Bab 30: Menuju Gua Ayam Tak Berfajar

Keputusan itu terasa seperti menelan bara api bagi Alam. Teka-teki Engku Penghulu Rajo Basa dan legenda Gua Ayam Tak Berfajar yang diungkap oleh Aisyah [Bab 29] terus berputar di benaknya, menawarkan secercah harapan yang samar di tengah kepungan ancaman Sersan De Vries dan Sersan Visser. Nasib Bujang yang masih dalam cengkeraman Belanda, rintihan warga yang menjadi korban interogasi, dan bayang-bayang kelaparan jika Lumbung Nagari mereka yang sesungguhnya terbongkar, semua itu mendorong Alam ke sebuah kesimpulan yang tak terelakkan: mereka harus mengambil risiko, sebesar apapun itu. Berdiam diri hanya akan mempercepat kehancuran.

Malam itu, di bawah tatapan cemas Pak Tuo Sani dan Bundo Sari, Alam memaparkan niatnya untuk mencari Gua Ayam Tak Berfajar. Hasan dan Arip, kedua sahabat setianya yang tersisa, mendengarkan dengan wajah tegang.

“Gua itu… legenda itu… mungkin adalah petunjuk yang dikirimkan kepada kita,” kata Alam, suaranya pelan namun mantap. “Engku Penghulu Rajo Basa tidak akan mengirimkan teka-teki tanpa makna. Jika di sana memang tersimpan pusaka leluhur atau sebuah tempat yang bisa menjadi perlindungan baru, kita harus menemukannya. Ini mungkin satu-satunya kesempatan kita untuk mengubah keadaan.”

Pak Tuo Sani menghela napas panjang. “Anakku, legenda itu juga menyebutkan tentang penjaga gaib dan bahaya yang mengintai siapa saja yang mencoba memasukinya dengan niat yang salah atau hati yang tidak bersih. Gunung Sago menyimpan banyak misteri yang tak terjamah. Apakah kau siap menghadapi itu semua, di saat Kompeni terus mengintai setiap gerak-gerik kita?” [1]

“Saya mengerti risikonya, Pak Tuo,” jawab Alam. “Tapi risiko terbesar adalah jika kita tidak berbuat apa-apa. Saya akan pergi dengan sangat hati-hati. Saya tidak akan membawa banyak orang, hanya mereka yang benar-benar siap dan bisa dipercaya. Kita akan bergerak dalam senyap, seperti bayangan.”

Bundo Sari menatap Alam dengan pandangan yang bercampur antara kekhawatiran dan kebanggaan. “Jika memang hatimu telah mantap, Nak, Bundo hanya bisa mendoakan keselamatanmu. Ingatlah pesan leluhur, ‘Alam takambang jadi guru’. Dengarkan bisikan hutan, baca tanda-tanda alam. Mereka akan menuntunmu jika niatmu lurus.” [3]

Hasan dan Arip, tanpa banyak bicara, serempak menyatakan kesediaan mereka untuk mendampingi Alam. “Kami ikut denganmu, Lam,” kata Hasan tegas. “Kita hadapi ini bersama-sama, seperti biasa.” [1] Arip mengangguk, wajahnya yang biasanya ceria kini menyiratkan keseriusan yang jarang terlihat. [2]

Selain kedua sahabatnya, Alam memutuskan untuk mengajak dua pemuda lagi yang ia tahu memiliki keberanian, ketahanan fisik, dan kemampuan membaca hutan yang cukup baik, yaitu Kardi, yang pernah ikut dalam operasi penyesatan tim survei Belanda [Bab 22], dan seorang pemuda pendiam bernama Udo, yang dikenal memiliki indra keenam yang cukup tajam dan sering mendapatkan firasat. Tim kecil berlima ini dirasa cukup untuk bergerak cepat dan tidak menarik perhatian.

Persiapan dilakukan dengan sangat rahasia dan tergesa-gesa. Mereka hanya punya sedikit waktu sebelum Sersan De Vries atau Sersan Visser mencium gelagat aneh. Aisyah, dengan caranya yang cekatan, membantu menyiapkan perbekalan – nasi bungkus daun pisang, dendeng kering, beberapa potong ubi rebus, dan ramuan obat-obatan dari dedaunan hutan. Ia juga menyelipkan sebuah bungkusan kecil berisi kemenyan dan beberapa helai daun sirih pilihan kepada Alam.

“Ini untuk tolak bala, Lam,” bisik Aisyah ketika menyerahkan bungkusan itu, matanya menyiratkan doa dan harapan. “Semoga Yang Maha Kuasa melindungi perjalanan kalian.” Ada getar dalam suaranya yang membuat hati Alam menghangat. Dukungan diam-diam dari Aisyah selalu menjadi sumber kekuatan tersendiri baginya.

Untuk mengelabui pengawasan Belanda, mereka merancang sebuah siasat. Malam itu, beberapa pemuda akan membuat keributan kecil di ujung nagari yang berlawanan dengan arah Gunung Sago, seolah-olah ada perkelahian antar pemuda karena mabuk tuak. Diharapkan perhatian para serdadu akan teralih ke sana, memberi kesempatan bagi tim Alam untuk menyelinap keluar tanpa terdeteksi.

