Hukum Nasional Berbasis Kearifan Lokal

Krisis Identitas Hukum Nasional

Pasca proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia mewarisi sebuah sistem hukum yang pluralistik, namun didominasi oleh kerangka hukum peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak saat itu, diskursus mengenai identitas sejati sistem hukum nasional Indonesia terus bergulir tanpa henti. Ketidakpuasan terhadap keberlanjutan penerapan hukum warisan kolonial menjadi tema sentral dalam perdebatan ini. Banyak kalangan menilai bahwa sistem hukum peninggalan penjajah, yang notabene dibentuk untuk melayani kepentingan kolonialisme, tidak sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai fundamental, aspirasi, dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang merdeka dan berdaulat.1

Kritik utama yang sering mengemuka adalah karakter hukum warisan Belanda yang cenderung sekuler dan individualistik. Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek – BW) dan Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht – WvS) yang menjadi pilar utama sistem hukum warisan tersebut, dibangun di atas fondasi filsafat hukum Eropa Kontinental yang menekankan pada kepastian hukum tertulis, hak-hak individu, dan pemisahan tegas antara hukum dan moralitas atau agama.2 Karakteristik ini dianggap bertentangan secara diametral dengan jiwa Pancasila, khususnya Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menempatkan nilai-nilai religius sebagai fondasi spiritual bangsa. Selain itu, sifat individualistik hukum Barat juga dinilai berseberangan dengan karakter asli masyarakat Indonesia yang komunal, mengedepankan gotong royong, musyawarah, dan harmoni sosial.2

Lebih jauh, keberlanjutan penerapan hukum yang ‘dipinjam’ dari Belanda ini dituding telah menimbulkan berbagai dampak negatif. Sistem hukum yang asing dari akar budayanya sendiri ini dianggap telah menciptakan semacam ‘kekacauan’ dan disorientasi nilai dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu manifestasi yang paling meresahkan dari krisis ini, sebagaimana sering disuarakan, adalah munculnya fenomena kepemimpinan di berbagai tingkatan yang seolah tercerabut dari akar budayanya. Lahirnya pemimpin-pemimpin yang dianggap “tidak beradat” – yakni tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti musyawarah, kerukunan, dan tanggung jawab komunal – serta “tidak beragama” – dalam arti mengabaikan landasan moralitas spiritual dalam menjalankan amanah kepemimpinan – menjadi keprihatinan mendalam. Hilangnya pegangan pada nilai-nilai harkat, martabat, nama baik, kejujuran, dan keadilan dalam praktik kepemimpinan dan penyelenggaraan negara dilihat sebagai konsekuensi logis dari penerapan sistem hukum yang tidak berakar pada kearifan lokal dan spiritualitas bangsa.8

Krisis hukum nasional yang dihadapi Indonesia, dengan demikian, bukanlah sekadar persoalan teknis yuridis mengenai hukum mana yang seharusnya berlaku. Lebih fundamental, ia merupakan sebuah krisis identitas dan nilai. Ketidakpuasan yang meluas terhadap hukum warisan Belanda sejatinya berakar pada benturan fundamental antara sistem nilai yang diusungnya (sekuler-individualistik) dengan sistem nilai yang hidup dalam sanubari bangsa Indonesia (religius-komunal) sebagaimana terkristalisasi dalam Pancasila dan hukum adat.2 Implikasinya, solusi atas krisis ini tidak dapat ditemukan hanya dengan melakukan tambal sulam peraturan perundang-undangan semata, melainkan menuntut adanya penyesuaian mendasar pada nilai-nilai yang menjiwai hukum nasional itu sendiri.

Hukum Adat sebagai Hukum Asli Indonesia

Di tengah kegelisahan akan identitas hukum nasional, pandangan yang semakin menguat adalah perlunya kembali kepada akar hukum asli bangsa Indonesia, yaitu hukum adat (hukum adat). Hukum adat bukanlah sekadar kumpulan kebiasaan masa lalu, melainkan sebuah sistem hukum yang hidup (living law), yang telah eksis, tumbuh, dan berkembang di tengah masyarakat Nusantara jauh sebelum negara-bangsa Indonesia modern terbentuk.12 Ia merupakan hukum yang lahir dari rahim kebudayaan masyarakat setempat, mencerminkan pandangan dunia, sistem nilai, dan rasa keadilan komunitas-komunitas adat di seluruh kepulauan.

