Kelegaan yang dirasakan Alam dan ketiga sahabatnya setelah berhasil menjual semua barang dagangan kepada Haji Saleh terasa begitu nyata, bagaikan beban berat yang akhirnya terangkat dari pundak mereka. Uang hasil penjualan, berupa keping-keping perak dan beberapa gulden Belanda yang tersimpan aman dalam kantung kulit yang kini dijaga Alam dengan nyawanya, adalah buah dari kerja keras, keberanian, dan air mata mereka. Senyum akhirnya terkembang di wajah Hasan dan Arip, bahkan Bujang yang pendiam pun terlihat sedikit lebih santai. Untuk sesaat, mereka melupakan kelelahan dan ketegangan yang telah menemani perjalanan mereka.
“Kita berhasil, Lam! Kita berhasil!” seru Arip gembira, menepuk-nepuk bahu Alam. “Uang ini akan sangat berarti untuk Nagari Sago!”
“Alhamdulillah,” sahut Alam, senyum tipis terukir di bibirnya. “Tapi perjuangan kita belum selesai. Uang ini harus sampai dengan selamat ke tangan Pak Tuo Sani.”
Mereka memutuskan untuk beristirahat satu malam lagi di Bukittinggi, memulihkan tenaga sebelum menempuh perjalanan pulang yang juga tak kalah berat. Mereka juga perlu membeli beberapa perbekalan penting untuk di jalan, seperti garam, sedikit beras, dan obat-obatan sederhana. Uang yang mereka miliki kini menjadi fokus utama. Alam menyimpannya dengan sangat hati-hati, melilitkan kantung kulit itu di pinggangnya, tersembunyi di balik bajunya yang longgar. Ladiangnya [3] tetap setia di sisinya, kini bukan hanya sebagai senjata, tetapi juga sebagai penjaga amanah nagari.
Sore itu, setelah makan dengan sedikit lebih baik dari hari-hari sebelumnya, mereka berjalan-jalan sebentar di sekitar pasar, mencoba menyerap suasana kota dagang itu tanpa tekanan harus menjual barang. Namun, Bukittinggi yang tadinya hanya medan pertempuran ekonomi, kini mulai menunjukkan wajah lain. Dengan kantung berisi uang, setiap tatapan mata dari orang asing terasa berbeda, setiap keramaian seolah menyimpan potensi bahaya. Nasihat Haji Saleh tentang kota yang “keras” dan banyaknya orang yang mencari kesempatan dalam kesempitan [Bab 12] kembali terngiang di benak Alam.
Saat mereka melewati sebuah lorong pasar yang lebih sepi, di antara gudang-gudang barang dan lepau-lepau yang sudah mulai tutup, Alam merasakan ada yang tidak beres. Beberapa pasang mata dari sekelompok lelaki yang duduk-duduk di ujung lorong tampak mengawasi mereka dengan intensitas yang janggal. Mereka berpenampilan sangar, dengan parang terselip di pinggang dan wajah-wajah yang tak ramah. Alam mencoba bersikap biasa, namun instingnya yang tajam—”keras hatinya” [1] yang seringkali membuatnya peka terhadap bahaya—memberi sinyal peringatan.
“Jangan menoleh, terus berjalan seperti biasa,” bisik Alam pelan kepada teman-temannya. “Aku merasa kita sedang diperhatikan.”
Hasan, yang berjalan di sampingnya, langsung terlihat tegang. “Diperhatikan bagaimana, Lam?”
“Aku belum yakin, tapi firasatku tidak enak,” jawab Alam. “Arip, jangan banyak bicara atau melihat ke arah mereka. Bujang, tetap di belakangku, awasi sekeliling.”
Mereka mempercepat langkah, berusaha segera keluar dari lorong sempit itu. Namun, dua orang dari kelompok tadi bangkit dan mulai mengikuti mereka dari kejauhan, langkah mereka santai namun penuh perhitungan. Alam bisa merasakannya tanpa harus menoleh. Jantungnya mulai berdegup lebih kencang. Ancaman di hutan terasa berbeda; di sana musuhnya adalah alam liar atau bandit yang beroperasi secara terang-terangan. Di sini, di tengah keramaian kota, ancaman itu lebih licik, lebih tersembunyi.
Mereka berhasil mencapai jalan utama yang lebih ramai, berharap para penguntit itu akan menyerah. Namun, saat Arip tanpa sengaja menoleh ke belakang, ia melihat kedua orang itu masih ada, kini bahkan lebih dekat, seolah menunggu kesempatan yang tepat.
“Mereka masih mengikuti kita, Lam!” kata Arip dengan suara tertahan, panik mulai menjalari dirinya.
Alam menggertakkan rahangnya. Ia tidak mau memulai perkelahian di tengah kota, apalagi kini mereka membawa uang yang sangat penting. Tapi ia juga tidak akan membiarkan mereka menjadi mangsa empuk. “Kita masuk ke keramaian, cari tempat yang banyak orang. Jangan sampai kita terpisah.”
