Bab 17: Sorak Kemenangan, Bibit Perpecahan

Pusat Dokumentasi dan Informasi Padang Panjang ET Hadi Saputra

Seminggu telah berlalu sejak kembalinya Alam, Hasan, Bujang, dan Arip ke Nagari Sago. Gema sorak kemenangan dan rasa syukur [Bab 16] masih terasa di setiap sudut kampung. Kisah perjalanan mereka yang penuh bahaya dan keberanian menjadi buah bibir, diceritakan ulang di lepau-lepau, di sawah, bahkan menjadi pengantar tidur bagi anak-anak. Alam, yang dulu sering dicap sebagai “si parewa keras hati” [1], kini dipandang dengan tatapan berbeda. Ada kekaguman, hormat, dan harapan yang terpancar dari mata para warga. Uang perak dan gulden yang mereka bawa pulang telah dihitung dengan saksama oleh para Ninik Mamak dan disimpan di tempat yang aman di dalam balai adat, menjadi simbol harapan baru bagi nagari.

Pagi itu, suasana di balai adat terasa berbeda dari biasanya. Para Ninik Mamak – Pak Tuo Sani, Bundo Sari, Pak Cik Amin, dan beberapa tetua lainnya – berkumpul untuk rapat penting. Alam, Hasan, Bujang, dan Arip juga diminta hadir, sebuah kehormatan yang menunjukkan betapa peran mereka kini diakui. Agendanya jelas: memutuskan bagaimana uang hasil jerih payah mereka akan dimanfaatkan demi kepentingan Nagari Sago.

“Alhamdulillah, berkat keberanian anak-anak kita ini,” Pak Tuo Sani memulai rapat dengan suara tenang namun penuh wibawa, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kita sedikit kelapangan. Uang ini adalah amanah. Kita harus memanfaatkannya dengan bijaksana.” [1, 3]

Bundo Sari mengangguk setuju. “Prioritas utama kita tentu saja adalah membayar tunggakan pajak kepada Kompeni. Jangan sampai kita memberi mereka alasan untuk datang dan membuat onar di nagari kita.” Matanya menatap Alam dengan kelembutan. “Kalian telah bekerja keras untuk ini.”

Sorak kemenangan seolah masih terasa di udara, namun justru di tengah suasana penuh harapan inilah, bibit-bibit perbedaan pendapat mulai muncul, bagai tunas liar yang mengancam merusak kebun yang baru disemai.

Pak Cik Amin, yang sejak awal tampak lebih banyak merenung, akhirnya angkat bicara. “Benar kata Bundo Sari, pajak itu penting. Tapi, aku dengar kabar dari saudagar yang baru pulang dari Padang, Kompeni di Bukittinggi, di bawah Tuan Kontrolir yang baru itu, [Bab 15] kabarnya akan mengeluarkan aturan-aturan baru yang lebih memberatkan. Bagaimana jika uang ini kita bayarkan semua, lalu bulan depan mereka datang lagi dengan tuntutan baru? Kita akan kembali ke titik nol.” Suaranya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam, kekhawatiran yang juga dirasakan oleh beberapa tetua lain yang lebih berhati-hati.

Sutan Mudo, yang entah bagaimana juga hadir dalam rapat itu mewakili suara “warga biasa” (meskipun lebih sering menyuarakan ketidakpuasannya sendiri), ikut menimpali. “Benar kata Pak Cik Amin. Jangan-jangan uang ini hanya cukup untuk menunda masalah sesaat. Mungkin lebih baik sebagian uang ini kita gunakan untuk membeli bibit unggul atau memperbaiki irigasi sawah kita. Setidaknya, hasil panen kita bisa meningkat untuk masa depan.” [Bab 3]

Usulan Sutan Mudo itu terdengar masuk akal bagi sebagian orang. Namun, Alam, yang telah melihat sendiri kerasnya dunia di luar nagari dan betapa sistematisnya tekanan Belanda, merasa gemas.

“Maaf, Ninik Mamak sekalian, Sutan Mudo,” Alam angkat bicara, suaranya terdengar jelas dan tegas, memotong perdebatan yang mulai menghangat. “Kita tidak bisa berpikir hanya untuk perut kita hari ini atau panen esok hari. Ancaman Kompeni itu nyata dan akan terus ada. Jika kita tidak membayar pajak yang mereka minta, mereka akan datang dengan laras senjata, bukan hanya dengan aturan baru.” Ia teringat wajah angkuh serdadu Belanda di pasar Bukittinggi. “Uang ini, pertama dan utama, harus digunakan untuk meredam ancaman langsung itu.”

“Lalu bagaimana jika mereka menaikkan pajak lagi dan lagi, Alam?” tantang Pak Cik Amin. “Sampai kapan kita akan terus membayar?”

