Bab 25: Mengorbankan Umpan

Fajar baru saja merekah di ufuk timur, namun langit di atas Nagari Sago masih terasa berat, seolah ikut merasakan ketegangan yang mencekik setiap jiwa. Penemuan ubi kayu dan daun jagung muda di ceruk dekat Air Terjun Sarasah oleh Sersan De Vries [Bab 24] telah menjadi lonceng kematian bagi taktik perlawanan pasif mereka. Alam tahu, insting pemburu De Vries telah bangkit, dan ia tidak akan berhenti hingga menemukan sarang yang lebih besar. Malam tanpa tidur yang dilalui Alam di dangau rahasianya telah melahirkan sebuah rencana yang begitu nekat, begitu berbahaya, hingga ia sendiri merasa gentar untuk menyuarakannya. Namun, di tubir keputusasaan, terkadang keberanian yang paling gila adalah satu-satunya pilihan yang tersisa.

Pagi itu, sebelum ayam hutan terakhir menyelesaikan kokoknya, Alam telah mengumpulkan Bujang, Hasan, dan Arip. Wajah ketiga sahabatnya itu menyiratkan kelelahan dan kecemasan yang sama. Kabar tentang kemarahan De Vries dan ancaman Sersan Visser telah sampai ke telinga mereka.

“Kita tidak punya banyak waktu,” Alam memulai, suaranya serak namun nadanya tak menyisakan ruang untuk keraguan. “De Vries akan menyisir setiap jengkal tanah ini. Lumbung Nagari kita yang sesungguhnya [Bab 23] dan kebun-kebun di lembah tersembunyi akan menjadi sasaran utama mereka jika mereka terus mencari tanpa menemukan apa-apa. Kita harus memberinya sesuatu.”

“Memberinya sesuatu, Lam?” Arip memotong, matanya membelalak. “Maksudmu kita menyerah?” [2]

“Bukan menyerah, Rip,” jawab Alam, tatapannya dingin menusuk. “Tapi mengorbankan umpan. Kita akan membuat sebuah ‘lumbung’ palsu, atau setidaknya sebuah tempat penyimpanan makanan yang cukup meyakinkan, di lokasi yang berbeda. Kita akan biarkan De Vries ‘menemukannya’. Kita akan biarkan dia merasa menang.”

Hasan ternganga. “Lumbung palsu? Tapi… itu berarti kita harus mengorbankan sebagian dari persediaan kita yang sudah sangat sedikit. Dan bagaimana jika dia tahu itu palsu?” [1]

“Risikonya besar, aku tahu,” Alam mengakui. “Tapi risiko jika dia menemukan Lumbung Nagari kita yang sesungguhnya jauh lebih besar. Itu adalah jantung pertahanan kita. Jika itu jatuh, habislah kita semua. Umpan ini harus terlihat cukup nyata, cukup berharga sehingga De Vries merasa puas dan mungkin, hanya mungkin, mengendurkan pencariannya di tempat lain.”

Bujang, yang sedari tadi diam menganalisis, akhirnya angkat bicara. “Di mana kita akan membuat umpan ini, Lam? Dan bagaimana kita memastikan dia menemukannya tanpa terlihat terlalu disengaja?” [2]

“Aku sudah memikirkannya,” kata Alam. “Ada sebuah gua tua di lereng Bukit Ambacang, tidak terlalu jauh dari jalur yang biasa mereka patroli, tapi cukup tersembunyi sehingga penemuannya akan terasa seperti sebuah ‘keberhasilan’ bagi De Vries. Gua itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menyimpan beberapa karung padi, ubi, dan jagung. Kita akan membuatnya seolah-olah itu adalah tempat persembunyian darurat yang baru saja mulai kita gunakan.”

Rencana itu begitu berani hingga terasa gila. Mengorbankan sebagian kecil dari persediaan makanan yang mereka kumpulkan dengan susah payah, membangun sebuah harapan palsu hanya untuk dihancurkan, dan berharap bahwa keserakahan dan keangkuhan De Vries akan membuatnya mengambil umpan itu tanpa curiga.

Alam kemudian meminta Aisyah untuk segera menyampaikan inti rencananya kepada Pak Tuo Sani dan Bundo Sari. Ia tahu, ia membutuhkan restu dan dukungan mereka, meskipun ia juga sadar betapa berat keputusan yang harus mereka ambil.