Tepat setelah tengah malam, ketika Nagari Sago diselimuti kegelapan dan kesunyian yang hanya dipecah oleh suara jangkrik dan desau angin, rencana itu dijalankan. Benar saja, tak lama setelah “keributan” itu dimulai, terdengar derap langkah sepatu lars dan bentakan-bentakan Sersan Visser dari arah pos penjagaan. Alam dan keempat rekannya memanfaatkan momen itu. Dengan langkah sepelan mungkin, mereka menyelinap keluar dari batas nagari, menuju ke arah lereng Gunung Sago yang menjulang angkuh di bawah cahaya bulan yang redup. Ladiang Alam [3] terasa dingin di pinggangnya, seolah ikut merasakan ketegangan perjalanan yang baru saja dimulai.

Jalur yang mereka tempuh bukanlah jalur biasa yang sering dilalui para pencari kayu bakar atau pemburu. Bujang, sebelum ia tertangkap, pernah menceritakan kepada Alam tentang beberapa jalur tikus yang sangat tersembunyi, yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Alam mencoba mengingat kembali petunjuk-petunjuk itu. Hutan di malam hari terasa begitu berbeda. Suara-suara aneh terdengar dari segala arah – gemerisik daun yang seperti langkah kaki, lolongan binatang malam yang jauh, dan desisan angin yang melewati celah-celah batu. Udo, yang berjalan di depan bersama Alam, beberapa kali berhenti, telinganya seolah menangkap sesuatu yang tak terdengar oleh yang lain.

“Ada yang mengawasi kita, Lam,” bisik Udo suatu kali, matanya menatap tajam ke dalam kegelapan di antara pepohonan. “Bukan manusia.”

Alam merasakan bulu kuduknya meremang. Ia teringat legenda tentang penjaga gaib Gua Ayam Tak Berfajar. Ia menggenggam bungkusan kemenyan dari Aisyah erat-erat. “Terus berjalan, Do. Jangan hiraukan. Niat kita baik.”

Mereka terus mendaki, menembus semak belukar yang rapat, melompati akar-akar pohon besar yang melintang, dan menyeberangi anak-anak sungai yang airnya sedingin es. Kardi, dengan pengalamannya, beberapa kali berhasil menemukan jejak samar yang menunjukkan bahwa mereka berada di jalur yang benar menuju bagian gunung yang lebih terpencil. Hasan dan Arip, meskipun tampak kelelahan, terus melangkah tanpa banyak mengeluh, semangat mereka ditopang oleh kepercayaan penuh kepada Alam.

Menjelang fajar, ketika cahaya pertama mulai menyinari puncak-puncak pohon, mereka tiba di sebuah dataran kecil yang dikelilingi oleh tebing-tebing batu yang menjulang tinggi. Udara di tempat itu terasa begitu dingin dan sunyi, hanya suara angin yang mendesau di antara celah batu. Menurut legenda yang diceritakan Aisyah, Gua Ayam Tak Berfajar berada di salah satu tebing ini, tersembunyi di balik rumpun bambu kuning yang lebat.

Mereka beristirahat sejenak, memakan sedikit perbekalan. Kelelahan fisik mulai terasa, namun ketegangan dan rasa ingin tahu justru semakin memuncak. Alam memandang sekeliling. Tempat ini terasa begitu purba, begitu sakral. Ada aura misteri yang kuat memancar dari tebing-tebing batu di hadapannya.

“Kita harus segera menemukannya sebelum matahari terlalu tinggi,” kata Alam. “Semakin lama kita di sini, semakin besar risiko ketahuan.”

Mereka berpencar, mencari rumpun bambu kuning yang dimaksud dalam legenda. Setelah hampir satu jam mencari dengan hati-hati, Arip yang pertama kali menemukannya. Di balik sebuah rumpun bambu yang luar biasa lebat dan tinggi, tersembunyi sebuah celah sempit di dinding tebing, sebuah mulut gua yang gelap dan menganga, seolah siap menelan siapa saja yang berani mendekat.

“Ini dia, Lam!” seru Arip dengan suara tertahan, menunjuk ke arah celah itu.

Alam, Hasan, Kardi, dan Udo segera menghampiri. Jantung mereka berdegup kencang. Inikah Gua Ayam Tak Berfajar yang legendaris itu? Udara di sekitar mulut gua terasa lebih dingin, dan ada aroma tanah lembap bercampur sesuatu yang aneh, sesuatu yang tak bisa mereka jelaskan.

Udo tiba-tiba memegang kepalanya, wajahnya pucat pasi. “Jangan masuk dulu, Lam,” katanya dengan suara bergetar. “Aku… aku merasakan sesuatu yang sangat kuat di dalam sana. Sesuatu yang sangat tua… dan tidak suka diganggu.”

Sebelum Alam sempat menjawab, dari dalam kegelapan gua itu terdengar suara gemuruh rendah, seperti auman binatang buas yang sangat besar, namun juga seperti suara ribuan ayam jantan yang berkokok serempak tanpa irama, sebuah suara yang membuat bulu roma mereka berdiri dan darah mereka seolah membeku. Suara itu begitu kuat, begitu menakutkan, hingga tanah di bawah kaki mereka terasa ikut bergetar. Apakah ini sang penjaga gua yang dimaksud dalam legenda? Dan apa yang menanti mereka di balik kegelapan yang pekat itu?