Bab 26: Harga Sebuah Umpan

Kemenangan semu yang dirasakan Sersan De Vries setelah “menemukan” Gua Ambacang dan isinya [Bab 25] tidak membawa kelegaan bagi Nagari Sago. Sebaliknya, hari-hari berikutnya menjelma menjadi babak baru teror yang lebih dingin dan mencekam. De Vries, bak harimau yang terluka dan semakin buas, memang merasa telah mendapatkan bukti kelicikan penduduk, namun instingnya mengatakan bahwa apa yang ia temukan hanyalah puncak dari gunung es. Kepuasannya bercampur dengan amarah yang lebih besar, keyakinan bahwa Nagari Sago masih menyembunyikan rahasia yang jauh lebih penting. Dan untuk membongkar rahasia itu, ia telah membawa alat yang paling ia percaya: Sersan Visser.

Sersan Visser, dengan perawakannya yang kekar, wajah tanpa ekspresi, dan mata sedingin es, segera menjadi momok yang menghantui setiap sudut nagari. Perintah De Vries untuk “menginterogasi” warga yang dianggap mencurigakan ia jalankan dengan efisiensi yang brutal. Balai adat yang biasanya menjadi tempat musyawarah dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, kini beberapa kali disulap menjadi ruang interogasi yang dingin dan penuh ancaman. Suara bentakan, kadang diselingi rintihan tertahan, mulai terdengar merayap di antara rumah-rumah gadang, membekukan darah siapa saja yang mendengarnya.

Korban pertama adalah seorang petani tua bernama Pak Gaek, yang kebetulan rumahnya tak jauh dari jalur menuju Bukit Ambacang. Ia diseret dari pondoknya di tengah hari, disaksikan oleh istri dan cucu-cucunya yang menangis ketakutan. Pak Gaek, yang seumur hidupnya hanya mengenal cangkul dan sawah, dipaksa duduk di kursi di hadapan Sersan Visser dan Sersan De Vries yang mengawasinya dengan tatapan predator. Demang Rustam hadir di sana, namun wajahnya pucat pasi dan ia lebih banyak menunduk, tak berani menatap mata Pak Gaek yang penuh kebingungan dan ketakutan.

“Orang tua,” Sersan Visser memulai dengan suara datar namun mengandung ancaman, sementara seorang juru bahasa pribumi yang mereka bawa dari Bukittinggi menerjemahkannya dengan gemetar. “Kami tahu kalian menyembunyikan lebih banyak makanan. Gua di Bukit Ambacang itu hanya sebagian kecil. Di mana sisanya? Siapa yang menyuruh kalian menyembunyikannya?”

Pak Gaek, dengan bahasa Minang yang terbata-bata, berusaha menjelaskan bahwa ia tidak tahu apa-apa. Ia hanya petani miskin. Gua Ambacang pun baru ia dengar namanya setelah ditemukan oleh para serdadu.

Namun, Sersan Visser tidak percaya. Tangannya yang kasar mencengkeram bahu Pak Gaek, mengguncangnya dengan keras. “Jangan berbohong padaku, bangsat tua! Aku tidak punya banyak waktu untuk sandiwaramu!”

Bentakan dan ancaman terus berlanjut. Ketika Pak Gaek tetap pada pendiriannya, Sersan Visser mulai menggunakan cara-cara yang lebih menyakitkan. Tamparan, pukulan di ulu hati, hingga ancaman akan menyakiti keluarganya jika ia tidak bicara. Rintihan Pak Gaek yang tertahan terdengar hingga ke luar balai adat, merobek hati setiap warga Nagari Sago yang mendengarnya.

Alam, yang mengawasi dari kejauhan dengan hati bagai disayat sembilu, mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Inilah harga dari umpannya. Ia telah berhasil melindungi Lumbung Nagari yang sesungguhnya, tetapi ia juga telah menyerahkan sebagian warganya ke dalam cengkeraman serigala. Rasa bersalah dan amarah bergejolak hebat dalam dirinya. Ia ingin menyerbu masuk, menghajar para serdadu itu dengan ladiangnya, [3] tetapi ia tahu itu hanya akan menjadi tindakan bunuh diri yang sia-sia dan menyeret seluruh nagari ke dalam bencana yang lebih besar.

Setelah beberapa jam disiksa, Pak Gaek akhirnya dilepaskan, tubuhnya lemas dan penuh luka memar, namun jiwanya hancur. Ia tidak memberikan informasi apapun karena memang tidak tahu, tetapi pengalaman itu telah menanamkan teror yang mendalam. Dan ia bukan satu-satunya. Beberapa warga lain, baik lelaki maupun perempuan yang dianggap “mencurigakan” atau mencoba melawan dengan kata-kata, mengalami nasib serupa. Nagari Sago kini hidup dalam bayang-bayang penyiksaan.

