Bab 16: Pulang Membawa Hasil

Pusat Dokumentasi dan Informasi Padang Panjang ET Hadi Saputra

Jalan setapak yang ditunjukkan oleh Haji Saleh [Bab 14] memang terbukti lebih aman dari ancaman penjahat kota, namun tidak berarti lebih mudah. Jalur itu membelah perbukitan terjal, menuruni lembah curam, dan kembali memaksa mereka menembus hutan-hutan sekunder yang tak kalah lebatnya dengan rimba yang mereka lalui saat berangkat. Alam, Hasan, Bujang, dan Arip kini adalah musafir yang jauh lebih berpengalaman. Setiap gemerisik mencurigakan, setiap jejak aneh di tanah, tak luput dari perhatian mereka. Uang hasil penjualan barang dagangan, amanah Nagari Sago yang tersimpan rapat di pinggang Alam, menjadi pengingat konstan akan pentingnya kewaspadaan. Mereka mengurangi istirahat, memacu langkah, didorong oleh keinginan untuk segera sampai dan kerinduan akan kampung halaman yang damai.

Perjalanan pulang terasa berbeda. Jika saat berangkat mereka dipenuhi ketidakpastian dan harapan yang baru tumbuh, kini mereka membawa beban tanggung jawab yang nyata dan pengalaman pahit manis yang telah menempa mereka. Ladiang Alam [3] seolah semakin menyatu dengan dirinya, bukan lagi hanya sebagai senjata, tetapi juga sebagai simbol keteguhan hati. Ia lebih banyak diam dalam perjalanan ini, pikirannya sibuk menyusun kata-kata yang akan ia sampaikan kepada para Ninik Mamak dan seluruh warga nagari. Ia harus melaporkan keberhasilan mereka, tetapi juga kerugian yang mereka alami dan bahaya yang telah mereka hadapi.

Setelah hampir empat hari berjalan tanpa henti, menahan lapar dan lelah, akhirnya mereka mulai mengenali kontur perbukitan yang familiar. Pohon-pohon besar yang menjadi penanda batas nagari mulai terlihat. Suara kokok ayam hutan dan kicau burung-burung yang biasa mereka dengar di kampung halaman menyambut kedatangan mereka seperti alunan musik yang merdu.

“Kita hampir sampai!” seru Hasan dengan napas tersengal, matanya berbinar menatap sebuah puncak bukit yang ia kenali. [1]

Arip, yang biasanya paling banyak bicara, kali ini hanya tersenyum lebar, air mata haru tampak menggenang di pelupuk matanya. [2] Bujang menepuk-nepuk punggung kerbau mereka yang juga tampak kelelahan namun berhasil membawa mereka pulang dengan selamat. [2]

Ketika mereka menuruni lereng terakhir dan memasuki jalan setapak utama menuju Nagari Sago, beberapa orang warga yang kebetulan sedang mencari kayu bakar atau kembali dari sawah melihat kedatangan mereka. Wajah-wajah terkejut bercampur tak percaya. Kabar tentang kembalinya “rombongan si Alam Parewa” [1] dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut.

Nagari Sago yang mereka tinggalkan beberapa minggu lalu dalam suasana penuh keraguan [Bab 5], kini menyambut mereka dengan riuh rendah. Anak-anak kecil berlarian mengikuti mereka, berteriak-teriak gembira. Para perempuan keluar dari dapur rumah gadang, menatap dengan haru dan penasaran. Para lelaki yang sedang bekerja di sawah atau ladang menghentikan sejenak aktivitas mereka.

Alam mencari-cari sosok Aisyah di antara kerumunan, dan ia menemukannya berdiri di depan surau, bersama beberapa gadis lain. Mata mereka bertemu sejenak, dan Alam melihat senyum lega dan bangga terukir di wajah Aisyah, senyum yang menghangatkan hatinya lebih dari api unggun manapun.

Pak Tuo Sani, Bundo Sari, dan Pak Cik Amin [1, 3] bersama beberapa Ninik Mamak lainnya telah menunggu di halaman balai adat. Wajah Pak Tuo Sani yang biasanya tenang kini menunjukkan gurat kelegaan yang mendalam. Bundo Sari tak bisa menyembunyikan senyum harunya. Bahkan Pak Cik Amin yang seringkali pesimis pun tampak sedikit terkejut dan penasaran.

Alam maju ke hadapan para tetua itu, diikuti oleh Hasan, Bujang, dan Arip. Mereka berempat menunduk hormat. Suasana hening sejenak, semua mata tertuju pada mereka.

“Pak Tuo, Bundo, Ninik Mamak sekalian,” suara Alam terdengar serak namun mantap. “Kami telah kembali.”

“Selamat datang kembali, anak-anakku,” kata Pak Tuo Sani, suaranya bergetar menahan haru. “Kami semua mengkhawatirkan kalian. Bagaimana perjalanan kalian? Apakah kalian berhasil?”

