Di bawah langit pagi yang masih diselimuti kabut tipis, Nagari Sago terbangun perlahan. Bunyi ayam berkokok bersahutan, bercampur dengan suara daun kelapa yang bergoyang ditiup angin sepoi-sepoi. Di tepi sawah, asap tipis mengepul dari dapur-dapur rumah gadang, mengantarkan aroma kayu bakar dan santan yang sedang direbus. Hari itu biasa saja bagi kebanyakan orang di nagari kecil ini, tapi tidak bagi Alam. Bagi anak muda berusia delapan belas tahun itu, hari ini adalah hari untuk membuktikan sesuatu—entah apa, dia sendiri belum tahu pasti.
Alam berdiri di tepi jalan setapak, tangannya memegang sebilah ladiang yang ujungnya sudah sedikit tumpul. Ladiang itu bukan sembarang golok—bentuknya khas Minang, melengkung sedikit dengan gagang kayu yang sudah licin dipakai bertahun-tahun. Rambutnya yang hitam legam acak-acakan, tak pernah disisir rapi seperti pemuda lain seusianya, dan kepalanya tak memakai deta seperti adat biasanya. Matanya tajam, penuh semangat liar yang sulit disembunyikan. Baju destar hitamnya sedikit kotor, bekas lumpur dari sawah kemarin, dipadukan dengan celana galembong yang sudah lusuh di ujungnya. Dia tak peduli penampilannya—orang-orang di nagari ini sudah terbiasa melihatnya begitu: Alam, si parewa, pemuda keras hati yang tak pernah bisa diam.
“Oi, Alam! Kapan kau nak jadi orang berguna, hah?” teriak Sutan Daud dari kejauhan. Lelaki tua itu sedang membetulkan jaring ikan di depan rumahnya, matanya melirik sinis ke arah Alam.
Alam hanya nyengir, tak langsung menjawab. Dia melangkah santai mendekati Sutan Daud, ladiangnya diselipkan ke pinggang. “Sutan Daud, orang berguna itu apa? Yang duduk diam macam Sutan, bikin jaring sampe tua, atau yang kayak saya, cari cara biar nagari ini tak mati kelaparan?”
Sutan Daud mendengus, tapi tak bisa menyembunyikan senyum kecil di sudut bibirnya. “Mulutmu itu, Alam. Tajam macam ladiang, tapi otakmu entah di mana.”
“Di sini, Sutan,” jawab Alam sambil menepuk dada, lalu tertawa lepas. Suaranya menggema, membuat beberapa anak kecil yang bermain di dekat rumah gadang ikut menoleh. Mereka tahu Alam—pemuda yang sering dimarahi tetua, tapi juga yang pertama datang kalau ada kerja berat di desa. Entah membetulkan atap bocor atau mengangkut beras dari pasar, Alam selalu ada, meski sering dengan caranya sendiri yang bikin orang geleng-geleng kepala.
Nagari Sago bukan tempat besar. Hanya sebuah kampung kecil di Minangkabau, dikelilingi sawah hijau dan bukit-bukit yang menjulang di kejauhan. Rumah-rumah gadang berdiri megah dengan atap gonjongnya, lambang kebesaran adat yang masih dijaga erat. Tapi di balik ketenangan itu, ada bisik-bisik yang mulai mengusik. Belanda, orang-orang kulit putih dari seberang laut, makin sering datang ke nagari-nagari seperti Sago. Mereka bawa cerita tentang pajak, tentang aturan baru, tentang tanah yang katanya harus diserahkan. Orang-orang tua di desa cuma bisa mengeluh, sementara pemuda seperti Alam mulai gelisah.
Pagi itu, Alam tak punya rencana jelas. Dia cuma ingin jalan, lihat apa yang bisa dia lakukan. Rumahnya sendiri—sebuah gubuk kecil di pinggir nagari—sepi seperti biasa. Tak ada ibu yang menyapanya dengan senyum hangat, tak ada ayah yang mengajarinya cara memotong kayu. Alam yatim piatu sejak kecil, dibesarkan oleh angin dan sawah, katanya pada dirinya sendiri. Tapi di hati, dia tahu ada lubang yang tak pernah terisi. Orang-orang bilang ibunya mati karena sakit, ayahnya pergi entah ke mana—ada yang bilang dibunuh Belanda, ada yang bilang hilang di hutan. Alam tak suka bertanya. Dia lebih suka cari jawaban sendiri.
