Tiga hari yang diberikan Sersan De Vries sebagai tenggat waktu [Bab 23] berlalu seperti embusan angin pagi yang dingin, meninggalkan gemetar ketakutan di setiap sudut Nagari Sago. Tidak ada “kemajuan signifikan” yang bisa dilaporkan Demang Rustam, setidaknya tidak kemajuan yang diinginkan oleh atasannya yang haus hasil itu. Peta Nagari Sago di atas meja Demang Rustam masih saja dipenuhi tanda tanya dan coretan-coretan yang lebih mirip sarang laba-laba daripada sebuah representasi wilayah yang akurat. Kemarahan Sersan De Vries, yang selama ini coba ia tahan, kini meledak tanpa tedeng aling-aling.
Pagi keempat, suaranya yang menggelegar kembali memecah kesunyian pondokan. Kali ini, ia tidak hanya membentak Demang Rustam. Ia mengumpulkan seluruh tim survei, termasuk kedua sersan Belanda lainnya, Pietersen yang pucat dan seorang sersan baru yang didatangkan dari Bukittinggi bernama Sersan Visser – berperawakan lebih kekar dan memiliki tatapan mata yang lebih kejam dari De Vries – serta para pembantu lokal yang wajahnya tertunduk lesu.
“Cukup sudah sandiwara ini!” De Vries berteriak, tinjunya menghantam meja hingga beberapa peralatan tulis berloncatan. “Mulai hari ini, aku sendiri yang akan memimpin pencarian ini! Tidak ada lagi jalur memutar, tidak ada lagi cerita bohong dari para penunjuk jalan bodoh! Kita akan sisir setiap jengkal tanah ini, setiap lubang, setiap gua, sampai kita menemukan apa yang Tuan Kontrolir van der Stel [Bab 15] inginkan! Dan jika ada satu orang pun dari nagari ini yang mencoba menghalangi atau berbohong, Sersan Visser di sini akan dengan senang hati memberikan pelajaran!”
Sersan Visser menyeringai, tangan kanannya menepuk-nepuk gagang pistol yang terselip di pinggangnya, menimbulkan bunyi yang mengerikan di telinga para pembantu lokal. Ancaman itu begitu nyata, begitu dekat. Kabar tentang metode baru Sersan De Vries ini menyebar lebih cepat dari api di alang-alang kering, dibawa oleh angin ketakutan yang berhembus kencang.
Alam mendengar kabar itu dengan hati yang bergemuruh. Taktik perlawanan pasif mereka [Bab 22] kini menghadapi ujian terberatnya. Ia segera mengumpulkan Hasan, Bujang, dan Arip di dangau rahasia mereka. Wajah mereka tegang, menyadari bahwa situasi telah berubah menjadi jauh lebih berbahaya.
“Mereka tidak main-main lagi,” kata Alam pelan, matanya menatap kosong ke arah hutan yang kini terasa menyimpan ancaman baru. “De Vries akan menggunakan segala cara. Pekerjaan di Lumbung Nagari [Bab 23] dan kebun-kebun tersembunyi harus dihentikan sementara. Terlalu berisiko.”
“Tapi, Lam,” sela Hasan cemas, “bibit-bibit itu baru saja mulai tumbuh. Jika tidak diurus, bisa mati semua.” [1]
“Lebih baik bibit tanaman yang mati daripada nyawa warga kita yang melayang, San,” jawab Alam tegas. “Keselamatan adalah yang utama saat ini. Kita harus fokus untuk melindungi apa yang sudah kita bangun dan memastikan tidak ada jejak yang bisa membawa mereka ke sana.”
Bujang mengangguk. “Aku akan periksa semua jalur menuju lembah-lembah tersembunyi itu. Aku akan pastikan tidak ada tanda-tanda aktivitas kita yang tersisa. Aku juga akan coba membuat beberapa jejak palsu, mengarahkan mereka ke tempat-tempat yang aman namun sulit dijangkau, seperti tebing-tebing curam atau rawa-rawa kecil.” [2] Keahliannya membaca hutan kini menjadi benteng pertahanan terakhir mereka.
