Matahari baru saja memanjat sepenggalah di atas pucuk-pucuk pohon tertinggi ketika Alam dan rombongan kecilnya kembali menjejakkan kaki di jalur yang basah. Sisa-sisa hujan semalam masih menitik dari dedaunan rimbun, menciptakan melodi alam yang menenangkan sekaligus menyimpan kewaspadaan. Embun pagi yang dingin membasahi ujung celana mereka, dan udara hutan yang segar terasa menusuk hingga ke tulang sumsum. Malam pertama di bawah kanopi hutan, ditemani gemuruh hujan dan simfoni suara-suara asing yang tak teridentifikasi , telah sedikit menguji ketahanan mental mereka. Namun, bayangan akan nasib Nagari Sago yang terancam, wajah-wajah cemas para tetua dan warga yang menggantungkan harapan pada misi ini , menjadi bara api yang terus menyala dalam dada, memacu setiap langkah maju. Alam, dengan ladiang setia terselip di pinggangnya , berjalan di depan, matanya awas memindai setiap jengkal jalur di hadapan mereka.
“Hari ini, mata kita harus lebih tajam dari elang, telinga kita lebih peka dari kelinci,” ujar Alam dengan suara rendah namun tegas kepada Hasan, Bujang, dan Arip. Ia berhenti sejenak, membiarkan ketiga temannya mendekat. “Jalur ini memang dikenal sebagai lintasan para pedagang, tapi jangan pernah kita anggap remeh. Hutan ini menyimpan banyak rahasia, dan tidak semua penghuninya berniat baik. Bisa jadi mata-mata kompeni, atau yang lebih sering disebut-sebut, para penyamun yang tak segan merampas dan melukai.” Ingatan akan cerita-cerita tentang keganasan bandit hutan yang pernah didengarnya di lepau-lepau kopi berkelebat.
Bujang, yang tubuhnya paling tegap dan pembawaannya paling pendiam di antara mereka , berjalan beberapa langkah di depan Alam, bahunya yang lebar seolah menjadi perisai bagi rombongan. Tiba-tiba, ia berhenti mendadak, tubuhnya menegang. Satu tangannya terangkat, memberi isyarat agar yang lain berhenti dan diam. Matanya yang setajam mata elang menatap lekat ke arah semak belukar lebat di sisi kiri jalan setapak yang mereka lalui. Keheningan hutan seketika terasa lebih mencekam.
“Ada yang tidak beres, Lam,” bisik Bujang, suaranya nyaris tak terdengar, bercampur dengan desau angin di antara dedaunan. “Lihat itu.” Ia menunjuk dengan dagunya. “Bekas ranting yang dipatahkan. Getahnya masih basah, belum lama. Dan itu…” Ia menunjuk ke tanah yang sedikit gembur di bawah semak, “…ada jejak sepatu bot. Bukan satu, tapi beberapa. Bukan jejak kaki telanjang atau sandal kulit seperti kita, para perantau atau petani.”
Alam segera mendekat, jantungnya mulai berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia berjongkok, mengamati dengan saksama setiap detail yang ditunjukkan Bujang. Benar saja. Di tanah lembap itu, tercetak beberapa jejak sol sepatu bot yang kasar dan besar, pola alasnya asing baginya. Jejak-jejak itu mengarah masuk lebih dalam ke hutan, menjauhi jalur utama yang biasa dilalui. Di dekatnya, beberapa ranting muda tampak sengaja dipatahkan, ujungnya mengarah ke satu titik tertentu, seolah menjadi penanda atau kode rahasia bagi kelompok mereka. Ini bukan pekerjaan orang iseng.
“Ini bukan jejak pedagang biasa, juga bukan jejak pemburu dari nagari sekitar,” gumam Alam, rahangnya mengeras. Ladiang di pinggangnya seolah bergetar, mengirimkan energi waspada ke seluruh tubuhnya. “Ini pasti ulah mereka, para bandit yang disebut Engku Jamal tempo hari, yang sering mengganggu keamanan jalur ini.”
Hasan, yang meskipun kurus namun memiliki kelincahan luar biasa , wajahnya yang biasanya cerah kini tampak sepucat kain kafan. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. “Apa… apa kita akan berhadapan dengan mereka, Lam?” tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar, matanya tak lepas dari jejak-jejak yang mengancam itu.