Hukum adat adalah kristalisasi dari nilai-nilai luhur, kearifan lokal (local wisdom), dan identitas budaya bangsa Indonesia yang beragam.10 Ia mengandung prinsip-prinsip pengaturan kehidupan bersama yang unik, seperti komunalitas, religiusitas, musyawarah mufakat, dan keadilan restoratif, yang terbukti mampu menjaga harmoni sosial dan keseimbangan hubungan manusia dengan alam selama berabad-abad. Oleh karena itu, rekonstruksi hukum nasional yang sesungguhnya haruslah berakar pada hukum adat. Menjadikan hukum adat sebagai fondasi dan sumber materiil utama dalam pembangunan hukum nasional diyakini akan menghasilkan sebuah sistem hukum yang otentik, berjiwa Indonesia, dan mampu mewujudkan keadilan substantif yang sesuai dengan konteks sosio-kultural masyarakat Indonesia.

Pancasila dan UUD 1945 sebagai Mandat Konstitusional

Gagasan untuk merekonstruksi hukum nasional berbasis hukum adat bukanlah sekadar romantisme historis atau aspirasi kultural semata, melainkan memiliki landasan filosofis dan yuridis yang kokoh dalam konstitusi negara. Pancasila, sebagai dasar negara (Philosophische Grondslag) dan ideologi bangsa (Staatsidee), menempati kedudukan sebagai norma dasar fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) yang berada di puncak hierarki norma hukum Indonesia.19 Secara eksplisit, peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menegaskan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara.10 Konsekuensinya, seluruh produk hukum nasional, termasuk upaya rekonstruksi hukum, harus bersumber dari, dijiwai oleh, dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kelima sila Pancasila.10

Di samping Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) juga memberikan mandat konstitusional yang jelas bagi rekonstruksi hukum nasional berbasis hukum adat. Pertama, Aturan Peralihan UUD 1945, khususnya Pasal I dan II, secara historis berfungsi sebagai jembatan hukum untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum) pada masa awal kemerdekaan dengan menyatakan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada (termasuk hukum kolonial) masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945.24 Namun, klausul “selama belum diadakan yang baru” ini sejatinya tidak dapat diartikan sebagai legitimasi untuk melestarikan hukum kolonial secara permanen. Sebaliknya, dalam semangat kemerdekaan dan pembangunan hukum nasional yang mandiri, Aturan Peralihan harus dibaca sebagai mandat aktif bagi negara untuk segera melakukan dekolonisasi hukum dan mengganti peraturan warisan penjajah dengan hukum nasional yang baru.24 Kegagalan untuk melaksanakan mandat ini secara penuh dan konsekuen selama berpuluh-puluh tahun pasca kemerdekaan dapat dipandang sebagai salah satu akar penyebab berlarut-larutnya krisis identitas hukum nasional saat ini. Kelanjutan penggunaan hukum Belanda bukanlah sekadar keadaan transisi yang wajar, melainkan dapat dianggap sebagai sebuah kelalaian konstitusional dalam menuntaskan agenda pembangunan hukum nasional sebagai bagian integral dari pembangunan karakter bangsa (nation building).

Kedua, UUD 1945 hasil amandemen secara eksplisit memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat (MHA) dan hak-hak tradisionalnya. Pasal 18B ayat (2) menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.12 Pengakuan ini diperkuat oleh Pasal 28I ayat (3) yang menjamin penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.25 Kedua pasal ini memberikan landasan konstitusional yang kuat untuk menjadikan hukum adat sebagai sumber penting dalam pembentukan hukum nasional, khususnya dalam bidang-bidang yang berkaitan langsung dengan kehidupan MHA, seperti hukum agraria.

Dengan demikian, Pancasila dan UUD 1945 secara bersama-sama menyediakan fondasi normatif dan filosofis yang kokoh bagi urgensi pelaksanaan rekonstruksi hukum nasional Indonesia dengan menjadikan hukum adat sebagai basis utamanya.