Tiga hari yang terasa bagai sewindu bagi Nagari Sago akhirnya tiba. Langit masih diselimuti sisa-sisa kegelapan ketika Sersan De Vries, dengan wajah sekeras batu dan mata menyala oleh ambisi yang tak terpuaskan, mengumpulkan seluruh pasukannya di alun-alun kecil depan balai adat. Sersan Visser berdiri di sampingnya, seringai tipis menghiasi bibirnya yang kejam, seolah tak sabar untuk menumpahkan kekesalan atas kegagalan-kegagalan sebelumnya. Sersan Pietersen, meski tampak lebih pendiam, juga memancarkan aura ketegangan yang sama. Demang Rustam, dengan wajah pucat dan mata yang terus bergerak gelisah, berdiri sedikit di belakang mereka, berusaha sebisa mungkin tidak menarik perhatian. Pesan rahasia yang ia kirimkan [Bab 27] kini menjadi pertaruhan hidup dan matinya, juga nasib seluruh nagari.
“Hari ini!” De Vries memulai dengan suara menggelegar, memecah kesunyian pagi buta. “Kita akan buktikan bahwa tidak ada satu pun tikus di nagari terkutuk ini yang bisa bersembunyi dari mata Kompeni! Informasi yang kudapatkan sangat akurat. Di sekitar Bukit Batu Kapal, ada sarang mereka! Lumbung besar yang mereka sembunyikan! Kita akan sisir setiap jengkalnya! Dan jika ada yang mencoba menghalangi…” Ia berhenti sejenak, membiarkan tatapan dingin Sersan Visser menyapu wajah-wajah para pembantu lokal yang dipaksa ikut. “…kalian tahu sendiri akibatnya.”
Operasi Bukit Batu Kapal dimulai dengan derap langkah sepatu lars yang berat dan denting senjata yang membelah udara pagi. Mereka bergerak dengan keyakinan penuh, dipandu oleh beberapa orang lokal yang telah “dipilih” oleh Demang Rustam – orang-orang yang sebagian besar sebenarnya telah mendapat bisikan dari jaringan Aisyah untuk sebisa mungkin memperlambat langkah atau memberikan informasi yang “sedikit melenceng” jika keadaan memungkinkan, namun tanpa membahayakan diri sendiri.
Alam, Pak Tuo Sani, dan beberapa Ninik Mamak lainnya hanya bisa menyaksikan keberangkatan pasukan itu dari kejauhan, dari balik jendela-jendela rumah gadang yang tertutup rapat. Hati mereka berdebar kencang, doa-doa tak henti dipanjatkan dalam hati. Nasib Nagari Sago kini berada di ujung tanduk. Pemindahan isi Lumbung Nagari ke ceruk batu yang lebih tersembunyi [Bab 27] telah dilakukan dengan susah payah, menyisakan hanya sedikit “umpan” di Gua Air Terjun, lokasi lumbung lama yang kini menjadi target pengalihan.
Perjalanan menuju Bukit Batu Kapal, yang sebenarnya tidak terlalu jauh jika melalui jalur biasa, hari itu terasa begitu panjang dan melelahkan bagi pasukan Belanda. Para penunjuk jalan lokal, dengan berbagai alasan – “jalur utama longsor, Tuan,” atau “ada sarang ular berbisa di jalan pintas itu, Tuan” – membawa mereka melewati rute-rute yang lebih sulit, menanjak terjal, menuruni lembah curam, dan menyeberangi anak-anak sungai yang airnya deras. Sersan De Vries beberapa kali membentak karena merasa mereka berjalan terlalu lambat, namun para penunjuk jalan itu hanya bisa menunduk ketakutan, beralasan medan yang berat.
Menjelang tengah hari, setelah melalui perjuangan yang menguras tenaga, mereka akhirnya tiba di kawasan sekitar Gua Air Terjun, tempat yang menurut “informasi sangat rahasia” De Vries (yang sebenarnya adalah rekayasa Alam berdasarkan bisikan Demang Rustam) merupakan lokasi lumbung utama. Gua itu memang ada, tersembunyi di balik gemuruh air terjun yang memekakkan telinga.
“Ini dia!” seru De Vries dengan napas tersengal, matanya berbinar penuh kemenangan. “Bongkar tempat ini! Jangan sisakan satu pun!”
Dengan kasar, para serdadu mulai menyerbu masuk ke dalam gua. Sersan Visser memimpin di depan, pistol teracung. Namun, apa yang mereka temukan di dalam gua itu jauh dari harapan. Hanya beberapa karung padi yang isinya tak seberapa, beberapa ikat ubi yang sebagian sudah mulai membusuk, dan tumpukan jagung kering yang jumlahnya hanya cukup untuk beberapa hari makan satu keluarga. Persis seperti “umpan terakhir” yang telah disiapkan Alam. [Bab 27]
Wajah Sersan De Vries yang semula berseri-seri karena merasa akan menemukan harta karun, kini berubah menjadi merah padam karena amarah dan kekecewaan. “Ini… ini saja?!” teriaknya, suaranya parau. “Setelah semua ini, hanya sampah ini yang kalian sembunyikan di tempat sebesar ini?!” Ia menendang salah satu karung padi hingga isinya berhamburan.
Sersan Visser mengumpat kasar. Ia mencengkeram kerah baju salah seorang penunjuk jalan. “Di mana sisanya, bedebah?! Jangan bilang ini semua yang kalian punya!”
Penunjuk jalan itu, seorang lelaki tua yang telah di-briefing oleh Alam, hanya bisa menggeleng ketakutan. “Hanya… hanya ini yang kami tahu, Tuan. Kami orang kecil, tidak tahu menahu urusan para pemuda itu.”
