Fajar kedua di Bukittinggi menyingsing membawa serta harapan baru yang rapuh, sekaligus sisa-sisa kepenatan dari hari pertama yang penuh tantangan. Alam membangunkan teman-temannya sebelum pasar benar-benar menggeliat. Nasihat dari pedagang tua kemarin masih terngiang jelas di telinganya: datang lebih pagi, amati lebih jeli, dan jangan pernah menunjukkan keputusasaan di hadapan calon pembeli. Tekanan untuk berhasil terasa semakin berat, membayangi setiap gerak-gerik mereka. Sisa perbekalan mereka semakin menipis, dan bayangan wajah-wajah di Nagari Sago yang menanti kabar baik seolah hadir di setiap hiruk pikuk pasar.
“Hari ini, kita harus lebih cerdik,” kata Alam saat mereka berbagi sarapan sederhana berupa sisa nasi dingin dan beberapa potong pisang yang mereka beli kemarin dengan harga miring. “Kita coba datangi beberapa nama saudagar yang disebutkan oleh kakek kemarin. Ingat, Arip, kau pandai merangkai kata, tapi jaga agar tidak terlihat terlalu bersemangat atau terburu-buru. Bujang, kehadiranmu penting untuk menunjukkan bahwa kita tidak mudah diremehkan. Hasan, matamu awas, perhatikan raut wajah dan gerak-gerik mereka. Kita harus bekerja sebagai satu kesatuan.”
Mereka kembali menggelar dagangan mereka – sisa karung-karung berisi lada, biji kopi yang sebagian telah hilang, kayu manis yang aromanya masih kuat, dan beberapa karung beras pilihan – di tempat yang sama seperti kemarin. Pasar mulai ramai, suara pedagang yang meneriakkan dagangannya bersahut-sahutan, aroma aneka bumbu dan masakan kembali memenuhi udara. Alam merasakan jantungnya berdegup sedikit lebih kencang. Ini adalah hari pertaruhan.
Calon pembeli pertama yang singgah adalah seorang lelaki berperawakan sedang dengan kumis melintang, matanya menyelidik dengan tajam. Ia mengaku sebagai wakil dari seorang saudagar rempah besar dari Padang. “Berapa kalian lepas lada ini sekati?” tanyanya tanpa basa-basi, menunjuk karung lada terbaik mereka.
Alam menyebutkan harga yang ia rasa pantas, sedikit di atas harga terendah yang ia dengar kemarin, mengingat kualitas lada mereka yang cukup baik meski jumlahnya tak banyak.
Lelaki itu tertawa kecil, suara yang terdengar meremehkan. “Harga dari hutan, ya? Di gudangku, lada seperti ini tidak semahal itu, Nak. Aku ambil semua ladamu, tapi dengan harga sepertiga lebih rendah dari yang kau sebutkan.”
Rahang Alam mengeras. Tawaran itu jelas sebuah penghinaan. “Maaf, Uda. Harga itu tidak bisa menutupi lelah kami berjalan berhari-hari menembus hutan dan menyeberang sungai,” jawab Alam tegas, berusaha menjaga nada suaranya tetap sopan namun tak goyah. Ladiangnya seolah memberinya kekuatan untuk tidak tunduk begitu saja.
“Kalau begitu, silakan tunggu pembeli lain yang mau membayar mimpi kalian,” balas lelaki itu dengan sinis, lalu berlalu begitu saja.
Arip mendengus kesal. “Orang itu! Seperti lintah darat saja gayanya!”
“Sabar, Rip,” kata Alam. “Ini baru permulaan. Akan banyak yang seperti dia.”
Mereka kemudian mencoba peruntungan dengan beberapa pedagang lain. Ada seorang perempuan pedagang Tionghoa yang tampak tertarik dengan kayu manis mereka. Ia memeriksanya dengan teliti, mematahkannya sedikit untuk mencium aromanya, lalu mulai menawar. Tawar-menawar berlangsung alot. Perempuan itu sangat lihai, setiap argumen Alam ia balas dengan perhitungan untung rugi yang cermat. Hasan memperhatikan bagaimana perempuan itu sesekali melirik ke arah kerbau mereka dan sisa barang lainnya, seolah menaksir seberapa besar kebutuhan mereka untuk segera menjual.
“Saya tahu kalian datang dari jauh dan butuh uang cepat,” kata perempuan itu dengan senyum tipis yang sulit diartikan. “Saya bisa ambil kayu manismu, tapi harganya harus sesuai dengan pasaran. Saya juga harus mengambil untung, bukan?”
Alam mencoba mengingat semua nasihat pedagang tua kemarin. Ia bertahan pada harga yang ia rasa wajar, menjelaskan kualitas kayu manis mereka yang berasal dari hutan pedalaman. Bujang berdiri tegak di samping Alam, tatapannya yang dingin seolah menjadi benteng tak terlihat. Setelah hampir setengah jam beradu argumen dan tawar-menawar yang menguras energi, akhirnya tercapai kesepakatan. Mereka berhasil menjual sebagian besar kayu manis mereka, meskipun harganya sedikit di bawah harapan awal Alam, namun jauh lebih baik daripada tawaran pertama si pedagang kumis tadi. Ini adalah penjualan pertama mereka yang cukup berarti. Ada sedikit kelegaan, namun juga kesadaran bahwa perjuangan masih panjang.
Uang hasil penjualan kayu manis terasa hangat di genggaman Alam. Ia segera membaginya dengan teman-temannya untuk membeli makanan yang lebih layak. Setidaknya, untuk hari ini, mereka tidak akan kelaparan.
