Bab 23: Lumbung Nagari: Benih Harapan di Tengah Intaian

Kecerdikan dan perlawanan sunyi yang dijalankan oleh Alam beserta seluruh lapisan masyarakat Nagari Sago [Bab 22] memang berhasil memperlambat gerak tim survei Belanda dan mengaburkan data yang mereka kumpulkan. Namun, seperti bara api yang disiram air namun tak kunjung padam, kecurigaan Sersan De Vries justru semakin membara. Ia bukanlah perwira kemarin sore yang mudah dikelabui oleh wajah-wajah lugu atau cerita-cerita penunjuk jalan yang berbelit-belit. Setiap hari, raut wajahnya yang keras tampak semakin tegang, dan kesabarannya yang tipis kian menipis.

Suatu pagi yang cerah, ketika embun masih membasahi dedaunan, Sersan De Vries menggebrak meja di pondokan sementara Demang Rustam, tempat mereka biasa menerima laporan. Peta kasar Nagari Sago yang penuh dengan coretan dan tanda tanya terbentang di hadapannya. Sersan Pietersen berdiri kaku di sampingnya, wajahnya yang pucat juga menyiratkan ketidaksenangan.

“Demang!” suara De Vries menggelegar, membuat beberapa pembantu lokal yang sedang menyapu halaman tersentak kaget. “Sudah hampir dua minggu kita di sini! Dua minggu! Dan apa yang kita dapatkan? Peta buta! Cerita ngawur! Dan penunjuk jalan yang lebih pantas disebut penyesat jalan!” Matanya yang biru menatap tajam ke arah Demang Rustam yang duduk di hadapannya, berusaha menjaga ketenangan.

“Saya sudah berusaha semampu saya, Tuan Sersan,” jawab Demang Rustam dengan nada suara yang dibuat sepelan mungkin, menghindari tatapan mata atasannya. “Penduduk nagari ini memang… agak terbelakang. Mereka tidak terbiasa dengan cara kerja kita yang sistematis.”

“Terbelakang atau sengaja membodohi kita?!” sentak De Vries. “Aku mulai muak dengan semua ini! Tuan Kontrolir van der Stel [Bab 15] di Bukittinggi mengharapkan hasil, bukan alasan! Jika dalam tiga hari ke depan tidak ada kemajuan signifikan, aku sendiri yang akan memimpin ‘survei’ ini dengan cara yang lebih… meyakinkan.” Ancaman dalam kata-kata terakhirnya begitu jelas, menyiratkan penggunaan kekerasan. “Dan kau, Demang, pastikan pendudukmu itu mengerti konsekuensinya jika mereka terus bermain-main dengan kesabaran Kompeni!”

Demang Rustam hanya bisa menunduk, hatinya berkecamuk. Di satu sisi, ia adalah abdi Belanda yang terikat sumpah jabatan. Di sisi lain, ia adalah putra Minang yang tak rela melihat bangsanya terus diinjak-injak. Posisinya semakin sulit, terjepit di antara dua batu besar.

Kabar tentang kemarahan Sersan De Vries dan ancamannya dengan cepat sampai ke telinga Alam melalui jaringan informasi Aisyah dan para perempuan. [Bab 22] Alam sadar, taktik perlawanan pasif mereka tidak bisa diandalkan selamanya. Mereka telah berhasil membeli waktu, tetapi waktu itu hampir habis. Tekanan yang semakin meningkat ini justru memicu pemikiran baru dalam benak Alam, sebuah gagasan yang lebih mendasar untuk kelangsungan hidup Nagari Sago.

“Kita tidak bisa hanya mengandalkan tipu muslihat, kawan-kawan,” kata Alam kepada Hasan, Bujang, dan Arip ketika mereka berkumpul di dangau rahasia mereka malam itu. Cahaya bulan yang menerobos celah atap rumbia menerangi wajah-wajah mereka yang serius. “Belanda semakin curiga. Cepat atau lambat, mereka akan menemukan cara untuk mendapatkan apa yang mereka mau, entah dengan paksaan atau dengan kekerasan. Kita harus punya benteng pertahanan yang sesungguhnya.”

