Bab 29: Teka-teki Engku Penghulu

Kegagalan total Operasi Bukit Batu Kapal [Bab 28] tidak serta merta memadamkan api amarah Sersan De Vries. Sebaliknya, ia bagai banteng terluka yang mengamuk membabi buta. Kembali ke Nagari Sago dengan tangan hampa, wajah cemong oleh lumpur hutan, dan harga diri yang tercabik-cabik, ia melampiaskan frustrasinya kepada siapa saja yang dianggapnya bertanggung jawab. Demang Rustam menjadi sasaran utama. Di hadapan seluruh pasukan dan beberapa Ninik Mamak yang dipaksa menyaksikan, De Vries menghardik Demang Rustam habis-habisan, menuduhnya tidak becus, bersekongkol dengan pemberontak, dan memberinya informasi palsu.

“Informasimu itu sampah, Demang! Sampah!” teriak De Vries, ludahnya bersemburan. “Kau pikir aku ini anak kecil yang bisa kau kelabui dengan cerita hantu hutan dan gua kosong?! Bukit Batu Kapal katamu?! Sarang tikus itu bahkan tidak layak disebut lumbung!” Ia menunjuk ke arah hutan dengan geram. “Aku yakin mereka memindahkan semuanya sebelum kita datang! Dan kau… kau pasti tahu sesuatu!”

Demang Rustam hanya bisa menunduk, wajahnya pucat pasi menahan hinaan dan ketakutan. Ia bersumpah bahwa ia hanya menyampaikan apa yang ia dengar, bahwa sumber informasinya mungkin telah salah. Namun, De Vries tak peduli. Ia memerintahkan agar Demang Rustam diawasi lebih ketat, setiap gerak-geriknya dicatat, dan untuk sementara waktu, ia tidak lagi dipercaya memimpin tim survei atau interogasi. Peran itu kini sepenuhnya diambil alih oleh Sersan Visser yang kejam, yang seolah mendapatkan energi baru dari kemarahan atasannya.

Bagi Nagari Sago, ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, mereka berhasil mengelabui Belanda dan melindungi Lumbung Nagari yang sesungguhnya. Di sisi lain, kemarahan De Vries yang tak terkendali berarti tekanan akan semakin berat, dan metode Sersan Visser yang brutal akan semakin sering digunakan. Kabar tentang Bujang yang masih ditahan di sebuah gudang tua di pinggir nagari, dan sesekali terdengar suara rintihan dari sana, semakin menambah duka dan kecemasan warga. Alam merasa setiap rintihan itu adalah sayatan di hatinya, harga yang harus dibayar untuk strategi mereka.

Sutan Mudo, tentu saja, tak menyia-nyiakan kesempatan ini. “Lihatlah! Belanda semakin marah! Ini semua karena ulah si Alam Parewa itu! Dia pikir dia pintar, tapi dia hanya membawa bencana bagi kita semua! Bujang jadi korban, sebentar lagi siapa lagi? Lebih baik kita mengaku saja, serahkan apa yang mereka mau!” Suaranya yang provokatif berhasil mempengaruhi sebagian kecil warga yang sudah dilanda ketakutan kronis.

Namun, mayoritas warga, terutama setelah merasakan secercah kemenangan dari kegagalan Operasi Bukit Batu Kapal dan melihat bagaimana alam seolah berpihak pada mereka, justru semakin merapatkan barisan di belakang Alam dan para Ninik Mamak. Keberanian Aisyah yang menginspirasi [Bab 20] dan pengorbanan Bujang [Bab 26] telah menumbuhkan benih perlawanan yang lebih dalam, perlawanan yang didasari oleh harga diri dan kecintaan pada nagari.

Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian inilah, sebuah kabar tak terduga datang. Seorang utusan dari nagari tetangga, Nagari Sungai Patai, yang terletak di balik Bukit Barisan dan dikenal memiliki hubungan dagang yang cukup baik dengan beberapa pos Belanda namun tetap menjaga adat istiadatnya dengan kuat, datang menemui Pak Tuo Sani. Utusan itu membawa pesan dari Engku Penghulu Rajo Basa, pemimpin adat Nagari Sungai Patai yang dikenal bijaksana, berwibawa, dan memiliki pandangan jauh ke depan.

Pertemuan antara utusan itu dengan Pak Tuo Sani, Bundo Sari, dan Alam diadakan secara rahasia di surau tua, di bawah keremangan malam. Utusan itu, seorang lelaki paruh baya dengan wajah tenang dan sorot mata tajam, menyampaikan pesan Engku Penghulu Rajo Basa dengan hati-hati.

“Salam hormat dari Engku Penghulu Rajo Basa untuk seluruh dunsanak di Nagari Sago,” utusan itu memulai. “Beliau mendengar kabar tentang kesulitan yang tengah dihadapi Nagari Sago. Beliau juga mendengar tentang keberanian para pemuda Sago dalam menghadapi tekanan Kompeni.”

Pak Tuo Sani mengangguk. “Sampaikan salam hormat kami kembali kepada Engku Penghulu. Kabar memang cepat menyebar, walau dibatasi bukit dan rimba.”

“Engku Penghulu berpesan,” lanjut utusan itu, “bahwa ‘ketika air bah datang, ikan-ikan kecil harus mencari perlindungan di antara akar-akar bakau yang kuat, bukan mencoba melawan arus sendirian’. Beliau juga menitipkan sebuah teka-teki untuk direnungkan oleh para cerdik pandai di Nagari Sago: ‘Di mana ayam jantan berkokok tanpa pernah melihat fajar, dan di mana bulan purnama bersinar tanpa pernah menyentuh malam?’”

