Bab 11: Pasar Bukittinggi: Harapan dan Kenyataan

Setelah ujian berat menyeberangi Sungai Batang Antokan yang ganas, sisa perjalanan menuju Bukittinggi terasa sedikit lebih ringan, meskipun kewaspadaan tak pernah kendur. Kehilangan sebagian barang dagangan akibat amukan sungai menjadi cambuk yang memacu langkah mereka, sekaligus pengingat getir akan kerasnya perjuangan yang harus mereka menangkan. Alam, meskipun hatinya masih teriris oleh kerugian itu, berusaha menunjukkan ketegaran di hadapan teman-temannya. Ia tahu, semangat mereka adalah aset paling berharga yang tersisa. Mereka berjalan menyusuri lereng-lereng bukit yang menghijau, melintasi dusun-dusun kecil yang tampak damai, di mana sesekali mereka bisa bertukar sedikit hasil hutan dengan makanan pokok. Kerbau mereka, meskipun juga tampak lelah, terus melangkah dengan kesetiaan yang mengharukan, seolah memahami beratnya beban dan harapan yang ia pikul.

Dua hari kemudian, dari puncak sebuah tanjakan panjang, akhirnya mereka melihatnya. Bukittinggi. Kota itu terhampar di sebuah dataran tinggi yang dikelilingi oleh Gunung Singgalang, Gunung Marapi, dan Gunung Sago, seolah dijaga oleh tiga raksasa agung. Dari kejauhan, atap-atap gonjong rumah gadang yang khas [Research Note 11, mengenai arsitektur Minangkabau] tampak mencuat di antara kerimbunan pohon, berselang-seling dengan beberapa bangunan beratap genting yang lebih modern, mungkin milik para pedagang kaya atau pejabat Belanda. Asap tipis mengepul dari dapur-dapur, menandakan kehidupan yang sibuk. Jantung Alam berdegup lebih kencang. Inilah tujuan mereka, medan pertempuran berikutnya.

“Lihat! Itu Bukittinggi!” seru Arip dengan antusias, rasa lelahnya seolah menguap seketika. Ia menunjuk ke arah gugusan bangunan yang semakin jelas terlihat. “Besar sekali! Jauh lebih besar dari pasar di nagari kita, bahkan lebih ramai dari Payakumbuh yang pernah kudatangi bersama ayahku.”

Hasan ternganga, matanya membelalak takjub. “Seperti lautan manusia dan rumah,” gumamnya. Kegelisahannya kini bercampur dengan rasa ingin tahu yang besar.

Bujang hanya mengangguk perlahan, matanya yang tajam memindai pemandangan itu dengan saksama, mencoba menangkap setiap detail.

Alam sendiri merasakan campuran antara kelegaan dan kegugupan. Kelegaan karena perjalanan panjang dan berbahaya melalui hutan belantara akhirnya mencapai satu tahapan penting. Gugup karena ia sadar, tantangan sesungguhnya baru akan dimulai. Di sinilah, di pasar besar ini, nasib Nagari Sago akan ditentukan.

Semakin dekat mereka ke pusat kota, semakin terasa denyut kehidupan yang berbeda. Jalanan yang semula lengang kini dipenuhi orang lalu-lalang. Pedati-pedati yang ditarik kerbau atau kuda berpapasan dengan para pedagang yang memikul barang dagangan mereka. Suara riuh rendah percakapan dalam berbagai logat, teriakan para penjual, tawa anak-anak, dan ringkikan kuda menciptakan simfoni keramaian yang memekakkan telinga bagi mereka yang terbiasa dengan ketenangan hutan. Aroma aneka rempah, buah-buahan matang, masakan yang sedang digoreng, dan bahkan bau khas hewan ternak bercampur aduk di udara.

