Bab 20: Aisyah dan Kekuatan Tersembunyi

Hari-hari di Nagari Sago bergulir dalam selubung kecemasan yang kian pekat. Kehadiran tim survei Demang Rustam dan dua sersan Belanda [Bab 18] bagaikan duri dalam daging, menggores luka baru setiap harinya pada harga diri dan ketenangan warga. Suara-suara sumbang yang menyalahkan Alam dan menyebarkan keputusasaan [Bab 19] terus berdengung, memecah belah persatuan yang baru seumur jagung. Alam, meski berusaha tegar dan terus memikirkan cara melindungi nagarinya, tampak semakin tertekan dan terisolasi. Ia sering terlihat menyendiri di tepi hutan, memandang jauh ke arah Gunung Sago, raut wajahnya mengeras menahan beban yang tak terucapkan.

Aisyah mengamati semua ini dengan hati yang pilu. Dari balik dinding bilik rumah gadangnya, atau ketika ia bersama perempuan-perempuan lain mengambil air di pancuran yang kini dijaga dengan lebih ketat setelah insiden penghinaan di mata air keramat, ia mendengar semua keluh kesah, ketakutan, dan tudingan-tudingan tak berdasar yang ditujukan kepada Alam. Ia melihat bagaimana para lelaki, yang seharusnya menjadi tiang nagari, kini banyak yang kehilangan arah, terombang-ambing antara amarah yang tak tersalurkan dan kepasrahan yang mematikan semangat. [Bab 19]

Aisyah, yang dikenal sebagai gadis pendiam dengan mata yang cerdas dan senyum yang menenangkan, [Bab 1] menyimpan kegelisahan yang mendalam. Ia bukan tipe orang yang akan berkoar-koar di depan umum, namun otaknya terus bekerja, menganalisis situasi, mencari celah, sekecil apapun, untuk bisa berbuat sesuatu. Ia teringat bagaimana ibunya, dan para bundo di rumah gadang mereka, selalu mengajarkan bahwa perempuan Minang memiliki peran penting dalam menjaga marwah dan keutuhan adat serta nagari, bukan hanya di dalam rumah, tetapi juga dengan kearifan dan ketegasan yang tersembunyi. Bundo Kanduang, sosok perempuan agung dalam tambo alam Minangkabau, adalah teladan kekuatan itu.

Suatu sore, ketika Aisyah sedang membantu ibunya menumbuk padi di halaman belakang, ia mendengar percakapan sengit antara beberapa pemuda yang baru kembali dari lepau. Mereka adalah bagian dari kelompok yang mulai menyalahkan Alam atas kemalangan yang menimpa nagari.

“Sudah kubilang, gara-gara si Alam itu sok pahlawan, Belanda jadi semakin memperhatikan kita!” kata salah seorang pemuda dengan nada tinggi. “Sekarang, tanah kita diukur-ukur, hasil panen mau dirampas semua. Lebih baik dulu kita diam-diam saja!”

“Benar! Uang yang dia bawa itu seperti membawa sial!” timpal yang lain.

Aisyah menghentikan alunya. Darahnya sedikit mendidih mendengar ketidakadilan itu. Alam telah mempertaruhkan nyawanya, dan beginikah balasan yang ia terima? Tanpa banyak berpikir, ia melangkah mendekati para pemuda itu, ibunya sempat memanggil namanya dengan cemas, namun Aisyah terus berjalan.

“Permisi, Uda-Uda sekalian,” Aisyah memulai dengan suara lembut namun terdengar begitu jelas, membuat para pemuda itu terkejut dan terdiam. Mereka tak menyangka seorang gadis akan ikut campur dalam perbincangan mereka. “Saya tidak sengaja mendengar percakapan Uda-Uda. Bolehkah saya bertanya sesuatu?”

Para pemuda itu saling pandang, sedikit salah tingkah. “A… apa yang mau kau tanyakan, Aisyah?” jawab salah seorang dari mereka, sedikit gugup.

“Menurut Uda-Uda,” lanjut Aisyah, matanya menatap mereka satu per satu dengan tatapan yang tak gentar, “jika Alam tidak pergi ke Bukittinggi dan tidak membawa pulang uang itu, apakah Belanda akan diam saja dan tidak menaikkan tuntutan mereka? Apakah Tuan Kontrolir yang baru itu akan membatalkan semua rencananya hanya karena Nagari Sago tidak punya uang untuk membayar pajak?”

Pertanyaan itu telak. Para pemuda itu terdiam, tak bisa langsung menjawab. Logika Aisyah yang sederhana namun tajam mematahkan argumen dangkal mereka.

“Belanda datang ke negeri kita bukan karena Alam, Uda,” kata Aisyah lagi, suaranya kini mengandung getaran emosi yang tertahan. “Mereka datang karena keserakahan mereka akan hasil bumi kita, karena keinginan mereka untuk menguasai setiap jengkal tanah leluhur kita. Alam dan kawan-kawannya telah menunjukkan keberanian untuk tidak menyerah begitu saja. Mereka telah memberi kita sedikit waktu, sedikit kekuatan untuk bernapas. Apakah sekarang kita akan menyia-nyiakan pengorbanan mereka dengan saling menyalahkan dan menebar ketakutan?”

Kata-kata Aisyah, meskipun diucapkan dengan lembut, memiliki kekuatan yang tak terduga. Para pemuda yang tadi begitu bersemangat menyalahkan Alam kini menundukkan kepala, sebagian tampak malu, sebagian lagi merenung. Ini bukan hanya teguran, tetapi sebuah tamparan kesadaran.

Salah seorang dari mereka, yang tadi paling vokal, akhirnya angkat bicara dengan suara pelan, “Tapi… apa yang bisa kita perbuat, Aisyah? Kita ini rakyat kecil. Melawan Belanda sama saja dengan bunuh diri.”