Sutan Mudo [Bab 17], tentu saja, tidak tinggal diam melihat situasi ini. Ia berkeliling dari lepau ke lepau, menyebarkan ketakutan dan menyalahkan Alam secara terbuka. “Lihat! Apa kubilang dulu?! Rencana si Alam itu hanya membawa celaka! Sekarang orang-orang tua kita disiksa, perempuan kita diancam! Ini semua karena ulahnya yang sok pahlawan! Lebih baik kita serahkan saja apa yang Belanda mau, daripada kita semua mati konyol!” Suaranya yang lantang berhasil mempengaruhi sebagian warga yang sudah dilanda keputusasaan.

Perpecahan di nagari semakin terasa. Kepercayaan kepada Alam mulai goyah di kalangan mereka yang lemah iman atau terlalu takut. Pak Tuo Sani dan Bundo Sari [1, 3] berusaha keras menenangkan warga, meyakinkan mereka untuk tetap bersatu dan tidak terpancing provokasi Sutan Mudo. Namun, kata-kata mereka seolah tenggelam dalam gelombang ketakutan yang diciptakan oleh Sersan Visser.

Di tengah situasi yang semakin genting itu, Alam mengumpulkan kembali Bujang, Hasan, dan Arip di dangau rahasia mereka. Wajah mereka semua menyiratkan beban yang sama. “Kita tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut,” kata Hasan dengan suara bergetar, matanya memerah menahan tangis dan amarah setelah mendengar kabar tentang penyiksaan Pak Gaek. “Warga kita tidak akan tahan.” [1]

“Aku tahu, San,” jawab Alam, suaranya parau. “Setiap rintihan mereka adalah cambuk bagi hatiku. Umpan itu… umpan itu telah memakan korban yang tidak berdosa.” Ia terdiam sejenak, menelan ludah yang terasa pahit. “Tapi kita tidak boleh goyah sekarang. Jika kita panik dan membongkar Lumbung Nagari kita, semua pengorbanan ini akan sia-sia. De Vries akan mendapatkan apa yang ia mau, dan kita akan kehilangan segalanya.”

“Lalu apa yang harus kita lakukan, Lam?” tanya Bujang, tatapannya yang biasanya tenang kini menyiratkan kekhawatiran. “Visser itu seperti anjing gila. Dia tidak akan berhenti.” [2]

Alam menarik napas dalam, mencoba menjernihkan pikirannya yang kalut. “Kita harus mengubah strategi lagi. Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan tipu muslihat untuk mengelabui mereka. Kita harus menemukan cara untuk melindungi warga kita dari kekejaman Visser, sambil tetap menjaga rahasia Lumbung Nagari.”

Sebuah ide mulai terbentuk, sebuah ide yang lebih berani dan mungkin lebih berbahaya dari sebelumnya. “Bagaimana jika… bagaimana jika kita memberikan Visser ‘pengakuan’?” kata Alam pelan.

Ketiga sahabatnya terperanjat. “Pengakuan apa, Lam?” tanya Arip tak mengerti. “Pengakuan bahwa kita menyembunyikan makanan? Itu sama saja dengan menyerah!” [2]

“Bukan pengakuan tentang Lumbung Nagari kita yang sesungguhnya,” jelas Alam. “Tapi pengakuan tentang ‘gua lain’. Gua yang lebih kecil, yang isinya hanya sedikit sisa-sisa makanan yang ‘terlupa’ kita pindahkan dari Gua Ambacang. Kita akan ‘mengorbankan’ satu atau dua orang yang paling kuat mentalnya, yang bersedia ‘mengaku’ di bawah tekanan, setelah disiksa secukupnya agar terlihat nyata. Pengakuan itu harus cukup meyakinkan Visser bahwa ia telah berhasil mematahkan perlawanan kita, bahwa ia telah menemukan ‘sisa terakhir’ dari makanan yang kita sembunyikan.”

Rencana itu terdengar gila. Meminta seseorang untuk dengan sengaja membiarkan dirinya disiksa demi sebuah sandiwara. Namun, di tengah keputusasaan, terkadang pilihan yang paling tidak masuk akal adalah satu-satunya jalan keluar.

“Siapa yang akan kita korbankan, Lam?” tanya Hasan dengan suara lirih. “Tidak ada yang sanggup melihat saudaranya disiksa.”

“Aku sendiri yang akan melakukannya,” sebuah suara tiba-tiba menyahut dari balik pintu dangau. Bujang melangkah masuk, wajahnya keras seperti batu. “Aku yang paling kuat di antara kita. Aku bisa menahan siksaan Visser. Biar aku yang ‘mengaku’.”

Alam terkejut. “Jangan, Jang! Ini terlalu berbahaya! Kau…”

“Tidak ada cara lain, Lam,” potong Bujang tegas. “Kau adalah pemimpin kami. Kau tidak boleh tertangkap atau terluka. Hasan dan Arip juga punya kelebihan masing-masing yang dibutuhkan nagari. Biar aku yang menjadi umpan kali ini. Umpan yang sesungguhnya.”

Hati Alam terasa diremas. Pengorbanan Bujang akan sangat besar. Namun, ia juga melihat kebenaran dalam kata-kata sahabatnya itu. Bujang memang yang paling tangguh secara fisik dan mental. Jika ada yang bisa melewati siksaan Visser dan tetap menjaga rahasia Lumbung Nagari, itu adalah Bujang.