Mereka akhirnya tiba di sebuah lapangan luas yang dikelilingi deretan bangunan toko dan lepau-lepau semi permanen. Inilah jantung perdagangan Bukittinggi, yang oleh orang-orang disebut sebagai Pasar Atas. Puluhan, bahkan mungkin ratusan, pedagang menggelar dagangan mereka. Ada yang menjual hasil bumi seperti beras, sayur-mayur, buah-buahan, dan tentu saja, rempah-rempah yang menjadi incaran utama. Ada pula yang menjajakan kain tenun berwarna-warni, kerajinan tangan dari perak dan kayu, perkakas besi, hingga obat-obatan tradisional. Di antara kerumunan pedagang lokal, tampak pula beberapa pedagang Tionghoa dengan logat mereka yang khas, dan sesekali terlihat serdadu Belanda berseragam biru tua, berjalan berpatroli dengan angkuh, senapan tersandang di bahu, menjadi pengingat akan kekuasaan yang mencengkeram negeri itu.

Alam dan kawan-kawannya, dengan penampilan mereka yang sedikit lusuh setelah berhari-hari di perjalanan dan seekor kerbau yang terikat tali, tampak sedikit mencolok di tengah keramaian itu. Beberapa pasang mata memandang mereka dengan tatapan ingin tahu, beberapa lagi dengan acuh tak acuh, sibuk dengan urusan masing-masing.

“Di mana kita akan mulai?” tanya Hasan, suaranya terdengar ragu-ragu, seolah terintimidasi oleh hiruk-pikuk pasar.

Alam menarik napas dalam. “Kita cari tempat untuk menambatkan kerbau ini dulu, lalu kita amati situasinya. Jangan terburu-buru menawarkan barang. Kita lihat dulu bagaimana pedagang lain bertransaksi, berapa harga pasaran untuk barang-barang yang kita bawa.” Ia teringat nasihat Pak Tuo Sani untuk selalu menggunakan akal dan hati-hati.

Mereka menemukan sebatang pohon rindang di pinggir pasar, tempat beberapa pedagang lain juga menambatkan ternak mereka. Setelah memastikan kerbau mereka aman dan memberinya sedikit rumput, mereka berempat mulai berkeliling, mencoba menyerap sebanyak mungkin informasi. Harapan mereka untuk segera mendapatkan pembeli dengan harga tinggi mulai berhadapan dengan kenyataan pasar yang keras. Persaingan begitu ketat. Banyak pedagang lain yang menawarkan barang serupa, bahkan mungkin dengan kualitas yang lebih baik atau dalam jumlah yang lebih besar.

Alam melihat bagaimana para pedagang besar, tauke-tauke yang sudah punya nama, dengan mudahnya mengendalikan alur tawar-menawar. Sementara pedagang kecil seperti mereka harus pandai-pandai menarik perhatian dan meyakinkan calon pembeli. Ladiang di pinggangnya [3] seolah mengingatkannya untuk tetap teguh, untuk tidak mudah menyerah. Ini adalah medan laga yang berbeda, bukan adu fisik, melainkan adu kelihaian, kesabaran, dan kecerdikan.

Arip, dengan sifatnya yang mudah bergaul, mencoba membuka percakapan dengan beberapa pedagang lain. “Permisi, Uda, Uni,” sapanya ramah. “Kami baru datang dari jauh, membawa sedikit hasil bumi. Bagaimana harga lada dan kopi di pasar hari ini?”

Beberapa pedagang melirik barang bawaan mereka yang masih terikat di punggung kerbau, lalu menjawab sekenanya, “Harga sedang turun, Nak. Banyak barang masuk dari daerah lain.” Yang lain bahkan tak menggubris, sibuk melayani pembeli yang lebih menjanjikan.

Kenyataan itu sedikit memukul semangat mereka. Kehilangan sebagian barang di sungai kemarin kini terasa semakin memberatkan. Jumlah barang mereka yang sudah berkurang berarti mereka harus mendapatkan harga terbaik untuk setiap butir lada dan biji kopi yang tersisa.

Menjelang tengah hari, Alam memutuskan sudah waktunya mencoba. “Kita gelar sebagian barang kita di sini,” katanya, menunjuk sebuah tempat yang sedikit lowong di antara pedagang kain dan pedagang tembakau. “Arip, kau yang pandai bicara, coba tawarkan. Hasan, Bujang, bantu aku menata barang.”