“Benteng macam apa, Lam?” tanya Hasan cemas. “Kita tidak punya senjata yang sebanding dengan mereka.” [1]

“Benteng kita bukan hanya ladiang atau bedil, San,” jawab Alam, matanya menatap jauh ke dalam kegelapan hutan. “Benteng kita yang paling utama adalah perut yang terisi dan semangat yang tidak padam. Selama ini, kita bergantung pada hasil panen yang itu-itu saja, yang harganya pun mereka yang tentukan. Jika mereka berhasil menguasai jalur perdagangan dan sumber daya kita, habislah kita.” Ia teringat peraturan baru tentang penjualan hasil bumi yang mencekik itu. [Bab 18]

“Lalu, apa rencanamu?” desak Arip, rasa ingin tahunya terusik. [2]

Alam menarik napas panjang. “Aku berpikir… kita harus membangun ‘Lumbung Nagari’. Lumbung yang tersembunyi, yang tidak diketahui oleh Belanda. Kita akan mengisinya bukan hanya dengan padi dari sawah kita yang sudah mereka petakan, tetapi juga dengan tanaman-tanaman pangan lain yang bisa tumbuh di lahan-lahan tersembunyi, di hutan-hutan adat yang belum mereka jamah. Umbi-umbian, jagung, pisang, apa saja yang bisa membuat kita bertahan jika suatu saat sawah kita gagal panen atau hasil bumi kita dirampas seluruhnya.”

Gagasan itu sederhana namun mendasar. Di tengah ancaman kelaparan dan ketergantungan, kemandirian pangan adalah kunci perlawanan yang sesungguhnya.

Bujang, yang paling memahami seluk-beluk hutan, mengangguk setuju. “Banyak ceruk dan lembah tersembunyi di kaki Gunung Sago yang tanahnya subur, Lam. Tempat yang bahkan para pemburu kita jarang datangi. Kita bisa membuka lahan di sana secara diam-diam.” [2]

“Tapi itu pekerjaan besar, Lam,” kata Hasan, membayangkan kesulitan yang akan mereka hadapi. “Bagaimana kita melakukannya tanpa ketahuan? Dan bagaimana dengan bibitnya?”

“Kita lakukan secara bertahap, sedikit demi sedikit, dengan sangat hati-hati,” jawab Alam. “Kita akan butuh bantuan seluruh nagari, atau setidaknya mereka yang bisa kita percaya sepenuhnya. Soal bibit, mungkin kita bisa mendapatkannya dari nagari-nagari tetangga yang belum terlalu diawasi, atau bahkan dari sisa-sisa perbekalan pedagang yang dulu pernah singgah. Ini pertaruhan, tapi kita harus mencobanya.”

Malam itu juga, Alam, dengan keberanian yang didasari oleh keputusasaan dan harapan, menemui Pak Tuo Sani dan Bundo Sari. Ia memaparkan gagasannya tentang Lumbung Nagari dan pembukaan lahan-lahan tersembunyi. Awalnya, kedua tetua itu terperanjat. Rencana ini jauh lebih berisiko daripada sekadar mengelabui tim survei. Ini melibatkan pengerahan tenaga kerja, pergerakan logistik, dan potensi pengkhianatan yang bisa berakibat fatal.