Alam menarik napas dalam. Inilah saatnya. Ia menceritakan semua yang mereka alami: perjalanan berat menembus hutan, ancaman bandit yang berhasil mereka hindari, [Bab 8] malam-malam penuh ketegangan di rimba raya, [Bab 9] perjuangan menyeberangi Sungai Batang Antokan yang ganas hingga mereka kehilangan sebagian barang dagangan, [Bab 10] kerasnya persaingan di Pasar Bukittinggi, [Bab 11] tekanan tawar-menawar yang menguras kesabaran, [Bab 12] ancaman baru dari penjahat kota, [Bab 13] hingga bantuan tak terduga dari Haji Saleh yang memungkinkan mereka pulang dengan selamat. [Bab 14] Ia tidak melebih-lebihkan, juga tidak mengurangi. Ia ingin seluruh nagari tahu betapa berat perjuangan yang telah mereka lalui.

Para warga yang berkumpul mendengarkan dengan saksama, sesekali terdengar desah kagum, ngeri, atau haru. Wajah Sutan Mudo [Bab 3], yang dulu paling keras menyindir rencana Alam, kini tampak menunduk, entah malu atau menyesal.

Setelah selesai bercerita, Alam meraih kantung kulit yang tersembunyi di balik bajunya. Dengan tangan sedikit gemetar karena menahan emosi, ia membuka ikatan kantung itu dan menuangkan isinya ke atas tikar pandan yang telah digelar di hadapan para Ninik Mamak. Keping-keping perak dan beberapa gulden Belanda berkilauan di bawah sinar matahari sore, memantulkan harapan baru bagi Nagari Sago.

“Ini… ini adalah hasil penjualan semua barang dagangan kita, setelah dikurangi biaya perjalanan dan perbekalan,” kata Alam. “Jumlahnya mungkin tidak sebanyak yang kita harapkan karena sebagian barang kita hanyut di sungai, tapi kami telah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan harga terbaik.”

Mata Pak Tuo Sani berkaca-kaca. Ia mengambil beberapa keping uang itu, merasakannya di telapak tangannya. “Ini lebih dari cukup, Alam. Ini adalah keajaiban.”

Bundo Sari tak kuasa menahan air matanya. “Kalian telah membuktikan keberanian dan ketulusan hati kalian, Nak. Nagari Sago berutang budi pada kalian.”

Pak Cik Amin, yang biasanya paling skeptis, kini hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya, ada seulas senyum tipis di bibirnya yang tersembunyi di balik kumis tebalnya. “Siapa sangka, pemuda keras kepala seperti kau ternyata bisa membawa pulang hasil sebesar ini,” gumamnya, namun nadanya lebih terdengar seperti pujian daripada celaan.

Sorak sorai dan pekik syukur membahana dari kerumunan warga. Keberhasilan Alam dan kawan-kawannya telah membangkitkan semangat dan harapan yang sempat meredup. Uang itu bukan hanya sekadar alat tukar, tetapi simbol perlawanan, simbol bahwa mereka tidak akan menyerah begitu saja pada tekanan Belanda. [3]

Pak Tuo Sani kemudian berdiri. “Warga Nagari Sago sekalian!” serunya dengan suara lantang. “Hari ini, kita telah menyaksikan bukti bahwa dengan tekad yang kuat, keberanian, dan persatuan, kita bisa menghadapi tantangan seberat apapun. Alam, Hasan, Bujang, dan Arip telah menunjukkan kepada kita semua arti dari pengorbanan dan cinta kepada nagari. Uang ini akan kita gunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan kita bersama, untuk membayar pajak yang mencekik itu, dan jika ada sisa, untuk memperkuat pertahanan dan kesejahteraan nagari kita!”

Tepuk tangan riuh kembali menggema. Alam merasa hatinya menghangat. Lelahnya seolah hilang seketika, tergantikan oleh rasa syukur dan kebanggaan yang meluap-luap. Ia menatap ketiga sahabatnya, mereka saling tersenyum, berbagi momen kemenangan itu.

Nagari Sago merayakan kepulangan pahlawan-pahlawan muda mereka hari itu. Ada rasa sukacita yang tulus, harapan yang membuncah, dan kebersamaan yang semakin erat. Namun, Alam, di tengah semua itu, tetap merasakan secuil kegelisahan. Ia tahu, ini baru satu pertempuran yang dimenangkan. Perang sesungguhnya melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan Belanda masih panjang. Dan mereka semua di Nagari Sago belum menyadari adanya intrik baru dari Tuan Kontrolir van der Stel [Bab 15] yang sedang dirancang di Bukittinggi, sebuah ancaman yang jauh lebih sistematis dan berbahaya.

Malam itu, Nagari Sago tidur dengan nyenyak, dipenuhi mimpi indah tentang masa depan yang lebih baik. Alam pun mencoba untuk beristirahat, membiarkan dirinya menikmati momen kelegaan ini. Namun, di kedalaman hatinya, ia tahu bahwa ia harus segera mempersiapkan diri dan nagarinya untuk menghadapi badai berikutnya yang pasti akan datang.