Mereka menurunkan beberapa karung kecil berisi lada, kayu manis, dan sisa biji kopi yang berhasil diselamatkan. Alam menatanya sedemikian rupa agar tampak menarik. Debar di dadanya lebih kencang daripada saat menghadapi jejak bandit atau derasnya arus sungai. Di sini, yang dipertaruhkan adalah harapan seluruh nagari.

Calon pembeli pertama adalah seorang perempuan paruh baya dengan kerudung melilit di kepala, matanya tajam menilai barang dagangan mereka. Ia mengambil sejumput lada, mencium aromanya, lalu menggeleng. “Terlalu sedikit campurannya, Nak. Dan warnanya kurang hitam. Aku bisa dapat yang lebih baik dengan harga lebih murah di ujung sana.” Ia berlalu begitu saja.

Beberapa calon pembeli lain datang dan pergi, kebanyakan hanya bertanya harga lalu menawar dengan sangat rendah. Ada pula seorang lelaki berpenampilan licin, mengaku sebagai perantara dari seorang tauke besar, menawarkan untuk membeli semua barang mereka dengan harga borongan yang jauh di bawah harapan. Alam dengan tegas menolaknya. Ia teringat pesan Aisyah untuk tidak mudah tertipu dan selalu menjaga harga diri. Pikiran tentang Aisyah dan senyumnya memberinya sedikit kekuatan tambahan.

Kenyataan pasar Bukittinggi ternyata jauh lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Ini bukan sekadar tempat bertemunya penjual dan pembeli, tetapi sebuah arena pertarungan yang tak terlihat, di mana setiap orang berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Alam mulai menyadari bahwa ladiang dan keberanian fisik saja tidak cukup di sini. Ia membutuhkan strategi, kesabaran, dan mungkin sedikit keberuntungan.

Namun, di tengah tantangan itu, Alam juga melihat secercah harapan. Ia memperhatikan ada beberapa pedagang kecil dari daerah pedalaman lain yang tampak berhasil menjual barang mereka setelah bernegosiasi dengan alot. Ia juga melihat beberapa pembeli yang tampaknya mencari kualitas tertentu dan bersedia membayar lebih.

Sore itu, ketika pasar mulai sedikit lengang, seorang lelaki tua berwajah teduh menghampiri mereka. Ia mengenakan deta sederhana dan pakaian yang bersih. Ia mengamati barang dagangan Alam dengan saksama, lalu bertanya dengan suara lembut, “Dari mana kalian datang, Anak-anak?”

Alam menceritakan secara singkat asal mereka dan tujuan mereka datang ke Bukittinggi. Lelaki tua itu mengangguk-angguk penuh pengertian. “Perjuangan kalian mulia,” katanya. “Aku juga pedagang kecil, sudah puluhan tahun menggantungkan hidup dari pasar ini. Kualitas barang kalian sebenarnya cukup baik, hanya saja kalian datang di saat yang kurang tepat dan mungkin belum mengenal seluk-beluk pasar ini.”

Ia kemudian memberikan beberapa nasihat berharga tentang kepada siapa sebaiknya mereka menawarkan barang, kapan waktu terbaik untuk bertransaksi, dan bagaimana cara mengenali pembeli yang serius. Ia bahkan menyebut nama beberapa saudagar yang dikenalnya cukup adil.

Percakapan dengan lelaki tua itu bagaikan setetes embun di tengah gurun. Meskipun belum ada barang mereka yang laku terjual hari itu, Alam merasa mendapatkan sesuatu yang lebih berharga: pengetahuan dan sedikit harapan baru. Pasar Bukittinggi telah menunjukkan wajahnya yang keras, namun juga menyimpan potensi bagi mereka yang gigih dan pandai membaca situasi. Malam itu, ketika mereka mencari tempat untuk beristirahat di salah satu sudut pasar yang remang-remang, Alam membulatkan tekad. Ia dan teman-temannya tidak akan menyerah. Kenyataan boleh pahit, tapi harapan Nagari Sago terlalu besar untuk dipadamkan begitu saja. Pertarungan di pasar baru saja dimulai.