Arip, yang biasanya tak pernah kehabisan kata-kata dan selalu siap dengan candaan untuk mencairkan suasana , kali ini terdiam seribu bahasa. Mulutnya yang biasa mengoceh kini terkatup rapat. Matanya yang biasanya jenaka kini bergerak liar, awas memandang sekeliling, mencoba menangkap setiap gerakan atau suara mencurigakan di balik lebatnya vegetasi hutan.
Alam menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Ia adalah pemimpin rombongan ini; kepanikan tidak boleh ada dalam kamusnya. Ia teringat pesan Pak Tuo Sani sebelum mereka berangkat, “Jangan gegabah, Alam. Gunakan akalmu, jangan hanya keras hatimu.” Melanjutkan perjalanan di jalur utama ini jelas sangat berisiko; bisa jadi mereka akan langsung masuk ke dalam perangkap yang telah disiapkan. Namun, memutar melalui hutan belantara tanpa jalur yang jelas juga bukan tanpa bahaya. Selain memakan waktu lebih lama, risiko tersesat atau bertemu binatang buas juga lebih besar.
“Kita tidak akan mencari masalah dengan siapapun,” kata Alam akhirnya, suaranya kembali tegas dan penuh keyakinan, menatap satu per satu wajah sahabatnya. “Tujuan kita adalah Bukittinggi, membawa hasil untuk nagari. Tapi, kita juga tidak akan lari seperti kancil yang dikejar anjing hutan. Kita akan tunjukkan bahwa anak Nagari Sago tidak gentar.” Ia berhenti sejenak, otaknya bekerja cepat merumuskan rencana. “Kita akan sedikit menyimpang dari jalur utama ini. Kita cari jalan setapak lain, mungkin jalur lama yang sudah jarang dilalui, yang lebih tersembunyi. Bujang, kau yang paling sering keluar masuk hutan mencari kayu atau berburu, kau pasti lebih tahu seluk-beluk rimba ini. Pimpin jalan. Arip, kau awasi bagian belakang, pastikan tidak ada yang mengikuti kita. Hasan, tetaplah dekat denganku, matamu yang awas akan sangat berguna.”
Dengan kesepakatan tanpa kata, mereka mulai bergerak lebih pelan dan jauh lebih hati-hati dari sebelumnya. Bujang memimpin, menebas sesekali sulur-sulur yang menghalangi dengan parangnya, sementara matanya tak henti mengamati tanda-tanda alam. Mereka menyusuri lereng bukit yang agak curam, di mana pepohonan tumbuh lebih rapat dan sinar matahari sulit menembus. Setiap suara gemerisik daun kering yang terinjak atau patahan ranting kecil di kejauhan membuat jantung mereka serasa berhenti berdetak sejenak. Alam merasakan ada sesuatu yang lain di udara, bukan hanya ancaman fisik dari para bandit yang mungkin mengintai. Ada semacam energi purba yang terasa mengawasi dari kedalaman hutan, membuatnya teringat cerita-cerita lama dari Bundo Sari tentang Inyiak Balang, sang harimau penjaga hutan, atau bisikan tentang Orang Bunian yang menghuni tempat-tempat sunyi. Apakah ini hanya perasaannya yang terlalu tegang, atau memang ada kekuatan lain yang tak kasat mata yang turut menjadi saksi perjalanan mereka? Hutan ini terasa semakin hidup, semakin misterius.
Setelah hampir satu jam berjalan dalam keheningan yang mencekam, hanya terpecah oleh deru napas mereka sendiri dan suara langkah kaki yang hati-hati, mereka akhirnya menemukan sebuah jalur kecil yang tampak sangat jarang dilalui. Rumput liar tumbuh menutupi sebagian besar permukaannya, namun masih terlihat bekas-bekas pijakan samar. Jejak-jejak sepatu bot para bandit tadi sudah tidak terlihat lagi. Alam memutuskan untuk mengikuti jalur tersembunyi ini, berharap ini adalah keputusan yang tepat untuk menghindari pertemuan yang tidak diinginkan dan membawa mereka selangkah lebih dekat menuju tujuan. Tekadnya untuk berhasil membawa uang bagi Nagari Sago , untuk membuktikan bahwa ia mampu mengemban amanah ini, semakin membaja, meski kini dibayangi oleh ancaman yang lebih nyata dan misteri hutan yang semakin pekat.