa selamanya bergantung pada “kebodohan” atau “kesialan” pihak Belanda.

“Kita telah berhasil membuka jalan baru untuk melawan mereka dengan cara yang tidak mereka duga,” kata Alam kepada Pak Tuo Sani suatu malam. “Tapi ini hanya memberi kita waktu. Kita harus menggunakan waktu ini untuk membangun kekuatan kita sendiri dari dalam. Kita harus mencari cara untuk tidak lagi bergantung pada belas kasihan mereka, atau pada pasar di Bukittinggi yang kini tertutup bagi kita.”

Pak Tuo Sani mengangguk pelan, matanya menerawang. “Kau benar, Nak. Tapi jalan macam apa yang kau maksud?”

Alam belum memiliki jawaban pasti. Namun, benih gagasan tentang kemandirian ekonomi, tentang memanfaatkan sumber daya alam nagari untuk kesejahteraan sendiri, bukan untuk diserahkan kepada Kompeni, mulai tumbuh dalam pikirannya. Mungkin dengan membuka lahan-lahan tidur untuk tanaman pangan alternatif, atau mengembangkan kerajinan tangan yang memiliki nilai jual, atau bahkan mencari jalur-jalur perdagangan baru yang tersembunyi dari pengawasan Belanda.

Jalan baru yang telah mereka buka melalui perlawanan sunyi ini memang penuh duri dan ketidakpastian. Namun, ia juga telah membangkitkan kembali semangat dan harga diri Nagari Sago. Mereka tidak lagi merasa sebagai korban yang pasrah, tetapi sebagai pejuang yang cerdik, yang menggunakan akal dan pengetahuan mereka sebagai senjata. Dan Alam, sang “parewa keras hati” yang telah bertransformasi menjadi pemimpin muda yang penuh perhitungan, siap memimpin nagarinya menapaki jalan itu, sejauh apapun dan seberat apapun rintangannya.