Arip, yang biasanya banyak bicara, kini lebih banyak diam, wajahnya pucat. “Bagaimana jika mereka memaksa warga untuk menunjukkan jalan, Lam? Dengan ancaman Sersan Visser itu, aku takut banyak yang akan menyerah.” [2]
“Itulah kekhawatiranku juga, Rip,” kata Alam. “Karena itu, kita harus bergerak lebih cepat dari mereka. Kita harus ‘membersihkan’ semua area yang berpotensi menimbulkan kecurigaan, dan kita harus menyiapkan cerita yang seragam jika ada warga yang ditanyai.”
Sementara Alam dan sahabat-sahabatnya menyusun strategi baru, Sersan De Vries benar-benar menjalankan ancamannya. Ia membagi timnya menjadi tiga kelompok kecil. Kelompok pertama dipimpinnya sendiri, menyisir area perbukitan di sebelah barat nagari, tempat ia paling curiga ada sesuatu yang disembunyikan. Kelompok kedua, dipimpin Sersan Pietersen yang kini didampingi Sersan Visser yang sangar, ditugaskan untuk memeriksa kembali jalur-jalur sungai dan sumber mata air. Kelompok ketiga, yang terdiri dari beberapa juru ukur dan pembantu lokal di bawah pengawasan Demang Rustam, diperintahkan untuk melanjutkan pemetaan di area persawahan dan pemukiman, namun dengan penjagaan yang lebih ketat.
Demang Rustam berada dalam posisi yang semakin terjepit. Setiap pagi, sebelum timnya berangkat, De Vries memberinya tatapan penuh ancaman, seolah mengingatkannya bahwa kegagalan kali ini akan berakibat fatal baginya. Alam melihat bagaimana wajah Demang Rustam semakin hari semakin kuyu, lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Suatu kali, ketika tak ada serdadu Belanda di sekitar, Demang Rustam secara tak sengaja berpapasan dengan Alam di dekat pasar nagari yang sepi.
“Hati-hati, Alam,” bisik Demang Rustam pelan, matanya bergerak gelisah. “De Vries benar-benar marah. Dia tidak akan segan-segan menggunakan kekerasan. Jangan berikan dia alasan.” Hanya itu yang ia katakan, sebelum buru-buru berlalu, meninggalkan Alam dengan perasaan campur aduk. Apakah itu peringatan tulus, atau sekadar upaya Demang Rustam untuk menyelamatkan dirinya sendiri? Alam tidak tahu pasti.
Pekerjaan di Lumbung Nagari dan kebun-kebun tersembunyi benar-benar dihentikan. Para lelaki dan perempuan yang biasanya bekerja di sana kini kembali ke aktivitas normal mereka, namun dengan hati yang terus was-was. Aisyah dan jaringan perempuannya [Bab 20] bertugas menyebarkan pesan agar semua warga tetap tenang namun waspada, dan jika ditanya oleh pihak Belanda, untuk memberikan jawaban yang telah disepakati bersama – bahwa mereka tidak tahu apa-apa selain bertani dan mengurus rumah tangga.
Namun, Sersan De Vries bukanlah orang yang mudah menyerah. Ia memiliki insting seorang pemburu. Selama beberapa hari, ia dan kelompoknya menjelajahi perbukitan dengan brutal, menebas semak, memanjat tebing, dan memasuki gua-gua kecil. Mereka tidak menemukan lahan pertanian tersembunyi atau lumbung rahasia, berkat kesigapan Bujang dan timnya yang telah berhasil menghilangkan semua jejak dan membuat beberapa kamuflase cerdik. Namun, De Vries menemukan sesuatu yang lain.
Suatu sore, kelompok De Vries kembali ke nagari dengan wajah lelah namun mata yang menyiratkan secercah kemenangan. Di tangan salah seorang pembantu lokal yang dipaksa ikut, terdapat beberapa potong ubi kayu yang masih segar dan beberapa helai daun jagung muda.
