Bab 14: Sekutu yang Tak Disangka

Pusat Dokumentasi dan Informasi Padang Panjang ET Hadi Saputra

Setelah insiden penyerangan yang nyaris merenggut kantung uang amanah Nagari Sago, Alam dan ketiga sahabatnya bergerak cepat. Keputusan untuk segera meninggalkan Bukittinggi malam itu juga sudah bulat. Wajah-wajah tegang para pencopet dan ancaman mereka masih terbayang jelas, menjadi bara yang memacu adrenalin. Bukittinggi, yang semula menjanjikan harapan melalui perdagangannya, kini terasa seperti sarang penyamun yang siap menerkam kapan saja.

Mereka membagi tugas. Alam dan Bujang, dengan sisa uang penjualan kayu manis yang mereka sisihkan untuk keperluan mendadak, bergegas membeli perbekalan paling penting: garam, beras secukupnya untuk beberapa hari perjalanan, sedikit dendeng kering, dan beberapa obat-obatan dasar seperti daun sirih dan gambir untuk luka. Sementara itu, Hasan dan Arip ditugaskan untuk mengawasi kerbau dan sisa barang mereka di tempat peristirahatan darurat di pinggir pasar, sambil terus mengamati keadaan sekitar, memastikan tidak ada mata-mata yang mengikuti jejak mereka. Setiap bayangan, setiap orang asing yang melintas, kini tampak mencurigakan.

“Beli secukupnya saja, jangan menarik perhatian,” pesan Alam kepada Bujang sebelum mereka berpisah. “Kita harus bergerak ringan dan cepat.”

Di pasar yang mulai meredup menjelang senja, Alam dan Bujang berusaha tidak menonjol. Mereka memilih membeli dari lepau-lepau kecil yang agak tersembunyi, menghindari keramaian utama. Alam merasakan ladiangnya di pinggang seolah terus berdenyut, mengingatkannya akan tanggung jawab besar yang ia emban. Uang nagari kini bukan hanya sekadar kepingan perak dan gulden, tetapi nyawa dan masa depan kampung halamannya.

Ketika mereka kembali ke tempat Hasan dan Arip menunggu, matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat jingga kemerahan di langit. Suasana Bukittinggi mulai berubah. Lampu-lampu minyak mulai dinyalakan di beberapa kedai, namun lorong-lorong pasar semakin temaram dan terasa lebih mengancam.

“Bagaimana?” tanya Alam pelan.

“Aman, Lam. Sepertinya tidak ada yang mengikuti,” jawab Arip, namun suaranya masih menyiratkan kecemasan. “Tapi aku melihat beberapa orang yang mirip dengan gerombolan tadi siang berkeliaran di sekitar jalan keluar utama pasar.”

Hasan mengangguk membenarkan. “Benar, Lam. Rasanya mereka seperti menunggu seseorang.”

Kabar itu membuat Alam semakin yakin bahwa keputusannya untuk segera pergi adalah tepat. Para penjahat itu jelas tidak akan menyerah begitu saja. Mereka tahu Alam dan kawan-kawannya adalah pendatang yang baru saja berhasil menjual barang, sasaran empuk yang kini membawa uang tunai.

“Kita tidak bisa keluar lewat jalan biasa,” gumam Alam, otaknya bekerja keras mencari solusi. “Mereka pasti sudah menduga kita akan lewat sana.”

Di tengah kebingungan dan ketegangan itu, ketika mereka sedang bersiap-siap mengemasi barang ke atas punggung kerbau dan bahu masing-masing, sebuah suara lembut menyapa dari belakang mereka.

“Anak-anak muda dari Nagari Sago, bukan?”

Sontak mereka berempat terkejut dan berbalik, tangan Alam secara refleks sudah memegang gagang ladiangnya. Di hadapan mereka berdiri Haji Saleh, saudagar tua yang telah membeli semua barang mereka kemarin. Wajahnya yang teduh tampak sedikit khawatir di bawah cahaya lampu minyak yang berkelip dari kejauhan.

“Tuan Haji?” kata Alam, sedikit menurunkan kewaspadaannya, namun tetap waspada. “Ada apa Tuan Haji mencari kami?”

Haji Saleh tersenyum tipis. “Aku mendengar ada sedikit keributan di pasar tadi siang yang melibatkan beberapa pemuda pendatang. Dan aku juga melihat dari kejauhan ada beberapa orang yang tidak beres mengawasi kalian sejak sore tadi. Firasatku mengatakan kalian dalam kesulitan.”

Alam terdiam. Ia tidak menyangka saudagar tua ini akan begitu peduli. “Kami… kami memang berencana segera meninggalkan Bukittinggi malam ini, Tuan Haji,” jawab Alam jujur. “Kami khawatir dengan keselamatan uang yang kami bawa.”

Haji Saleh mengangguk penuh pengertian. “Keputusan yang bijak. Bukittinggi di malam hari bisa lebih buas daripada harimau di hutan jika kalian tidak tahu jalannya dan membawa sesuatu yang berharga. Para bajingan itu, mereka punya banyak mata dan telinga di setiap sudut kota ini.”