“Anakku,” kata Pak Tuo Sani dengan suara berat, wajahnya yang bijak tampak semakin berkerut. “Ini bukan hanya bermain api, tapi menari di atas bara. Jika Belanda tahu kita membangun kekuatan pangan secara diam-diam, mereka akan menganggapnya sebagai persiapan pemberontakan.” [1, 3]

“Tapi jika kita tidak berbuat apa-apa, kita akan mati kelaparan atau menjadi budak di tanah sendiri, Pak Tuo,” balas Alam dengan nada hormat namun tegas. “Lumbung ini bukan untuk memberontak dengan senjata, tapi untuk memastikan anak cucu kita tidak menangis karena lapar. Ini adalah perjuangan untuk bertahan hidup, untuk menjaga marwah kita sebagai manusia merdeka.”

Bundo Sari, yang sedari tadi diam mendengarkan, menatap Alam dengan pandangan yang sulit diartikan. Ada kekhawatiran, tetapi juga secercah kekaguman pada keteguhan hati pemuda di hadapannya. “Jika memang ini jalan yang harus kita tempuh untuk menjaga kelangsungan hidup nagari kita,” katanya pelan, “maka Bundo akan mendukungmu. Tapi ingat, Alam, keselamatan seluruh warga adalah yang utama. Jangan sampai langkah kita ini justru membawa bencana yang lebih besar.”

Dengan restu yang disertai peringatan keras itu, Alam mulai bergerak. Langkah pertama adalah mengumpulkan orang-orang kepercayaan. Ia tidak mengadakan rapat besar yang bisa menarik perhatian, melainkan mendekati para kepala keluarga, para pemuda yang ia tahu memiliki semangat juang, dan para perempuan yang ia yakini memiliki ketangguhan dan kecerdikan, satu per satu, dari rumah ke rumah, di bawah keremangan malam atau di saat-saat sepi ketika para serdadu Belanda sedang beristirahat.

Aisyah, tentu saja, menjadi salah satu orang pertama yang Alam ajak bicara secara lebih mendalam mengenai rencana ini. Melalui jaringan perempuannya, Aisyah telah mendengar banyak keluhan tentang kekurangan bahan makanan dan kekhawatiran akan masa depan. Ia menyambut gagasan Lumbung Nagari dengan antusiasme yang terkendali.

“Ini adalah gagasan yang sangat baik, Lam,” kata Aisyah ketika mereka bertemu secara tak sengaja di dekat pancuran, di bawah tatapan beberapa perempuan tua yang seolah menjadi penjaga tak terlihat. “Para perempuan di nagari ini pandai menyimpan dan mengolah makanan. Kami bisa membantu mengatur lumbung itu nanti, memastikan tidak ada yang terbuang sia-sia. Kami juga bisa membantu mencari bibit-bibit tanaman obat atau sayuran liar yang bisa ditanam di sekitar lahan baru itu.” Kekuatan tersembunyi Aisyah [Bab 20] kini menemukan medan pengabdian yang baru.

Prosesnya tidak mudah. Ada yang langsung setuju, tergerak oleh semangat Alam dan ancaman yang nyata. Ada yang ragu-ragu, takut akan risiko yang terlalu besar. Sutan Mudo [Bab 3, Bab 17], tentu saja, menjadi salah satu yang paling vokal menyuarakan keraguannya. “Membuka lahan baru di hutan? Menyimpan makanan secara diam-diam? Itu sama saja dengan membangunkan harimau tidur! Lebih baik kita patuh saja pada Belanda, setidaknya kita masih bisa hidup!”

Namun, Alam, dengan kesabaran dan argumen yang kuat, serta dukungan dari Pak Tuo Sani, Bundo Sari, dan Aisyah, perlahan-lahan berhasil meyakinkan sebagian besar warga. Mereka yang setuju membentuk kelompok-kelompok kecil, bekerja secara rahasia di malam hari atau di saat-saat tim survei Belanda sedang berada di wilayah lain.

Bujang memimpin tim kecil untuk mencari lokasi-lokasi yang paling aman dan subur di hutan. Mereka menemukan beberapa lembah tersembunyi yang dialiri mata air jernih, terlindung oleh tebing-tebing batu dan rerimbunan pohon besar. Di sanalah, dengan peralatan seadanya, mereka mulai membuka lahan, menebang pohon secukupnya, membersihkan semak belukar, dan menggemburkan tanah. Pekerjaan itu berat dan melelahkan, namun dikerjakan dengan semangat kebersamaan yang luar biasa.

