Bab 31: Suara Sumbang Menggema

Gemuruh mengerikan yang menggema dari kegelapan Gua Ayam Tak Berfajar [Bab 30] masih terngiang di telinga Alam dan keempat rekannya, membekukan darah dan meruntuhkan sisa-sisa keberanian mereka. Peringatan Udo, yang wajahnya pucat pasi bagai kapas, tentang kekuatan purba yang murka di dalam sana, bukanlah isapan jempol belaka. Tanah yang bergetar di bawah pijakan mereka seolah menjadi saksi bisu akan amarah sang penjaga gua. Alam, meskipun hatinya bergolak antara rasa penasaran dan insting untuk melindungi teman-temannya, terpaksa mengambil keputusan pahit. Memasuki gua itu dengan persiapan seadanya, tanpa mengetahui apa yang menanti di dalamnya, sama saja dengan menjemput maut. Teka-teki Engku Penghulu Rajo Basa [Bab 29] harus menunggu. Keselamatan timnya adalah yang utama.

Dengan berat hati, mereka berbalik, meninggalkan dataran angker itu sebelum fajar benar-benar merekah sempurna. Perjalanan pulang terasa jauh lebih berat. Bukan hanya karena kelelahan fisik yang mendera, tetapi juga karena beban kegagalan dan misteri baru yang mereka bawa. Harapan untuk menemukan pusaka leluhur atau tempat perlindungan baru kini tergantikan oleh pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban dan bayangan ancaman gaib yang tak kasat mata. Ladiang Alam [3] yang biasanya terasa hangat dan memberi keyakinan, kini seolah ikut merasakan dinginnya aura kegagalan.

Kembalinya mereka ke Nagari Sago disambut dengan tatapan penuh tanya dan harapan yang segera memudar. Warga yang telah mendengar desas-desus tentang ekspedisi rahasia Alam, berharap pemuda itu membawa kabar baik, mungkin petunjuk untuk membebaskan Bujang, atau solusi untuk menghadapi tekanan Sersan De Vries dan Sersan Visser yang semakin menjadi-jadi. Namun, melihat wajah-wajah letih dan tangan hampa Alam beserta keempat rekannya, bisik-bisik kekecewaan mulai terdengar.

Pak Tuo Sani dan Bundo Sari [1, 3] menyambut mereka dengan campuran antara kelegaan karena mereka kembali dengan selamat, dan kekhawatiran akan apa yang telah mereka temui. Setelah mendengar cerita Alam tentang suara gemuruh dan firasat Udo, kedua tetua itu hanya bisa menghela napas panjang. “Gunung Sago memang menyimpan banyak rahasia yang tak terjangkau oleh akal kita, Nak,” kata Pak Tuo Sani lirih. “Mungkin memang belum saatnya tabir itu terbuka.”

Namun, tidak semua orang bisa menerima kegagalan itu dengan lapang dada. Sutan Mudo [Bab 17, Bab 26], yang sejak awal selalu meragukan setiap langkah Alam, seolah mendapatkan amunisi baru untuk menyebarkan ketidakpuasannya. Di lepau-lepau, di tengah kerumunan para lelaki yang sedang beristirahat, atau bahkan di antara para perempuan yang sedang berkumpul di pancuran, ia tak henti-hentinya menyalahkan Alam.

“Apa kubilang dulu?” Sutan Mudo memulai orasinya dengan nada penuh kemenangan yang getir, suaranya sengaja dikeraskan agar didengar banyak orang. “Pergi ke hutan mencari hantu, sementara Bujang meringkuk kedinginan di tahanan Kompeni! Inikah yang disebut pemimpin? Membawa anak orang ke tengah bahaya tanpa hasil, hanya menambah masalah baru! Uang nagari habis untuk perjalanan dagang yang hasilnya entah ke mana, sekarang mau mengorbankan nyawa untuk legenda kosong!”

Kata-kata Sutan Mudo, yang dibumbui dengan dramatisasi dan kepiawaiannya memutarbalikkan fakta, mulai merasuki pikiran sebagian warga yang sudah dilanda ketakutan dan keputusasaan. Kegagalan Operasi Bukit Batu Kapal [Bab 28] yang sebelumnya memberi mereka secercah harapan, kini seolah terlupakan, tertutup oleh bayang-bayang kegagalan ekspedisi ke Gua Ayam Tak Berfajar dan nasib Bujang yang tak kunjung jelas. Harga dari umpan yang mereka korbankan [Bab 26] terasa semakin mahal ketika tidak ada solusi baru yang dibawa pulang oleh Alam.

“Kita ini mau dibawa ke mana oleh si Alam Parewa itu?” timpal seorang lelaki tua yang sawahnya terancam disita karena aturan baru Belanda. “Dulu kita hidup tenang, walau pas-pasan. Sejak dia banyak tingkah, Kompeni jadi semakin ganas! Sersan Visser itu setiap hari mondar-mandir seperti harimau lapar, mencari mangsa! Siapa yang bisa menjamin besok bukan anak istri kita yang diseret ke balai adat?”

