Suasana di Nagari Sago berangsur-angsur kembali tenang setelah perdebatan sengit di balai adat mengenai penggunaan uang hasil dagang Alam dan kawan-kawannya. [Bab 17] Meskipun belum ada keputusan final yang memuaskan semua pihak, kesepakatan untuk memprioritaskan pembayaran pajak yang ada setidaknya meredakan ketegangan permukaan. Alam sendiri disibukkan dengan tugas baru dari para Ninik Mamak: memetakan titik-titik lemah di sekitar nagari dan memikirkan cara-cara sederhana untuk memperkuat pertahanan kampung, sebuah tugas yang ia kerjakan dengan keseriusan yang mendalam, seringkali berdiskusi hingga larut malam dengan Bujang yang paling mengenal seluk-beluk hutan di sekitar mereka. Harapan yang dibawa pulang dari Bukittinggi masih menyala, meski kini sedikit teredam oleh realitas tantangan internal dan ancaman yang selalu membayangi.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tepat sepuluh hari setelah kembalinya Alam, ketika mentari pagi baru saja menghangatkan lembah Nagari Sago, sebuah rombongan tak diundang datang dari arah Bukittinggi. Rombongan itu terdiri dari Demang Rustam, [Bab 15] pejabat pribumi yang menjadi tangan kanan Tuan Kontrolir van der Stel, diiringi oleh dua orang sersan Belanda bertubuh tinggi besar dengan wajah kaku dan senapan laras panjang tersampir di bahu mereka, serta beberapa juru tulis dan pembantu pribumi yang membawa gulungan kertas dan alat-alat ukur aneh. Kehadiran mereka seketika menyebarkan aura dingin dan kegelisahan di seluruh nagari.
Anak-anak yang sedang bermain di halaman langsung berlarian masuk ke rumah, para perempuan menghentikan aktivitas menumbuk padi, dan para lelaki yang baru kembali dari kebun atau hutan menatap dengan pandangan curiga dan penuh tanya. Ini bukan kunjungan biasa.
Pak Tuo Sani, didampingi oleh Bundo Sari, Pak Cik Amin, dan Ninik Mamak lainnya, segera menyambut rombongan itu di balai adat. Alam, Hasan, Bujang, dan Arip, yang kebetulan sedang berada di dekat balai adat, ikut serta, berdiri di barisan belakang dengan perasaan was-was. Wajah Demang Rustam yang datar dan tatapan mata kedua sersan Belanda yang seolah memindai setiap sudut balai adat sudah cukup menjadi pertanda buruk.
Setelah basa-basi formal yang terasa kaku dan dingin, Demang Rustam langsung menyampaikan maksud kedatangannya, suaranya yang monoton membacakan pengumuman resmi dari kantor Tuan Kontrolir Willem van der Stel.
“Berdasarkan keputusan Tuan Kontrolir yang Mulia di Bukittinggi,” Demang Rustam memulai, matanya tak berani menatap langsung para Ninik Mamak, “demi ketertiban administrasi, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan kelancaran arus perdagangan di wilayah ini, maka ditetapkan beberapa peraturan baru yang harus segera ditaati oleh seluruh nagari di bawah yurisdiksi beliau, termasuk Nagari Sago.”
Semua yang hadir di balai adat terdiam, jantung mereka berdegup lebih kencang. Alam merasakan firasat buruk yang semakin menguat.
“Pertama,” lanjut Demang Rustam, “mulai bulan depan, semua hasil bumi utama seperti kopi, lada, cengkeh, dan kayu manis dari nagari ini wajib dijual hanya kepada pos-pos perdagangan yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda. Harga jual akan ditetapkan oleh Pemerintah untuk menjamin ‘keadilan’ bagi semua pihak.”
Seketika terdengar gumaman tidak setuju dari beberapa Ninik Mamak dan warga yang ikut mendengarkan dari luar balai. Aturan ini adalah pukulan telak. Itu berarti mereka tidak lagi bebas menjual hasil panen mereka ke pasar dengan harga terbaik seperti yang baru saja dilakukan Alam. Keberhasilan ekspedisi dagang mereka seolah dinafikan begitu saja.
“Kedua,” Demang Rustam melanjutkan tanpa mempedulikan reaksi yang timbul, “akan ada penyesuaian pajak tanah dan pajak kepala. Rinciannya akan disampaikan kemudian, namun diharapkan setiap kepala keluarga dan pemilik tanah untuk mempersiapkan diri.”
Penyesuaian pajak? Itu adalah bahasa halus untuk kenaikan pajak. Wajah Pak Cik Amin tampak semakin pucat. Kekhawatirannya di rapat tempo hari [Bab 17] kini menjadi kenyataan yang menakutkan. Uang yang baru saja mereka kumpulkan dengan susah payah, yang mereka harapkan bisa memberi sedikit napas, kini terancam ludes bahkan sebelum benar-benar dimanfaatkan.