Sementara itu, tim lain, yang dikoordinasi secara diam-diam oleh Aisyah dan beberapa perempuan paruh baya yang dihormati, bertugas mengumpulkan bibit. Mereka menukar sedikit sisa perhiasan atau kain tenun dengan bibit ubi, jagung, dan kacang-kacangan dari pedagang-pedagang kecil yang sesekali masih berani datang ke pinggir nagari, atau dari nagari-nagari tetangga yang belum seketat Nagari Sago pengawasannya. Setiap butir bibit adalah harapan.

Pembangunan lumbung itu sendiri dilakukan di sebuah gua yang cukup besar dan kering, yang letaknya tersembunyi di balik air terjun kecil, tak jauh dari tempat pertemuan rahasia Alam dan sahabat-sahabatnya. Para lelaki bekerja keras memperlebar mulut gua, membuat rak-rak dari bambu, dan melapisi lantainya dengan ijuk agar tetap kering. Semua dilakukan dengan sangat hati-hati, menjaga agar tidak ada jejak yang mencurigakan.

Namun, menjaga kerahasiaan di tengah intaian mata-mata Belanda bukanlah perkara mudah. Sersan De Vries, yang semakin frustrasi dengan minimnya hasil survei, meningkatkan patroli di sekitar nagari. Beberapa kali, kelompok kerja Alam nyaris ketahuan. Suatu malam, ketika Bujang dan beberapa pemuda sedang membawa bibit ubi melewati jalur tikus, mereka hampir berpapasan dengan patroli Sersan Pietersen. Hanya karena kesigapan Bujang yang segera menyuruh semua bersembunyi di balik semak berduri dan menahan napas selama hampir setengah jam, mereka berhasil lolos.

Di lain waktu, Arip, dengan kecerobohannya yang kadang muncul di saat tak terduga, hampir menjatuhkan beberapa peralatan cangkul kecil di dekat jalur yang biasa dilewati Demang Rustam. Untungnya, Hasan yang selalu waspada berhasil mencegahnya dan menyembunyikan peralatan itu tepat sebelum Demang Rustam lewat bersama Sersan De Vries. Insiden-insiden kecil seperti ini menjadi pengingat konstan akan bahaya yang mereka hadapi.

Demang Rustam sendiri menjadi sosok yang semakin sulit ditebak. Terkadang, ia tampak sengaja mengalihkan perhatian para sersan Belanda jika mereka terlalu dekat dengan area-area sensitif. Di lain waktu, ia bersikap sangat keras dan menuntut agar warga lebih kooperatif, seolah ingin menunjukkan loyalitasnya kepada Tuan Kontrolir. Alam tidak tahu pasti di mana hati Demang Rustam sebenarnya berpihak, dan ia memutuskan untuk tidak terlalu mengandalkannya.

Meskipun penuh dengan tantangan dan risiko, benih-benih harapan itu mulai tumbuh. Lahan-lahan tersembunyi mulai menghijau oleh tunas-tunas muda. Lumbung Nagari, sedikit demi sedikit, mulai terisi dengan hasil panen awal dari kebun-kebun darurat itu. Ini bukan hanya tentang makanan, tetapi tentang harga diri. Tentang perlawanan. Tentang masa depan Nagari Sago yang mereka coba rebut kembali dari cengkeraman penjajah, setapak demi setapak, dalam sunyi, di tengah intaian. Alam tahu, jalan masih panjang, tetapi melihat semangat dan kerjasama warganya, ia yakin mereka berada di jalan yang benar. Lumbung itu bukan hanya berisi padi atau ubi, tetapi berisi mimpi dan tekad seluruh nagari.