Bab 2: Bisikan Perubahan

Pusat Dokumentasi dan Informasi Padang Panjang ET Hadi Saputra

Matahari sudah naik tinggi di langit Nagari Sago, membakar sawah-sawah yang hijau dan membuat bayangan pohon beringin di tengah kampung jadi pendek. Angin pagi yang sepoi-sepoi tadi kini berganti panas, membawa bau tanah kering dan rumput yang baru dipotong. Alam duduk di bawah pohon kelapa dekat gubuknya, tangannya memainkan ladiang yang disandarkan di samping. Baju destarnya yang hitam sudah sedikit basah oleh keringat, tapi dia tak peduli. Pikirannya masih penuh dengan apa yang dikatakan Pak Tuo Sani tadi—tentang Belanda, pajak, dan nagari yang makin terjepit.

Tiba-tiba, suara langkah cepat mendekat. Alam menoleh, matanya menyipit melihat siapa yang datang. Itu Hasan, temen kecilnya yang badannya kurus tapi lincah seperti kucing. Hasan pakai baju destar cokelat yang agak kepanjangan, celana galembongnya penuh debu, dan wajahnya pucat seperti habis lari jauh.

“Alam! Kau dengar belum?” tanya Hasan, napasnya tersengal. Dia berhenti di depan Alam, tangannya bertumpu di lutut.

“Dengar apa? Kau lari dari mana, macam dikejar harimau?” balas Alam, setengah bercanda. Dia berdiri, menyandarkan ladiang ke pohon kelapa, dan menatap Hasan dengan alis terangkat.

Hasan menarik napas dalam-dalam, lalu bicara cepat. “Dari pasar di Bukiktinggi. Aku ikut Engku Jamal tadi pagi, bantu angkut beras. Di sana ramai orang cerita—katanya Belanda mau naikkan pajak lagi. Bukan cuma beras, tapi tanah juga! Ada yang bilang, nagari-nagari kecil macam kita bakal dipaksa serahkan sawah kalau tak bisa bayar.”

Alam diam sejenak, matanya menajam. Dia ingat kata-kata Pak Tuo Sani tadi, tapi mendengarnya dari Hasan—langsung dari pasar—bikin perutnya mendadak panas. “Iyo kau bilang begitu? Siapa yang cerita?”

“Banyak orang, Alam! Pedagang, petani, sampe tukang kopi di warung. Katanya, ada utusan Belanda datang ke kantor controleur kemarin, bawa kertas-kertas sama tentara. Mereka bilang, nagari yang tak patuh bakal diambil tanahnya,” jawab Hasan, suaranya penuh gelisah.

Alam mendengus, tangannya tanpa sadar mencengkeram gagang ladiang. “Belanda itu macam lintah. Nyedot darah kita sampe kering, terus buang kita macam sampah. Apa mereka pikir kita tak punya nyali lawan?”

Hasan cuma mengangkat bahu, wajahnya masih tegang. “Aku tak tahu, Alam. Tapi orang-orang di pasar takut. Ada yang bilang, nagari sebelah, di Limo Kaum, sudah mulai susah bayar pajak. Sawah mereka kurang panen tahun ini, terus Belanda tak mau tahu.”

Alam melangkah mondar-mandir di depan gubuknya, pikirannya berputar cepat. Dia bukan orang yang suka diam kalau ada masalah, tapi kali ini dia tahu nagari tak bisa sembarangan lawan Belanda. Mereka punya senjata api, tentara, dan kekuasaan yang tak dimiliki petani macam dia. Tapi menyerah? Itu tak pernah ada dalam kepalanya.

“Hasan, kau bilang Engku Jamal tahu ini?” tanya Alam, berhenti melangkah dan menatap temennya.

“Engku Jamal yang cerita duluan! Dia bilang, kita harus siap-siap. Katanya, ninik mamak di nagari mesti rapat cepet,” jawab Hasan.

Alam mengangguk pelan. “Baiklah. Aku ke tengah nagari, lihat apa yang ninik mamak bilang. Kau ikut, atau nak balik ke rumah?”

Hasan ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Aku ikut. Ini soal nagari kita juga.”