Siang harinya, tekanan semakin terasa. Panas matahari Bukittinggi yang menyengat seolah menambah berat beban di pundak mereka. Beberapa karung beras mereka mulai menarik perhatian beberapa pembeli, namun kebanyakan adalah pedagang perantara yang menawar dengan harga sangat rendah, berniat menjualnya kembali dengan keuntungan berkali-kali lipat. Alam teringat bagaimana sawah-sawah di Nagari Sago terancam oleh Belanda, bagaimana setiap butir beras ini adalah keringat dan harapan para petani di kampungnya. Ia tidak bisa melepaskannya dengan harga semurah itu.
Sebuah insiden kecil sempat membuat suasana tegang. Seorang lelaki berpenampilan sangar mencoba mengambil segenggam biji kopi mereka tanpa izin, dengan dalih ingin memeriksa kualitasnya. Bujang, yang sedari tadi diam mengamati, bergerak cepat. Tangannya yang besar mencengkeram pergelangan tangan lelaki itu dengan kuat.
“Kalau mau lihat, minta izin dulu, Uda!” desis Bujang, matanya menatap tajam.
Lelaki itu terkejut, berusaha melepaskan cengkeraman Bujang namun tak berhasil. Wajahnya memerah karena marah dan malu. Beberapa pedagang di sekitar mulai memperhatikan. Merasa terancam, lelaki itu mengumpat kasar lalu pergi dengan tergesa-gesa.
“Nyaris saja,” kata Hasan lega, mengelus dadanya.
Alam menepuk bahu Bujang. “Kerja bagus, Jang. Kita harus tunjukkan kita tidak bisa diinjak-injak.”
Menjelang sore, Alam memutuskan untuk mencoba mencari salah satu nama saudagar yang disebutkan oleh pedagang tua kemarin, seorang yang dikenal bernama Haji Saleh, yang katanya memiliki lepau di bagian pasar yang sedikit lebih tenang. Setelah bertanya ke sana kemari, mereka akhirnya menemukan sebuah toko kelontong yang cukup besar dengan papan nama kayu bertuliskan “Kedai Amanah Haji Saleh”.
Seorang lelaki berusia lanjut dengan janggut putih bersih dan wajah yang teduh menyambut mereka dengan senyum ramah. Dialah Haji Saleh. Alam menjelaskan maksud kedatangan mereka dengan sopan. Haji Saleh mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk. Ia kemudian memeriksa sisa barang dagangan mereka – lada, biji kopi, dan beras – dengan teliti, namun tanpa aura meremehkan seperti pedagang lain.
“Barang kalian dari pedalaman, ya? Kualitasnya jujur, apa adanya,” kata Haji Saleh setelah selesai memeriksa. “Sayang sekali sebagian biji kopi kalian rusak karena air, dan jumlahnya pun tak banyak lagi. Untuk lada, cukup baik. Beras ini juga pulen kelihatannya.”
Kemudian dimulailah proses tawar-menawar. Berbeda dengan pedagang lain, Haji Saleh menjelaskan dasar perhitungannya. Ia menunjukkan harga pasar saat itu, memperhitungkan kualitas barang Alam, dan menyebutkan berapa keuntungan tipis yang biasa ia ambil. Ia berbicara dengan tenang, tidak berusaha menekan atau memanfaatkan keadaan mereka. Alam merasakan aura kejujuran dari saudagar ini.
Meskipun harga yang ditawarkan Haji Saleh untuk biji kopi yang sedikit rusak itu tidak tinggi, namun untuk lada dan beras, ia memberikan harga yang jauh lebih baik daripada semua tawaran yang mereka terima sejauh ini. Alam berdiskusi sejenak dengan teman-temannya. Mereka semua setuju.
“Kami setuju dengan harga yang Tuan Haji tawarkan,” kata Alam akhirnya.
Haji Saleh tersenyum. “Alhamdulillah. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kalian.”
Mereka pun menjual sisa lada, biji kopi, dan seluruh beras mereka kepada Haji Saleh. Proses penimbangan dan pembayaran berlangsung transparan. Ketika uang hasil penjualan sudah di tangan Alam, sebuah beban besar serasa terangkat dari pundaknya, meskipun ia tahu jumlah ini mungkin belum cukup untuk menyelesaikan semua masalah di Nagari Sago.
Sebelum mereka berpamitan, Haji Saleh memberi mereka sedikit nasihat lagi. “Bukittinggi ini kota yang keras, Nak. Banyak orang baik, tapi lebih banyak lagi yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Hati-hati dengan siapa kalian berurusan. Dan jangan lupa, rezeki itu datangnya dari Yang Maha Kuasa, berusahalah dengan jujur, insya Allah akan ada jalannya.” Ia juga sempat menyinggung tentang seorang “Tuan Kontrolir” Belanda yang baru dan sangat ketat aturannya, yang membuat banyak pedagang kecil semakin terhimpit. Kabar itu menjadi catatan tersendiri di benak Alam.
Meninggalkan kedai Haji Saleh, perasaan mereka campur aduk. Ada kelegaan karena berhasil menjual semua barang bawaan mereka, meskipun dengan berbagai rintangan. Ada rasa syukur karena bertemu orang baik seperti Haji Saleh. Namun, ada juga kecemasan yang masih membayangi. Apakah uang yang mereka dapatkan ini cukup? Dan apa langkah mereka selanjutnya? Tekanan itu belum sepenuhnya hilang, hanya berganti bentuk. Matahari mulai tergelincir di ufuk barat, menutup hari kedua mereka yang penuh perjuangan di jantung perdagangan Ranah Minang.