Setelah perdebatan yang panjang dan penuh emosi, dengan berat hati Alam menyetujui rencana Bujang. Mereka segera menyusun detailnya. Gua kecil yang akan dijadikan “tempat pengakuan” dipilih dengan cermat – sebuah lubang dangkal di bawah akar pohon besar yang tidak terlalu jauh dari jalur patroli, namun cukup tersembunyi. Beberapa karung kosong dan sisa-sisa ubi yang sudah agak busuk akan ditempatkan di sana. Bujang akan “tertangkap” di dekat area itu, seolah-olah ia baru saja selesai memeriksa “simpanan terakhirnya”.

Aisyah, ketika mendengar rencana ini melalui Hasan (karena Alam merasa terlalu berat untuk menyampaikannya sendiri), menangis dalam diam. Ia mengerti betapa besar pengorbanan yang akan dilakukan Bujang. Ia segera mengerahkan jaringan perempuannya untuk menyebarkan cerita bahwa Bujang akhir-akhir ini sering terlihat gelisah dan menyendiri, seolah menyembunyikan sesuatu yang besar, untuk membangun “latar belakang” bagi penangkapan Bujang nanti.

Sementara itu, Demang Rustam semakin terjepit. Sersan De Vries terus mendesaknya untuk mencari informan di dalam nagari. Suatu hari, De Vries memanggilnya secara pribadi. “Demang,” kata De Vries dengan suara dingin. “Aku tahu kau tidak sebodoh kelihatannya. Kau pasti tahu sesuatu tentang apa yang sebenarnya terjadi di nagari ini. Bekerjasamalah denganku sepenuhnya, dan posisimu akan aman. Bahkan mungkin ada imbalan yang menarik. Tapi jika kau terus mencoba melindungiku atau bermain dua kaki, nasibmu akan lebih buruk dari para petani bodoh itu.”

Demang Rustam menelan ludah. Tawaran sekaligus ancaman itu begitu nyata. Ia teringat wajah-wajah sengsara warganya yang disiksa. Ia teringat akan anak istrinya di rumah. Malam itu, ia mengambil sebuah keputusan berat yang akan mengubah jalan hidupnya.

Hari penangkapan Bujang pun tiba. Semua berjalan sesuai rencana yang telah disusun dengan sangat rapi. Bujang “tertangkap basah” oleh patroli Sersan Visser di dekat akar pohon besar itu. Perlawanan singkat yang ia lakukan hanya untuk menambah kesan alami. Ia kemudian diseret ke balai adat.

Interogasi Bujang berlangsung berjam-jam. Sersan Visser menggunakan segala cara untuk mematahkan perlawanannya. Suara bentakan dan pukulan terdengar silih berganti. Alam, yang menunggu di luar bersama Pak Tuo Sani dan warga lainnya, merasakan setiap pukulan itu seolah mendarat di tubuhnya sendiri. Aisyah dan para perempuan berdoa dalam hati, memohon keselamatan bagi Bujang.

Akhirnya, setelah melewati batas ketahanan manusia biasa, Bujang “mengaku”. Ia memberitahukan tentang “gua rahasia” di bawah akar pohon itu, tempat ia menyimpan “sisa makanan terakhir” untuk keluarganya.

Sersan De Vries dan Sersan Visser segera menyeret Bujang yang sudah babak belur ke lokasi yang ditunjukkan. Dan benar saja, mereka menemukan beberapa karung kosong dan ubi busuk. Wajah De Vries menyiratkan campuran antara kemenangan dan kekecewaan. Kemenangan karena ia berhasil “mematahkan” perlawanan salah satu pemuda terkuat Nagari Sago. Kekecewaan karena “harta karun” yang ia temukan tidak sebesar yang ia harapkan.

“Ini saja yang kau sembunyikan, hah?!” bentak De Vries kepada Bujang. “Setelah semua ini, hanya sampah ini yang kau punya?!”

Bujang, dengan sisa tenaganya, hanya bisa mengangguk lemah.

De Vries memerintahkan agar Bujang tetap ditahan. Ia masih belum sepenuhnya percaya. Namun, “penemuan” itu setidaknya memberinya sesuatu untuk dilaporkan kepada Tuan Kontrolir van der Stel. Ia merasa telah berhasil memberikan pelajaran kepada Nagari Sago.

Malam itu, Nagari Sago kembali diselimuti kesunyian yang mencekam. Bujang berada dalam tahanan Belanda, nasibnya tidak menentu. Alam merasa lega karena Lumbung Nagari masih aman, tetapi harga yang harus dibayar untuk umpan kali ini adalah kebebasan dan keselamatan sahabatnya sendiri. Perjuangan masih jauh dari selesai. Harimau yang terluka itu mungkin telah memakan umpan kedua, tetapi ia pasti akan kembali dengan rasa lapar yang lebih besar. Dan Alam tahu, ia harus siap dengan rencana berikutnya, rencana yang mungkin akan menuntut pengorbanan yang lebih besar lagi.