“Apakah Tuan Haji tahu jalan keluar yang aman bagi kami?” tanya Alam penuh harap. Ini adalah secercah cahaya yang tak terduga.

“Aku tidak hanya tahu jalannya, tapi aku bisa membantu kalian melewatinya,” kata Haji Saleh dengan tenang. “Anggap saja ini sebagai sedikit balasan atas kejujuran dan kerja keras kalian. Aku tidak suka melihat anak-anak muda yang berjuang untuk kampung halamannya dicelakai oleh para kutu pasar itu.”

Tawaran itu benar-benar tak disangka. Di kota yang terasa begitu asing dan penuh ancaman, uluran tangan tulus dari seseorang yang baru mereka kenal terasa begitu berarti. Namun, Alam tetap berhati-hati. Ia menatap mata Haji Saleh, mencari tanda-tanda kebohongan, namun yang ia temukan hanya ketulusan.

“Kenapa Tuan Haji mau repot-repot membantu kami?” tanya Alam, masih sedikit ragu.

“Karena aku pernah muda seperti kalian, datang ke kota ini dengan harapan dan mimpi,” jawab Haji Saleh, matanya menerawang sejenak. “Dan karena aku percaya, niat baik harus didukung. Selain itu,” ia tersenyum simpul, “aku punya beberapa urusan yang harus diselesaikan di pinggir kota malam ini, searah dengan jalan keluar yang lebih aman untuk kalian.”

Setelah berunding singkat dengan teman-temannya melalui isyarat mata, Alam memutuskan untuk menerima bantuan itu. Ini adalah sebuah pertaruhan, namun firasatnya mengatakan ia bisa mempercayai saudagar tua ini. “Baiklah, Tuan Haji. Kami sangat berterima kasih atas kebaikan hati Anda.”

“Jangan berterima kasih padaku, tapi pada Yang Maha Melindungi,” kata Haji Saleh. “Sekarang, bersiaplah. Kita akan berangkat sebentar lagi, ketika pasar sudah benar-benar sepi dan para penjaga malam mulai lengah. Ikuti aku dari belakang, jangan menarik perhatian, dan jangan bersuara jika tidak perlu.”

Satu jam kemudian, di bawah keremangan malam yang hanya diterangi oleh bulan sabit dan beberapa lampu minyak yang berjauhan, rombongan kecil itu bergerak dalam diam. Haji Saleh berjalan di depan, langkahnya mantap meski usianya tak lagi muda. Ia membawa mereka melalui lorong-lorong sempit di belakang deretan toko, melewati halaman-halaman rumah yang gelap, menghindari jalan-jalan utama yang mungkin diawasi. Alam, Bujang, Hasan, dan Arip mengikuti dengan hati-hati, kerbau mereka berjalan pelan di belakang, seolah ikut merasakan ketegangan.

Beberapa kali mereka harus berhenti mendadak ketika Haji Saleh memberi isyarat, bersembunyi di balik bayangan dinding atau tumpukan barang ketika beberapa orang yang mencurigakan atau patroli malam lewat. Jantung Alam berdebar kencang setiap kali mereka nyaris ketahuan. Ia bisa merasakan uang amanah nagari di pinggangnya seolah menjadi magnet yang menarik bahaya.

Akhirnya, setelah perjalanan yang terasa begitu panjang dan menegangkan, mereka tiba di sebuah gerbang kecil di batas kota yang tidak banyak diketahui orang. Gerbang itu menuju ke sebuah jalan setapak yang langsung mengarah ke perbukitan dan hutan.

“Dari sini, kalian akan lebih aman,” kata Haji Saleh, menunjuk ke jalan setapak itu. “Jalan ini akan membawa kalian ke arah Gunung Marapi. Teruslah berjalan hingga pagi, jangan berhenti di tempat terbuka. Hutan di luar kota ini juga punya aturannya sendiri, tapi setidaknya kalian terhindar dari para penjahat kota.”

Alam tak bisa berkata-kata selain ucapan terima kasih yang tulus. “Kami tidak akan pernah melupakan kebaikan Tuan Haji.”

“Jaga diri kalian baik-baik, dan sampaikan salamku untuk orang-orang di nagari kalian,” kata Haji Saleh sambil menepuk bahu Alam. “Semoga Allah melindungi perjalanan kalian.”

Dengan anggukan terakhir, Haji Saleh berbalik dan menghilang kembali ke dalam kegelapan kota, meninggalkan Alam dan kawan-kawannya di ambang kebebasan sekaligus di awal perjalanan pulang yang penuh tantangan. Sekutu yang tak disangka itu telah membuka jalan bagi mereka, memberikan harapan baru di tengah keputusasaan. Kini, mereka harus mengandalkan kekuatan dan kewaspadaan mereka sendiri untuk membawa amanah itu kembali ke Nagari Sago.