“Itu adalah pertempuran berikutnya, Pak Cik,” jawab Alam. “Untuk saat ini, kita amankan dulu nagari kita dari ancaman yang sudah di depan mata. Jika ada sisa, barulah kita pikirkan untuk pertahanan atau kebutuhan lain.” Keras hatinya [1] terlihat jelas dalam keteguhan pendapatnya.

Perdebatan mulai memanas. Beberapa Ninik Mamak mendukung pandangan Pak Cik Amin dan Sutan Mudo, khawatir jika semua uang diserahkan, mereka tak punya apa-apa lagi untuk menghadapi masa sulit atau untuk investasi jangka panjang. Mereka berpendapat, lebih baik menahan sebagian uang, mungkin disembunyikan, sebagai dana darurat atau modal usaha nagari.

Di sisi lain, Pak Tuo Sani dan Bundo Sari lebih condong pada pandangan Alam, meskipun dengan pendekatan yang lebih diplomatis. Mereka menekankan pentingnya menghindari konflik terbuka dengan Belanda selagi mereka belum cukup kuat.

“Anak kita Alam ada benarnya,” kata Bundo Sari menengahi. “Kemarahan Kompeni jika kita membangkang membayar pajak bisa jauh lebih merusak daripada kehilangan sebagian uang ini. Namun, usul untuk menyisihkan sebagian kecil sebagai dana cadangan atau untuk kebutuhan mendesak nagari juga patut dipertimbangkan, jika memang jumlahnya memungkinkan setelah pajak utama dibayarkan.”

Hasan, Bujang, dan Arip hanya bisa diam mendengarkan perdebatan para tetua itu. Mereka telah mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan uang itu, dan kini melihat bagaimana uang itu justru mulai menimbulkan percik-percik perpecahan terasa sedikit menyakitkan. Arip beberapa kali ingin nyeletuk, namun tatapan tajam Alam mencegahnya.

Alam sendiri merasa frustrasi. Ia berhasil membawa pulang hasil, namun kini ia harus berjuang lagi meyakinkan orang-orang di nagarinya sendiri tentang cara terbaik memanfaatkannya. Ia mengerti kekhawatiran mereka, tapi ia juga melihat bahaya yang lebih besar jika mereka salah langkah. Ia teringat bagaimana Haji Saleh menasihatinya tentang Tuan Kontrolir yang baru. [Bab 12, Bab 14] Informasi itu belum ia sampaikan secara detail karena tidak ingin menambah kepanikan, namun itu memperkuat keyakinannya bahwa menghadapi Belanda membutuhkan strategi yang hati-hati dan kesatuan.

Di luar balai adat, kabar tentang perdebatan itu mulai menyebar. Warga yang tadinya bersatu dalam suka cita, kini mulai berbisik-bisik, terbagi dalam beberapa kubu pendapat. Ada yang mendukung Alam sepenuhnya, menganggapnya pahlawan yang tahu apa yang terbaik. Ada yang kembali meragukannya, menganggapnya terlalu muda dan gegabah. Ada pula yang hanya bingung, tak tahu harus berpihak ke mana. Sorak kemenangan beberapa hari lalu kini mulai diselingi oleh nada-nada sumbang keraguan dan potensi konflik.

Aisyah, yang mendengar desas-desus itu dari para perempuan di pancuran, merasa hatinya gelisah. Ia melihat bagaimana Alam berjuang keras, dan kini harus menghadapi tantangan baru dari dalam nagarinya sendiri. Ia ingin sekali berbicara dengan Alam, memberikan dukungan, namun ia tahu ini adalah ranah para lelaki dan Ninik Mamak.

Rapat di balai adat hari itu berakhir tanpa keputusan final yang bulat. Disepakati bahwa pembayaran pajak akan diutamakan, namun jumlah persis yang akan disisihkan atau dialokasikan untuk keperluan lain masih akan dirundingkan lebih lanjut oleh dewan Ninik Mamak. Alam diminta memberikan perkiraan rinci mengenai potensi kebutuhan nagari untuk pertahanan diri, sebuah tugas yang membuatnya semakin sadar akan beratnya tanggung jawab yang kini ada di pundaknya.

Meninggalkan balai adat dengan perasaan campur aduk, Alam menatap langit Nagari Sago yang mulai meredup. Kemenangan mereka terasa begitu singkat. Bibit-bibit perpecahan, entah karena perbedaan pandangan, kekhawatiran yang beralasan, atau mungkin juga sedikit kecemburuan, telah mulai ditaburkan. Ia sadar, menyatukan hati seluruh warga nagari untuk menghadapi ancaman yang sesungguhnya, ancaman dari luar yang jauh lebih besar dan licik, akan menjadi perjuangan berikutnya yang tak kalah berat. Ia hanya berharap, mereka semua segera menyadari bahwa perpecahan internal adalah kemewahan yang tidak mereka miliki saat ini.