“Saya tidak tahu apa yang bisa kita perbuat untuk melawan senjata mereka, Uda,” jawab Aisyah. “Tapi saya tahu, hal pertama yang tidak boleh kita lakukan adalah membiarkan mereka memecah belah kita dari dalam. Jika kita sendiri saling curiga dan saling menyalahkan, maka pekerjaan Belanda akan semakin mudah.” Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. “Mungkin kita tidak bisa mengangkat senjata, tapi kita bisa menjaga semangat kita agar tidak padam. Kita bisa saling mendukung, saling menguatkan. Para perempuan bisa memastikan dapur tetap mengepul agar para lelaki punya tenaga untuk berpikir dan bekerja. Kita bisa mengajarkan anak-anak kita untuk mencintai nagari ini dan tidak pernah melupakan adat istiadat kita. Itu juga bentuk perlawanan, bukan?”

Kekuatan tersembunyi Aisyah bukanlah ilmu kanuragan atau kesaktian gaib. Kekuatannya terletak pada kejernihan pikirannya, keberanian moralnya untuk menyuarakan kebenaran di saat yang tepat, dan kemampuannya untuk menyentuh hati orang lain dengan kata-kata yang tulus dan penuh makna. Ia tidak berteriak atau marah, namun pesannya sampai dengan begitu kuat.

Para pemuda itu akhirnya bubar dengan perasaan campur aduk. Kata-kata Aisyah terus terngiang di telinga mereka. Beberapa dari mereka mulai merasa malu atas sikap mereka sebelumnya. Kabar tentang keberanian Aisyah berbicara kepada para pemuda itu dengan cepat menyebar di kalangan perempuan nagari, dan dari sana, merambat ke telinga para lelaki lainnya. Ada yang mencibir, menganggap Aisyah terlalu ikut campur urusan lelaki. Namun, lebih banyak yang diam-diam mengagumi dan merenungkan kata-katanya.

Malam itu, Aisyah memberanikan diri menemui Alam yang sedang duduk termenung sendirian di bawah pohon beringin di tepi kampung, tak jauh dari surau. Ia membawakan sebungkus nasi hangat dan sepotong ikan bakar, sama seperti yang pernah ia lakukan sebelum Alam berangkat ke Bukittinggi. [Bab 4]

“Makanlah, Lam. Kau tampak sangat lelah,” kata Aisyah pelan, meletakkan bungkusan itu di samping Alam.

Alam terkejut melihat kedatangan Aisyah. “Aisyah? Apa yang kau lakukan di sini malam-malam?”

“Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja,” jawab Aisyah, duduk menjaga jarak yang sopan. “Aku dengar… aku dengar banyak hal yang tidak mengenakkan tentangmu akhir-akhir ini.”

Alam tersenyum pahit. “Biarlah, Syah. Mungkin memang benar apa kata mereka. Mungkin aku hanya membawa masalah bagi nagari ini.”

“Jangan berkata begitu, Lam!” potong Aisyah cepat, suaranya terdengar tegas. “Kau telah melakukan apa yang tidak berani dilakukan oleh banyak orang. Kau telah memberi kami harapan. Jangan biarkan kata-kata mereka yang diliputi ketakutan memadamkan semangatmu.”

Aisyah kemudian menceritakan tentang pertemuannya dengan para pemuda tadi sore, dan apa yang ia katakan kepada mereka. Alam mendengarkan dengan takjub. Ia tak menyangka Aisyah, gadis yang ia kenal lembut itu, memiliki keberanian dan kearifan seperti itu.

“Kau… kau mengatakan semua itu kepada mereka?” tanya Alam, ada nada kekaguman dalam suaranya.

Aisyah mengangguk. “Aku hanya mengatakan apa yang kurasa benar, Lam. Sama seperti kau yang selalu melakukan apa yang kau rasa benar, meskipun terkadang terlihat keras kepala.” Ada senyum kecil di bibir Aisyah saat mengucapkan kalimat terakhir.

Percakapan mereka malam itu, di bawah temaram cahaya bulan dan bisikan angin malam, menjadi sumber kekuatan baru bagi Alam. Ia merasa tidak lagi sendirian. Ada orang lain yang memahami perjuangannya, yang percaya padanya. Aisyah, dengan caranya sendiri, telah menunjukkan bahwa kekuatan tidak selalu berarti otot atau senjata, tetapi juga kejernihan hati, keberanian untuk bersuara, dan keteguhan untuk membela apa yang benar.

Keesokan harinya, ada sesuatu yang sedikit berubah di Nagari Sago. Bisik-bisik menyalahkan Alam memang tidak sepenuhnya hilang, tetapi kini mulai diimbangi oleh suara-suara lain yang menyerukan persatuan dan ketabahan, suara-suara yang terinspirasi oleh keberanian Aisyah. Beberapa pemuda yang kemarin ditegur Aisyah bahkan datang menemui Alam, meminta maaf atas kesalahpahaman mereka dan menawarkan bantuan jika Alam membutuhkan.

Bibit perpecahan itu belum mati, tetapi setidaknya pertumbuhannya sedikit terhambat. Aisyah, dengan kekuatan tersembunyinya, telah menyalakan kembali secercah lilin di tengah kegelapan yang menyelimuti Nagari Sago. Dan lilin itu, sekecil apapun cahayanya, memberi harapan bahwa mereka masih bisa melewati badai ini bersama-sama. Alam tahu, ia kini memiliki sekutu baru yang tak ternilai harganya, sekutu yang kekuatannya bukan berasal dari ladiang, melainkan dari hati dan pikiran yang jernih.