Keduanya berjalan cepat menuju pohon beringin, tempat para ninik mamak biasa berkumpul. Di jalan, Alam lihat warga mulai bergerombol kecil-kecil, bisik-bisik dengan wajah cemas. Ada yang bawa cangkul, ada yang cuma duduk di tepi sawah sambil pandang kosong. Berita dari Hasan ternyata sudah menyebar, entah dari mana asalnya. Nagari Sago yang biasanya tenang kini terasa bergetar, seperti ada badai yang diam-diam mendekat.

Sampai di bawah pohon beringin, Alam lihat Pak Tuo Sani dan Pak Cik Amin masih di sana, tapi kali ini ada tambahan wajah—Bundo Sari, nenek tua yang terkenal cerewet tapi disegani karena bijaksana. Mereka duduk melingkar, wajah mereka penuh kerut dan ketegangan. Alam memberi salam, Hasan ikut di belakangnya.

“Assalamualaikum, Pak Tuo, Pak Cik, Bundo Sari,” sapa Alam, suaranya tegas tapi hormat.

“Waalaikumsalam, Alam,” jawab Pak Tuo Sani, matanya menatap Alam dengan penuh tanya. “Kau ke sini lagi, ada apa?”

“Saya dengar dari Hasan, Pak Tuo. Katanya Belanda mau naikkan pajak, sampe tanah kita juga diambil kalau tak bayar. Iyo tak?” tanya Alam langsung, tak suka berbelit-belit.

Bundo Sari mendengus, tangannya memilin daun sirih. “Iyo, nak. Berita itu sampai ke sini sejam lalu. Engku Jamal yang bawa kabar dari pasar. Katanya, Belanda tak main-main kali ini. Mereka mau kita serahkan hasil sawah lebih banyak, plus pajak tanah yang tak masuk akal.”

“Kalau kita tak bayar, apa yang mereka buat?” tanya Alam, nada suaranya mulai naik.

Pak Cik Amin menjawab, suaranya berat. “Mereka ambil tanah kita, Alam. Sawah, kebun, sampe rumah gadang kalau perlu. Itu yang mereka lakukan di nagari lain. Katanya, tanah itu jadi milik pemerintah mereka.”

Alam mengepalkan tangan, darahnya terasa mendidih. “Jadi kita cuma diam, Pak Cik? Biar mereka rampas apa yang kita punya?”

“Tak ada yang bilang diam, Alam,” potong Pak Tuo Sani, suaranya tenang tapi tegas. “Tapi kita tak bisa gegabah. Belanda punya kekuatan besar. Kita harus pikir cara yang cerdas.”

“Cerdas macam apa, Pak Tuo? Kita petani, bukan tentara. Tapi kalau kita tak lawan, nagari ini habis,” balas Alam, matanya penuh api.

Bundo Sari tiba-tiba tertawa kecil, suaranya serak tapi penuh makna. “Kau ini, Alam. kerasnya tak hilang, tapi hati kau besar. Mungkin kita butuh nak macam kau. Tapi dengar dulu—besok kita rapat besar di balai adat. Semua warga harus tahu, baru kita putuskan langkah.”

Alam mengangguk, meski hatinya masih gelisah. Dia tahu rapat itu penting, tapi baginya, menunggu terasa seperti buang waktu. Dia pandang Hasan, yang cuma diam di sampingnya, lalu ke arah sawah yang membentang hijau di kejauhan. Itu tanah leluhurnya, tanah yang dulu dijaga ibu dan ayahnya sebelum mereka pergi. Dia tak akan biarkan Belanda ambil itu darinya—tak akan pernah.

“Besok aku datang, Pak Tuo. Tapi kalau rapat cuma omong kosong, jangan harap aku diam,” kata Alam, lalu berbalik pergi tanpa menunggu jawaban. Hasan buru-buru ikut, langkahnya cepat mengejar.

Di belakang, para ninik mamak cuma saling pandang. Pak Tuo Sani menghela napas, tapi ada sedikit harapan di matanya. “Nak itu liar, tapi mungkin dia yang kita cari,” gumamnya pelan.

Sore itu, angin di Nagari Sago bertiup lebih dingin, membawa bisikan perubahan yang tak bisa dihindari. Alam duduk lagi di depan gubuknya, ladiang di tangan, matanya menatap langit yang mulai merah. Dia tahu, apa pun yang terjadi besok, hidupnya tak akan sama lagi.