Suara-suara sumbang itu semakin hari semakin kencang menggema. Alam merasakan betul perubahan sikap sebagian warga. Tatapan yang dulu penuh harap kini berganti menjadi tatapan curiga, bahkan ada yang terang-terangan menghindarinya. Hasan dan Arip berusaha keras membela Alam, menjelaskan bahaya yang mereka hadapi di gua dan betapa sulitnya situasi yang mereka hadapi. Namun, argumen mereka seolah tenggelam dalam gelombang ketidakpuasan yang dimotori oleh Sutan Mudo.

“Kalian ini sudah dibutakan oleh si Alam!” balas Sutan Mudo kepada Hasan suatu kali di lepau. “Dia itu hanya pemimpi! Menjanjikan bulan dan bintang, padahal yang dia bawa hanya petaka! Lebih baik kita cari jalan damai dengan Belanda. Mungkin jika kita serahkan apa yang mereka mau, mereka akan kasihan dan melepaskan Bujang, serta membiarkan kita hidup seperti dulu!”

Usulan “jalan damai” ala Sutan Mudo itu, meskipun terdengar seperti kepasrahan total, mulai menarik simpati dari mereka yang sudah tak tahan lagi hidup dalam ketegangan. Bagi mereka, lebih baik kehilangan harga diri daripada kehilangan nyawa atau terus menerus hidup dalam ketakutan. Perpecahan di Nagari Sago kini bukan lagi sekadar retakan, tetapi sudah menjadi jurang yang menganga.

Alam sendiri diliputi dilema yang luar biasa. Di satu sisi, ia merasa bertanggung jawab atas nasib Bujang dan tekanan yang semakin berat dari Belanda. Rasa bersalah karena belum berhasil menemukan solusi konkret menggerogoti hatinya. Di sisi lain, ia tahu bahwa menyerah kepada Belanda seperti yang diusulkan Sutan Mudo bukanlah jawaban. Itu hanya akan menunda kehancuran dan mengorbankan masa depan generasi berikutnya.

Aisyah, dengan caranya yang halus, mencoba memberikan dukungan kepada Alam. Melalui pesan-pesan yang ia sampaikan lewat Hasan atau dari tatapan mata penuh pengertian saat mereka tak sengaja berpapasan, ia berusaha meyakinkan Alam untuk tidak menyerah. Ia juga mendengar dari jaringan perempuannya bahwa Sutan Mudo diam-diam telah beberapa kali mencoba mendekati Demang Rustam, entah apa yang mereka bicarakan. Kabar ini menambah kekhawatiran Alam.

Pak Tuo Sani dan Bundo Sari juga tak henti-hentinya berusaha merajut kembali persatuan nagari. Mereka mengadakan pertemuan dari rumah ke rumah, mencoba menenangkan warga dan menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Namun, pengaruh Sutan Mudo yang pandai bersilat lidah dan memanfaatkan ketakutan warga terbukti cukup kuat.

Ketegangan di nagari mencapai puncaknya ketika suatu sore, Sersan De Vries, yang tampaknya sudah kehabisan kesabaran setelah kegagalan di Bukit Batu Kapal dan tidak adanya perkembangan baru, mengeluarkan ultimatum. Ia mengumpulkan seluruh Ninik Mamak dan perwakilan warga di alun-alun.

“Aku sudah cukup bersabar dengan kelicikan kalian!” bentak De Vries, wajahnya merah padam. Sersan Visser berdiri di sampingnya, tangannya tak lepas dari gagang pistol. “Dalam tiga hari! Tiga hari dari sekarang! Jika kalian tidak menyerahkan lumbung makanan yang lebih besar, atau setidaknya memberitahuku siapa otak di balik semua perlawanan ini, aku akan membakar separuh nagari ini! Dan pemuda bernama Bujang itu… nasibnya akan menjadi contoh bagi kalian semua!”

Ultimatum itu bagaikan petir di siang bolong. Ketakutan melumpuhkan seluruh warga. Inilah yang paling mereka khawatirkan. Sutan Mudo, melihat kesempatan emas, segera maju ke depan.

“Tuan Sersan yang terhormat!” seru Sutan Mudo dengan suara lantang, berusaha menarik perhatian De Vries. “Kami rakyat Nagari Sago sebenarnya cinta damai! Kami tidak ingin melawan Kompeni! Ini semua… ini semua adalah ulah segelintir orang yang keras kepala dan membawa kami semua ke dalam kesulitan!” Ia melirik sinis ke arah Alam yang berdiri terpaku di antara kerumunan.

De Vries menatap Sutan Mudo dengan pandangan menyelidik. “Oh ya? Siapa yang kau maksud?”

Sutan Mudo tersenyum licik. “Ada seseorang di antara kami, Tuan Sersan, yang mungkin bisa memberikan pencerahan kepada Tuan. Seseorang yang mungkin tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Seseorang yang mungkin bisa menunjukkan jalan keluar dari semua masalah ini, demi keselamatan Nagari Sago.” Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara, menciptakan ketegangan yang tak tertahankan. Semua mata kini tertuju padanya, menunggu siapa nama yang akan ia sebut. Apakah ia akan mengorbankan Alam, atau ia punya rencana lain yang lebih licik?