Reaksi Pak Tuo Sani, seperti yang diduga Alam, adalah campuran antara keterkejutan dan kekhawatiran yang mendalam. “Ini pertaruhan yang sangat besar, Alam,” kata Pak Tuo Sani ketika mereka bertemu secara rahasia di surau tua menjelang tengah hari. Bundo Sari yang mendampinginya tampak pucat, matanya menyiratkan kesedihan. “Jika De Vries menyadari ini adalah jebakan, atau jika ia merasa umpan ini tidak cukup, kemarahannya akan berkali-kali lipat. Nyawa seluruh nagari bisa menjadi taruhannya.” [1, 3]

“Saya mengerti, Pak Tuo, Bundo,” jawab Alam dengan suara mantap. “Tapi jika kita tidak melakukan apa-apa, kita hanya menunggu mereka menemukan Lumbung Nagari kita. Dengan umpan ini, setidaknya kita punya kesempatan untuk mengalihkan perhatian mereka. Kita akan membuatnya terlihat seperti sebuah kecerobohan dari pihak kita, seolah kita panik dan mencoba menyembunyikan makanan secara terburu-buru setelah penemuan di Air Terjun Sarasah.”

Bundo Sari menatap Alam lama. “Berapa banyak makanan yang akan kau korbankan, Nak?” tanyanya pelan.

“Tidak banyak, Bundo,” jawab Alam. “Cukup untuk meyakinkan De Vries bahwa ia telah menemukan sesuatu yang berarti. Beberapa karung padi, beberapa ikat ubi dan jagung dari kebun darurat yang paling mudah dijangkau. Kerugiannya akan kita tanggung bersama, tapi harapan yang bisa kita selamatkan jauh lebih besar.”

Setelah perdebatan yang alot dan penuh pertimbangan, di mana Alam dengan sabar menjelaskan setiap detail rencananya dan potensi risikonya, Pak Tuo Sani akhirnya memberikan restunya, meskipun dengan hati yang berat. “Lakukanlah, Alam,” katanya dengan suara bergetar. “Tapi ingat, satu kesalahan kecil saja, dan kita semua akan menanggung akibatnya. Percayakan pada Bujang untuk mengatur jejaknya. Dan semoga Allah melindungi kita semua.”

Dengan restu itu, operasi senyap namun penuh ketegangan dimulai. Waktu mereka sangat sempit. Sersan De Vries bisa memulai penyisiran brutalnya kapan saja. Alam membagi tugas dengan sangat hati-hati. Bujang, dengan keahliannya yang tak tertandingi, bertanggung jawab untuk memilih lokasi pasti di Gua Ambacang dan menciptakan jejak-jejak yang “tidak sengaja” namun cukup jelas untuk diikuti oleh mata yang awas seperti De Vries. Jejak itu harus terlihat seperti aktivitas tergesa-gesa, bukan jebakan yang disiapkan dengan matang.

Hasan dan Arip, bersama beberapa pemuda paling tepercaya yang telah bersumpah untuk menjaga rahasia, bertugas mengangkut persediaan makanan “umpan” itu ke Gua Ambacang. Mereka melakukannya di bawah keremangan malam, bergerak seperti bayangan, menghindari setiap jalur patroli. Setiap karung padi yang mereka angkut terasa begitu berat, bukan hanya karena bobotnya, tetapi karena kesadaran bahwa mereka sedang membawa sebagian dari harapan nagari untuk dikorbankan.

Aisyah dan para perempuan juga memainkan peran penting. Mereka bertugas menciptakan “kesibukan” di sekitar jalur-jalur yang akan dilewati tim pengangkut, seperti berpura-pura mencari kayu bakar lebih larut dari biasanya atau mengadakan acara doa kecil di surau dekat jalur tersebut, untuk mengalihkan perhatian jika ada mata-mata atau patroli yang tak terduga. Mereka juga bertugas menyebarkan desas-desus yang membingungkan di antara para pembantu lokal rombongan Demang Rustam, tentang adanya “tempat keramat” atau “harta karun tersembunyi” di sekitar Bukit Ambacang, berharap informasi itu sampai ke telinga De Vries dan menambah “keabsahan” penemuannya nanti.

Persiapan itu berlangsung selama dua malam yang panjang dan menegangkan. Alam sendiri hampir tidak tidur, mengawasi setiap detail, memastikan tidak ada kesalahan. Ia merasakan beban tanggung jawab yang begitu besar di pundaknya. Jika rencana ini gagal, bukan hanya dirinya yang akan celaka, tetapi seluruh Nagari Sago. Ladiang yang selalu terselip di pinggangnya [3] terasa dingin, seolah ikut merasakan ketegangan.