“Lihat ini, Demang!” De Vries melemparkan ubi kayu itu ke atas meja, tepat di hadapan Demang Rustam yang baru saja kembali dari “survei” di sawah. “Ini kami temukan di sebuah ceruk tersembunyi di dekat Air Terjun Sarasah. Bukan dari kebun resmi warga. Ada yang mencoba menanam secara diam-diam di sana!”
Jantung Alam, yang kebetulan berada tak jauh dari balai adat dan mendengar suara De Vries, terasa seperti berhenti berdetak. Ceruk di dekat Air Terjun Sarasah adalah salah satu lokasi kebun darurat pertama yang mereka buka, meskipun skalanya kecil dan hanya untuk uji coba. Mereka pikir sudah cukup tersembunyi.
“Mungkin… mungkin itu hanya tanaman liar, Tuan Sersan,” jawab Demang Rustam, suaranya sedikit bergetar.
“Tanaman liar yang ditanam berbaris rapi dan tanahnya baru digemburkan?” De Vries tertawa sinis. “Jangan bodohi aku, Demang! Ini adalah jejak! Jejak bahwa penduduk nagari ini menyembunyikan sesuatu dari kita! Mereka tidak sejujur dan sebodoh yang kau katakan!”
De Vries memerintahkan agar area di sekitar Air Terjun Sarasah diawasi lebih ketat. Ia juga memerintahkan agar beberapa warga yang tinggal paling dekat dengan area itu diinterogasi. Ketakutan kembali mencengkeram Nagari Sago. Sutan Mudo [Bab 17] tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
“Lihat! Apa kubilang!” serunya di lepau malam itu, suaranya penuh kemenangan yang getir. “Ulah si Alam dan rencana-rencana gilanya itu yang membuat kita semua celaka! Sekarang Belanda sudah menemukan jejak! Sebentar lagi mereka akan menemukan lumbung rahasia itu, jika memang benar ada! Dan kita semua akan habis!”
Beberapa warga yang tadinya mulai percaya pada Alam kini kembali diliputi keraguan. Tekanan dari luar dan perpecahan dari dalam semakin menggerogoti ketahanan Nagari Sago.
Alam merasa terpojok. Penemuan ubi kayu itu adalah pukulan telak. Meskipun bukan lumbung utama yang ditemukan, itu sudah cukup untuk membuktikan kecurigaan De Vries. Ia harus segera bertindak sebelum situasi semakin memburuk. Malam itu, ia tidak bisa tidur. Pikirannya berputar mencari jalan keluar. Ia tahu, Sersan De Vries tidak akan berhenti sampai ia menemukan apa yang ia anggap sebagai “bukti” pengkhianatan atau persiapan pemberontakan.
Menjelang fajar, sebuah ide nekat mulai terbentuk di benak Alam. Ide yang sangat berisiko, yang bisa menyelamatkan nagari, atau justru menjerumuskannya ke dalam bencana yang lebih besar. Ia harus mengorbankan sesuatu untuk melindungi sesuatu yang lebih besar. Ia harus memberikan “jejak” lain kepada De Vries, jejak yang akan memuaskannya untuk sementara waktu, jejak yang akan menjauhkan perhatiannya dari Lumbung Nagari yang sesungguhnya.
Pagi itu, dengan wajah keras menahan tekad, Alam memanggil Bujang, Hasan, dan Arip. Ia juga meminta Aisyah untuk menyampaikan pesan rahasia kepada Pak Tuo Sani. Pertaruhan terbesar dalam hidupnya akan segera dimulai. Nagari Sago menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya di bawah bayang-bayang ancaman yang semakin nyata. Jejak yang mencurigakan itu telah ditemukan, dan kini Alam harus memutuskan bagaimana cara menghapusnya, atau mengubahnya menjadi sesuatu yang lain sama sekali.