“Alam! Kau ke mana lagi?” Suara lembut tapi tegas menyela langkahnya. Itu Aisyah, gadis seusianya yang tinggal tiga rumah dari gubuknya. Aisyah berdiri di depan pintu rumah gadang keluarganya, tangannya memegang kain yang baru saja dicuci. Rambutnya disanggul rapi, matanya cerdas, dan senyumnya selalu bikin Alam sedikit salah tingkah—meski dia tak pernah mau mengaku.
“Ke mana aja boleh, Yah. Asal bukan ke rumahmu, takut dimarahin ibumu,” jawab Alam sambil nyengir lagi. Aisyah cuma geleng kepala, tapi matanya tak bisa bohong—dia suka cara Alam bercanda, meski kadang kelewatan.
“Ibu tak marah kalau kau bawa sesuatu yang berguna. Bukan cuma omong kosong,” balas Aisyah, lalu berbalik masuk ke rumah. Alam cuma tertawa kecil, tapi dalam hati dia tahu Aisyah benar. Dia memang sering omong besar, tapi kadang tak ada hasilnya.
Langkahnya membawanya ke tengah nagari, tempat para tetua biasa berkumpul. Di bawah pohon beringin besar, beberapa lelaki tua duduk mengunyah sirih, wajah mereka penuh kerut dan cerita. Alam menghampiri, memberi salam dengan hormat meski sikapnya tetap santai, baju destarnya sedikit bergoyang tertiup angin.
“Assalamualaikum, Pak Cik, Pak Tuo,” sapanya. Mereka menjawab salam, tapi tatapan mereka penuh tanya. Alam bukan pemuda yang mereka suka ajak bicara lama-lama. Terlalu liar, terlalu suka melawan.
“Alam, kau ke sini ada apa? Nak minta kerjaan atau cuma nak bikin gaduh?” tanya Pak Cik Amin, yang janggutnya sudah putih semua.
“Saya tak minta apa-apa, Pak Cik. Cuma dengar-dengar, katanya Belanda mau naikkan pajak lagi. Bener tak?” tanya Alam, nada suaranya serius kali ini.
Para tetua saling pandang. Pak Tuo Sani, yang paling tua di antara mereka, menghela napas panjang. “Bener, Alam. Orang Belanda itu tak pernah puas. Sawah kita, beras kita, semua mereka mau. Katanya untuk ‘kemajuan’, tapi kita yang sengsara.”
Alam mengangguk pelan. Dia tak suka Belanda, meski belum pernah ketemu langsung. Cerita tentang mereka—tentara bersenjata, perintah keras, dan tanah yang dirampas—sudah cukup bikin darahnya panas. “Kalau bener, kita harus buat sesuatu, Pak Tuo. Tak bisa cuma duduk diam.”
“Diam? Kau pikir kita tak mikir? Tapi apa daya, Alam. Mereka kuat, kita cuma petani,” sahut Pak Cik Amin, nada suaranya penuh pasrah.
Alam tak suka kata “pasrah”. Baginya, menyerah itu sama dengan mati. Dia berdiri tegak, tangannya memegang ladiang di pinggang, celana galembongnya sedikit berderit saat dia melangkah maju. “Kita petani, tapi kita Minang, Pak Cik. Kita punya silat, punya otak, punya hati. Saya tak tahu caranya, tapi saya akan cari jalan.”
Para tetua cuma diam, tak yakin apa yang didengar. Alam memang keras hati, tapi ada sesuatu di matanya—cahaya yang tak bisa mereka abaikan. Pak Tuo Sani akhirnya bicara, suaranya pelan tapi berat. “Kau yakin, Alam? Ini bukan permainan anak kecil.”
“Saya tak main-main, Pak Tuo. Nagari ini rumah saya, satu-satunya yang saya punya. Kalau tak saya jaga, siapa lagi?” jawab Alam, dan kali ini tak ada senyum di wajahnya.
Hari itu, angin bertiup lebih kencang di Nagari Sago. Alam berjalan pergi dari pohon beringin, langkahnya tegas meski pikirannya masih penuh tanya. Dia tahu dirinya cuma pemuda biasa, yatim piatu tanpa harta besar. Tapi di dadanya, ada api yang membakar—api yang bilang dia harus jadi lebih dari sekadar parewa keras hati. Dan di suatu sudut hatinya, dia mendengar suara samar, seperti bisikan ibunya dulu: “Alam, kau kuat. Jangan lupo itu.”Matahari naik lebih tinggi, dan nagari kembali sibuk dengan hariannya. Tapi bagi Alam, ini bukan hari biasa lagi. Ini adalah awal dari sesuatu yang besar—sesuatu yang akan mengubah hidupnya, dan mungkin juga Nagari Sago, selamanya.