Setelah menyampaikan pesan dan teka-teki itu, sang utusan mohon diri, menolak untuk tinggal lebih lama atau memberikan penjelasan lebih lanjut, dengan alasan menjaga kerahasiaan dan keselamatan.

Kepergian utusan itu meninggalkan Alam, Pak Tuo Sani, dan Bundo Sari dalam kebingungan sekaligus harapan. Pesan tentang “ikan kecil dan akar bakau” cukup jelas maknanya: Nagari Sago yang kecil disarankan untuk mencari perlindungan atau beraliansi dengan kekuatan yang lebih besar atau lebih mapan, mungkin merujuk pada Nagari Sungai Patai sendiri atau kekuatan adat lainnya. Namun, teka-teki tentang “ayam jantan dan bulan purnama” itu benar-benar membingungkan.

“Apa maksudnya ini, Alam, Bundo?” tanya Pak Tuo Sani, keningnya berkerut dalam. “Ayam jantan berkokok tanpa fajar? Bulan purnama tanpa malam? Ini seperti kiasan yang sangat dalam.” [1]

Bundo Sari, dengan kearifannya, mencoba menafsirkan. “Mungkin ini berkaitan dengan sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang ada namun tidak terlihat oleh mata biasa. Ayam jantan adalah simbol keberanian dan penanda waktu. Fajar adalah harapan. Bulan purnama adalah kesempurnaan, keindahan, namun juga sering dikaitkan dengan hal-hal gaib.” [3]

Alam sendiri terdiam lama, otaknya bekerja keras mencoba memecahkan teka-teki itu. Ladiang di pinggangnya [3] seolah ikut berdenyut, merasakan adanya misteri baru yang harus dipecahkan. Ia teringat akan cerita-cerita lama tentang tempat-tempat keramat di sekitar Nagari Sago, tentang gua-gua tersembunyi yang konon memiliki kekuatan magis, atau tentang pusaka-pusaka leluhur yang hilang.

“Mungkinkah ini petunjuk tentang sebuah tempat, Pak Tuo, Bundo?” Alam akhirnya angkat bicara. “Sebuah tempat di mana aturan alam biasa tidak berlaku? Atau mungkin ini tentang sebuah kekuatan terpendam, kekuatan yang ada di dalam diri kita atau di dalam nagari kita, yang belum kita sadari sepenuhnya?”

Diskusi mereka malam itu tidak menghasilkan jawaban pasti. Teka-teki Engku Penghulu Rajo Basa terlalu rumit untuk dipecahkan dalam semalam. Namun, pesan itu telah membuka sebuah cakrawala baru. Di tengah kepungan Belanda dan ancaman Sersan De Vries, ada pihak luar yang memperhatikan, bahkan mungkin menawarkan bantuan terselubung. Ini memberikan sedikit kelegaan, sekaligus tantangan baru.

Keesokan harinya, Alam memutuskan untuk mencoba mencari petunjuk. Ia teringat akan cerita-cerita Aisyah tentang pengetahuan para perempuan nagari mengenai legenda-legenda lama dan tempat-tempat angker. [Bab 20] Ia meminta Aisyah, melalui Hasan, untuk mencoba menggali informasi dari para perempuan tua di nagari, apakah ada cerita atau pantun lama yang mirip dengan teka-teki Engku Penghulu.

Aisyah, dengan jaringannya yang solid, segera bergerak. Ia berbicara dengan nenek-nenek penumbuk padi, dengan para bundo yang menjaga tungku dapur, dengan para gadis yang sering mendengar dongeng sebelum tidur. Dan hasilnya cukup mengejutkan. Ada sebuah legenda yang hampir terlupakan, tentang sebuah gua di lereng Gunung Sago yang paling terpencil, yang disebut “Gua Ayam Tak Berfajar”. Konon, di dalam gua itu, ada sebuah batu bercahaya yang sinarnya mirip bulan purnama, namun gua itu sendiri selalu gelap gulita karena letaknya yang sangat dalam dan tertutup. Legenda itu juga menyebutkan bahwa gua itu adalah tempat para leluhur Nagari Sago bersemedi dan menyimpan pusaka-pusaka penting di masa lalu.

Ketika Aisyah menyampaikan informasi ini kepada Alam, mata pemuda itu berbinar. “Gua Ayam Tak Berfajar! Batu Bercahaya Bulan Purnama! Ini pasti jawabannya!” serunya dalam hati.

Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Legenda itu juga menyebutkan bahwa gua itu dijaga oleh “sesuatu” yang tak kasat mata, dan hanya orang-orang berhati bersih dan berniat lurus yang bisa memasukinya. Banyak yang mencoba dan gagal, bahkan ada yang hilang tak kembali.

Alam kini dihadapkan pada dilema baru. Di satu sisi, ada potensi untuk menemukan sesuatu yang sangat berharga, mungkin pusaka leluhur yang bisa memberi mereka kekuatan, atau setidaknya tempat persembunyian yang lebih aman dari Lumbung Nagari mereka saat ini. Di sisi lain, ada risiko besar yang mengintai. Dan semua ini terjadi di saat Sersan De Vries dan Sersan Visser semakin meningkatkan tekanan mereka, dan nasib Bujang masih belum menentu.

Alam tahu, ia harus segera mengambil keputusan. Teka-teki Engku Penghulu Rajo Basa telah membawanya ke sebuah persimpangan jalan yang baru, sebuah jalan yang mungkin akan membawanya lebih jauh ke dalam misteri tanah kelahirannya, sekaligus ke dalam bahaya yang lebih besar. Ia menatap ke arah puncak Gunung Sago yang menjulang gagah, seolah mencari jawaban di antara kabut pagi yang mulai menipis. Perjalanan Nagari Sago masih panjang, dan teka-teki ini adalah babak baru yang harus ia hadapi dengan segala keberanian dan kecerdikan yang ia miliki.