De Vries berjalan mondar-mandir di dalam gua, matanya liar mencari-cari. Ia memerintahkan anak buahnya untuk menggeledah setiap sudut, setiap celah batu. Namun, hasilnya tetap nihil. Gua itu memang cukup besar, tetapi isinya sangat tidak sebanding dengan “informasi sangat rahasia” yang ia terima. Ia merasa dipermainkan.
“Demang!” De Vries memanggil Demang Rustam yang berdiri di mulut gua dengan wajah tegang. “Informasimu ini sampah! Atau jangan-jangan… kau sengaja memberiku informasi palsu?!”
Demang Rustam menelan ludah. “Saya… saya hanya menyampaikan apa yang saya dengar dari sumber saya, Tuan Sersan. Saya tidak berani berbohong kepada Tuan.” Ia berusaha terdengar seyakin mungkin, meskipun jantungnya berdegup kencang.
Kekecewaan De Vries begitu besar. Ia merasa telah dibodohi. Namun, nalurinya sebagai pemburu belum padam. “Mungkin ini hanya sebagian kecil,” gumamnya pada dirinya sendiri, lalu menatap tajam ke arah hutan lebat di sekitar Bukit Batu Kapal. “Pasti ada tempat lain! Mereka tidak mungkin sebodoh ini!”
Ia kemudian memerintahkan pasukannya untuk menyisir area hutan di sekitar gua dan lereng Bukit Batu Kapal. Di sinilah “penyambutan hangat” yang telah disiapkan Alam dan Bujang (melalui instruksi yang ia berikan sebelum ditangkap) mulai bekerja. Jalur-jalur yang mereka lalui tiba-tiba terasa semakin sulit. Pohon-pohon tumbang “secara alami” menghalangi jalan. Jejak-jejak binatang buas yang sengaja dibuat oleh para pemuda nagari tampak begitu nyata, membuat Sersan Pietersen yang penakut semakin pucat pasi.
Lebih jauh ke dalam hutan, mereka mulai mendengar suara-suara aneh – desisan angin yang melewati celah bambu terdengar seperti rintihan, suara burung hantu yang berbunyi di siang hari (sebuah pertanda buruk menurut kepercayaan lokal yang telah “dibisikkan” kepada para pembantu), dan gemerisik daun kering yang seolah mengikuti langkah mereka. Para penunjuk jalan lokal, dengan wajah ketakutan yang dibuat-buat, mulai bercerita tentang Inyiak Balang [4, 5, 6] penunggu Bukit Batu Kapal yang akan marah jika wilayahnya diganggu.
Sersan Visser, yang awalnya begitu garang, mulai terlihat tidak nyaman. Ia memang tidak percaya takhayul, tetapi suasana hutan yang tiba-tiba menjadi begitu mencekam dan sulit ditembus itu mulai menggerogoti keyakinannya. Beberapa kali, anak buahnya terpeleset di jalur licin yang sengaja dibuat lebih berbahaya, atau tersesat sejenak karena mengikuti jejak palsu yang begitu meyakinkan.
Puncaknya adalah ketika mereka mencoba menyeberangi sebuah sungai kecil yang arusnya tiba-tiba menjadi deras (berkat bendungan sementara dari batu dan kayu yang dibuat oleh para pemuda di hulu sungai beberapa jam sebelumnya, lalu dilepaskan perlahan). Beberapa peralatan mereka hanyut, dan Sersan Pietersen nyaris terbawa arus jika tidak ditarik oleh Sersan De Vries.
Kelelahan, frustrasi, dan rasa was-was yang semakin menjadi mulai merayapi seluruh pasukan Belanda. Matahari mulai condong ke barat, dan mereka belum menemukan apapun selain gua kosong dan hutan yang seolah memusuhi mereka. Sersan De Vries, meskipun masih diliputi amarah, mulai menyadari bahwa melanjutkan pencarian di hutan yang semakin gelap dan tidak bersahabat ini akan sangat berisiko.
“Cukup!” teriaknya akhirnya, suaranya serak karena lelah dan marah. “Kita kembali ke nagari! Tapi awas kalian semua!” matanya menatap tajam ke arah para penunjuk jalan dan Demang Rustam. “Aku belum selesai dengan kalian!”
Operasi Bukit Batu Kapal berakhir dengan kegagalan total bagi pihak Belanda. Mereka kembali ke Nagari Sago dengan tangan hampa, wajah kotor, pakaian basah, dan semangat yang hancur. Kepuasan yang sempat dirasakan De Vries di mulut Gua Air Terjun kini lenyap tak berbekas, digantikan oleh rasa malu dan amarah yang membara.
Alam dan para tetua nagari, yang telah menunggu dengan cemas, melihat kembalinya pasukan Belanda itu dengan perasaan lega yang tak terhingga, meskipun mereka tahu ini hanyalah penundaan dari badai yang lebih besar. Bisikan dari Demang Rustam telah terbukti benar, dan strategi mereka untuk mengorbankan umpan serta memanfaatkan alam sebagai sekutu telah berhasil, setidaknya untuk kali ini.
Malam itu, di tengah kesunyian yang masih menyimpan sisa-sisa ketegangan, Alam menatap ke arah Bukit Batu Kapal. Ia tahu, De Vries tidak akan menyerah. Ia akan mencari cara lain, mungkin dengan kekerasan yang lebih brutal. Namun, untuk malam ini, Nagari Sago bisa bernapas sedikit lebih lega. Mereka telah berhasil melewati satu lagi ujian berat, berkat keberanian, kecerdikan, dan persatuan yang mulai tumbuh kembali di antara mereka. Harga yang harus dibayar memang mahal, dengan Bujang yang masih dalam tahanan, tetapi harapan untuk mempertahankan Lumbung Nagari dan masa depan kampung halaman masih tetap menyala.