Batang Air Minangkabau Mengalir Terbalik?

Kita selalu diajari, air mengalir dari hulu ke hilir. Air berasal dari dataran tinggi, menuju dataran rendah. Logika geografi ini sudah baku, dan kita terapkan juga pada sejarah: Luhak Nan Tigo—dataran tinggi—adalah hulu, tempat segala peradaban Minangkabau dimulai.

Tapi, bagaimana jika sejarah peradaban Minang justru mengalir terbalik?

Jika Tanah Datar adalah Luhak Nan Tuo, sebagai ‘yang tertua’, kita seharusnya menemukan bukti fisik kerajaan atau peradaban kuno yang masif di sana. Apa yang kita temukan di Batusangkar? Kita menemukan replika istana yang baru dibangun tahun 1976. Peninggalan batunya kebanyakan adalah prasasti Adityawarman—tertulis sekitar abad ke-14 Masehi.

Itu adalah bukti Konsolidasi Politik. Itu bukan bukti asal-usul, apalagi yang tertua.

Sekarang, coba geser pandangan kita. Menjauhlah dari Darek (wilayah atas), menuju Rantau—ke Kampar. Kawasan yang selalu kita anggap hiliran dan “pinggiran” ini menyimpan sebuah kejutan.

Di sana berdiri tegak Candi Muara Takus.

Candi Buddha monumental itu diperkirakan berasal dari abad ke-11, bahkan abad ke-12 Masehi. Jauh lebih tua daripada Pagaruyung yang terkonsolidasi.

Ini adalah perbandingan yang tidak bisa dibantah: Candi batu besar di Rantau melawan prasasti dan replika di Darek. Bukankah aneh jika kerajaan besar tidak meninggalkan satu pun situs candi kuno di pusatnya, namun candi tersebut bertebaran di wilayah yang mereka anggap ‘pinggiran’?

Ini bukan sekadar konflik artefak. Ini konflik identitas.

Coba dengar akar kata kita sendiri: Nama Minangkabau secara akademis sering dikaitkan dengan Kampar. Ada teori Binanga Kanvar (Muara Kampar) dan yang paling menarik, Minanga Tamwan (Pertemuan Sungai), yang disebut dalam prasasti kuno abad ke-7. Nama kita ternyata ada di Kampar, bukan di Batusangkar.

Artinya, secara empiris, fondasi peradaban Minang sudah diletakkan di Kampar. Kampar adalah Hulu Kultural kita, tempat Arsitektur dan Etimologi kita bermula.

Lalu, bagaimana dengan Tanah Datar? Apakah Tambo salah?

Tidak. Tambo tidak salah, hanya perlu diinterpretasi ulang. Tanah Datar bukan Luhak Nan Tuo dalam arti kronologis, melainkan Luhak Nan Dituokan—wilayah yang dihormati, didahulukan selangkah, ditinggikan seranting. Ia adalah pusat politik tertinggi yang didirikan oleh Adityawarman untuk mengontrol jalur air dan migrasi yang datang dari Kampar.

Ini adalah sintesis yang adil. Jalur sungai Kampar adalah ‘jalan tol’ bagi leluhur kita. Itulah sebabnya sistem Matrilineal—ciri khas utama Minang—masih hidup kuat dan berurat-akar di Limo Koto Kampar. Budaya kita tidak hilang di rantau; ia hanya bermigrasi, lalu kembali dikonsolidasikan di Darek.

Sudah saatnya kita tidak takut merevisi peta sejarah. Kita harus melihat bukti fisik dan berani berkata: Kampar adalah Hulu Kultural. Tanah Datar adalah Puncak Politik. Keduanya adalah Minangkabau, yang lahir dari jalur air yang sama.

ET Hadi Saputra Katik Sati – Jakarta