Mereka mencoba berbaur dengan arus manusia yang lalu lalang, berbelok di antara para pedagang kaki lima dan pembeli yang hilir mudik. Namun, para penguntit itu tampak lihai, mereka terus menjaga jarak, tak pernah benar-benar kehilangan jejak. Alam mulai berpikir cepat, mencari jalan keluar. Haruskah mereka meminta bantuan kepada patroli Belanda yang sesekali lewat? Ide itu langsung ia tepis. Berurusan dengan serdadu kompeni bisa jadi lebih merepotkan, apalagi jika mereka tahu Alam membawa sejumlah uang. Bisa-bisa uang itu malah dirampas dengan dalih macam-macam.
Tiba-tiba, saat mereka melewati sebuah kedai minuman yang ramai, salah seorang penguntit itu bergerak cepat dari samping, tangannya berusaha meraih kantung uang yang tersembunyi di pinggang Alam. Gerakannya begitu tiba-tiba, nyaris tak terlihat.
Namun, Alam yang selalu waspada, ditambah firasat buruk yang ia rasakan sejak tadi, berhasil menghindar sepersekian detik. Tangan lelaki itu hanya mengenai udara kosong. Seketika suasana menjadi tegang. Lelaki itu, terkejut karena aksinya gagal, mencoba meraih lagi.
“Kurang ajar!” seru Alam. Refleks, tangannya bergerak ke arah ladiang, siap mencabutnya.
Bujang, yang berada tepat di belakang Alam, bereaksi lebih cepat. Tanpa banyak bicara, tubuhnya yang besar menghantam lelaki itu dengan keras, membuatnya terhuyung dan jatuh menabrak beberapa kursi di kedai. Teman si pencopet yang satu lagi, melihat rekannya jatuh, langsung mengeluarkan sebilah pisau kecil dari balik bajunya, matanya menyiratkan kemarahan.
“Celaka!” pekik Hasan, mundur beberapa langkah.
Situasi menjadi kacau. Beberapa pengunjung kedai berteriak kaget. Arip, meskipun takut, berusaha menarik Alam dan Hasan menjauh dari jangkauan pisau.
“Jangan cari gara-gara!” bentak Alam kepada lelaki berpisa itu, suaranya bergetar karena amarah dan adrenalin. “Kami tidak mau masalah, tapi jangan paksa kami!”
Lelaki berpisa itu ragu sejenak, melihat Bujang yang berdiri mengancam dan Alam yang tangannya sudah siap di gagang ladiang. Ia juga melihat kerumunan orang yang mulai memperhatikan. Mungkin ia sadar, melanjutkan perkelahian di tempat seramai ini terlalu berisiko.
Dengan satu umpatan kasar, ia membantu temannya yang masih mengerang kesakitan untuk bangkit. “Kalian akan menyesal!” ancamnya, sebelum keduanya menghilang cepat di antara kerumunan pasar, meninggalkan Alam dan kawan-kawannya yang masih mengatur napas.
Pemilik kedai dan beberapa orang menghampiri mereka, bertanya apa yang terjadi. Alam hanya menjelaskan singkat bahwa ada yang mencoba mencopet mereka. Untungnya, tidak ada yang terluka parah, hanya beberapa memar di tubuh si pencopet yang dihantam Bujang.
Kejadian itu menjadi peringatan keras bagi Alam. Bukittinggi memang bukan tempat yang aman bagi mereka, terutama sekarang ketika mereka membawa uang. Ancaman tidak hanya datang dari hutan, tetapi juga dari sesama manusia di tengah keramaian kota.
“Kita harus segera meninggalkan kota ini,” kata Alam dengan suara tegas setelah suasana sedikit tenang. “Malam ini juga kalau perlu. Semakin lama kita di sini, semakin besar bahaya yang mengintai.”
Hasan dan Arip mengangguk setuju, wajah mereka masih pucat pasi. Bujang hanya menatap Alam, seolah menunggu perintah selanjutnya.
“Kita beli perbekalan secukupnya, lalu kita cari jalan keluar dari kota ini sebelum gelap. Kita tidak akan bermalam lagi di sini,” lanjut Alam. “Dan mulai sekarang, kita harus seratus kali lebih waspada. Uang ini harus sampai ke Nagari Sago, apa pun risikonya.”
Ancaman baru di kota dagang itu telah menguji mereka dengan cara yang berbeda. Bukan kekuatan fisik di alam liar, melainkan kelicikan dan niat jahat yang tersembunyi di balik topeng keramahan kota. Alam sadar, perjalanan pulang mereka akan dipenuhi dengan kewaspadaan tingkat tinggi, karena kini mereka bukan hanya membawa harapan, tetapi juga target yang menggiurkan bagi mata-mata jahat.