“Dan ketiga,” suara Demang Rustam terdengar lebih tegas, “untuk kepentingan pemetaan dan pendataan sumber daya alam yang lebih akurat demi kemajuan bersama, rombongan kami akan tinggal di Nagari Sago selama beberapa hari untuk melakukan survei di wilayah ini. Kami mengharapkan kerjasama penuh dari seluruh warga, termasuk penyediaan tenaga pembantu jika diperlukan.” Salah satu sersan Belanda di belakangnya menyeringai tipis, seolah menikmati ketidakberdayaan para pribumi di hadapannya.
Inilah puncak dari intrik Tuan Kontrolir yang licik itu. [Bab 15] Bukan hanya memeras secara ekonomi, tetapi juga melakukan kontrol fisik dan intelijen secara langsung di jantung nagari mereka. Tim survei ini jelas bukan hanya untuk memetakan tanah, tetapi juga untuk memetakan kekuatan, kelemahan, dan potensi perlawanan Nagari Sago.
Pak Tuo Sani, meskipun wajahnya tampak menahan amarah dan kekecewaan yang mendalam, berusaha tetap tenang. “Demang Rustam,” katanya dengan suara bergetar namun tetap menjaga wibawa, “peraturan-peraturan ini sungguh sangat memberatkan bagi kami. Nagari kami baru saja mengalami masa sulit. Kami mohon Tuan Kontrolir bisa mempertimbangkan kembali.”
Demang Rustam menggeleng pelan. “Keputusan ini sudah final, Pak Tuo. Ini adalah perintah langsung dari Tuan Kontrolir. Tugas saya hanya menyampaikan dan memastikannya ditaati. Menentang berarti menentang Pemerintah Hindia Belanda, dan akibatnya akan jauh lebih buruk.” Ancaman terselubung dalam kata-katanya begitu jelas terasa.
Alam mengepalkan tangannya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih. Amarah bergolak di dadanya. Segala jerih payah mereka, pertaruhan nyawa, harapan yang baru saja mekar, seolah direnggut begitu saja oleh kesewenang-wenangan dari orang-orang yang duduk nyaman di kursi kekuasaan mereka di Bukittinggi. Ia ingin berteriak, ingin melawan, namun ia tahu saat ini bukanlah waktu yang tepat. Tenaga mereka tidak sebanding.
Bundo Sari menatap Demang Rustam dengan pandangan sedih. “Kami ini hanya rakyat kecil, Demang. Kami hanya ingin hidup tenang di tanah leluhur kami. Mengapa selalu dipersulit seperti ini?”
Demang Rustam tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya sejenak, mungkin ada sedikit rasa malu atau bersalah yang tersisa di hatinya, atau mungkin juga tidak. Kedua sersan Belanda di belakangnya tetap tak bergeming, wajah mereka dingin dan angkuh.
Setelah menyampaikan semua “kabar baik” itu, Demang Rustam dan rombongannya meminta disediakan tempat untuk beristirahat dan memulai pekerjaan “survei” mereka keesokan harinya. Para Ninik Mamak, dengan berat hati, terpaksa menyanggupinya. Tidak ada pilihan lain.
Ketika rombongan Belanda itu telah pergi ke tempat peristirahatan yang disediakan, balai adat kembali dipenuhi oleh suara-suara putus asa dan kemarahan yang tertahan. Harapan yang baru saja dirayakan kini hancur berkeping-keping. Tuntutan Belanda yang meningkat ini datang seperti badai yang siap meluluhlantakkan Nagari Sago.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Pak Cik Amin dengan suara lirih, wajahnya penuh keputusasaan. “Uang yang kita punya bahkan mungkin tidak cukup untuk membayar tuntutan baru ini, apalagi jika mereka terus menaikkannya.”
Perpecahan yang sempat mereda di antara para tetua [Bab 17] kini terancam muncul kembali dengan lebih hebat. Sebagian mungkin akan menyalahkan Alam karena keberhasilannya justru menarik perhatian Belanda lebih besar. Sebagian lagi mungkin akan semakin yakin bahwa jalan perlawanan, sekecil apapun, harus ditempuh.
Alam berdiri mematung, menatap kosong ke arah pintu balai adat yang baru saja dilewati Demang Rustam. Beban di pundaknya terasa semakin berat. Ini bukan lagi sekadar masalah uang atau pajak. Ini adalah masalah harga diri, kedaulatan, dan masa depan nagarinya. Ia tahu, Nagari Sago kini berada di tubir jurang. Dan ia, bersama seluruh warganya, harus segera menemukan cara untuk tidak jatuh ke dalamnya. Sorak kemenangan telah benar-benar lenyap, digantikan oleh dentang lonceng tantangan yang jauh lebih besar.