Pada malam kedua, ketika semua “umpan” telah ditempatkan dengan rapi namun terkesan acak-acakan di dalam Gua Ambacang, dan jejak-jejak “kecerobohan” telah disebar oleh Bujang di sekitarnya – beberapa helai daun pembungkus makanan yang tercecer, bekas tapak kaki yang tidak terlalu terhapus, ranting patah yang mengarah ke gua – mereka semua menarik napas lega bercampur cemas. Umpan telah dipasang. Kini mereka hanya bisa menunggu dan berdoa.

Keesokan paginya, seperti yang telah diperkirakan, Sersan De Vries memulai penyisirannya dengan kemarahan yang meluap-luap. Ia membagi pasukannya, dan ia sendiri memimpin kelompok yang menuju ke arah Bukit Ambacang, mungkin karena desas-desus yang berhasil disebarkan oleh Aisyah, atau mungkin karena instingnya yang tajam mencium sesuatu.

Alam dan para tetua nagari menunggu di balai adat dengan jantung berdebar. Setiap jam terasa seperti selamanya. Kabar datang secara berkala dari para pengintai muda yang ditempatkan Bujang di titik-titik strategis. Rombongan De Vries terlihat bergerak menuju kaki Bukit Ambacang. Mereka tampak mengikuti sebuah jejak.

Menjelang tengah hari, seorang pengintai datang dengan napas terengah-engah. “Mereka… mereka telah menemukan Gua Ambacang, Pak Tuo! Terdengar teriakan kemenangan dari arah sana!”

Hening sejenak di balai adat. Lalu, Pak Tuo Sani menatap Alam. Ada campuran antara kelegaan dan ketakutan di matanya. Alam sendiri merasakan gelombang emosi yang aneh. Ada sedikit rasa puas karena umpannya dimakan, tetapi juga rasa sakit karena harus mengorbankan hasil jerih payah mereka.

Sore harinya, Sersan De Vries kembali ke nagari dengan langkah angkuh, wajahnya menyiratkan kepuasan yang tak tersembunyikan, meskipun masih ada gurat kelelahan. Di belakangnya, beberapa anak buahnya membawa karung-karung padi dan beberapa ikat ubi serta jagung – hasil “penemuan” mereka di Gua Ambacang.

“Lihat ini, Demang!” De Vries membanting salah satu karung padi di hadapan Demang Rustam, yang telah dipanggil menghadap. “Apa kubilang? Pendudukmu ini memang licik! Mereka mencoba menyembunyikan makanan dari kita! Mereka pikir kita bodoh!” Ia tertawa keras, tawa yang terdengar mengerikan. “Ini baru permulaan! Aku yakin masih banyak yang mereka sembunyikan! Tapi setidaknya, hari ini kita mendapatkan bukti!”

De Vries memerintahkan agar makanan itu disita. Ia juga memerintahkan agar penjagaan di sekitar nagari diperketat, dan beberapa warga yang dianggap mencurigakan akan “diinterogasi” lebih lanjut oleh Sersan Visser. Namun, ada nada kepuasan dalam suaranya yang tidak ada sebelumnya. Ia merasa telah memenangkan satu pertempuran penting.

Di tengah kemarahan dan ancaman baru itu, Alam melihat secercah harapan. Umpan itu telah berhasil mengalihkan perhatian De Vries, setidaknya untuk sementara. Lumbung Nagari yang sesungguhnya, jantung pertahanan mereka, masih aman. Namun, harga yang harus dibayar mahal. Beberapa warga mungkin akan menjadi korban interogasi kejam Sersan Visser. Dan De Vries, meskipun merasa menang, kini semakin yakin bahwa Nagari Sago memang menyembunyikan sesuatu yang lebih besar.

Malam itu, Nagari Sago kembali diselimuti ketegangan. Alam tahu, pertarungan belum selesai. Mengorbankan umpan hanyalah satu langkah kecil dalam permainan catur yang panjang dan berbahaya melawan kekuatan kolonial yang serakah. Ia telah berhasil melindungi aset mereka yang paling berharga, tetapi ia juga telah membangkitkan kemarahan harimau yang terluka. Dan harimau itu pasti akan kembali dengan cakar yang lebih tajam.