Bab 7: Hutan dan Hujan

Pusat Dokumentasi dan Informasi Padang Panjang ET Hadi Saputra

Hari kedua perjalanan Alam dan anak bujang ke Bukiktinggi dimulai dengan dinginnya pagi di tepi hutan. Kabut tebal menyelimuti pohon-pohon tinggi, bikin udara lembap dan berat. Alam bangun lebih dulu, rasakan kedinginan masuk ke tulang meski api kecil dari malam tadi masih menyisakan bara. Dia ambil air dari sungai dekat tempat mereka istirahat, wudu dengan tangan gemetar, lalu panggil anak bujang lain. Azan Subuh tak terdengar di sini, tapi dia tahu waktunya dari langit yang mulai kelabu. Mereka sholat di atas batu besar yang datar, tikar kecil dari Hasan jadi alas, dan Alam pimpin sholat dengan suara pelan tapi tegas.

Selesai sholat, mereka duduk melingkar, pandang kerbau yang masih diam, napasnya keluar jadi uap di udara dingin. “Hari ini kita masuk hutan lebih dalam,” kata Alam, suaranya penuh tekad. “Jalan bakal lebih susah, tapi kita tak boleh lambat. Bukiktinggi masih dua hari lagi.”

Hasan memandang ke bawah, tangannya pegang ladiang kecil. “Alam, aku rasa hujan bakal datang. Langit tak cerah dari tadi.”

Alam pandang ke atas, lihat awan hitam yang mulai menggumpal. Dia ingat kata pencari kayu kemarin—hati-hati kalau hujan, jalan licin, banjir kecil bisa datang. “Iyo, Hasan. Kita harus cepat sebelum hujan turun. Bujang, kau sama Malin Rajo pastikan tali kerbau kuat. Arip, Malin Kaciak, cek barang—jangan sampe basah.”

Mereka bergerak cepat, ikat ulang karung beras dan kayu manis dengan daun pisang yang dibawa dari nagari. Arip ngomel pelan, “Ini kerja buat kerbau, bukan aku,” tapi tangannya tetap lincah bantu Malin Kaciak. Selesai, mereka lanjut jalan, langkah kerbau berderit di tanah yang mulai lembek.

Hutan makin lebat, pohon-pohon besar berdiri rapat, akar-akarnya melintang di jalan setapak. Sinar matahari susah tembus, bikin suasana gelap meski masih pagi. Alam pimpin di depan, ladiang di tangan, matanya awasi setiap sudut. Hasan ikut di samping, wajahnya tegang. “Alam, kau dengar tak? Suara air dari jauh.”

Alam berhenti, angkat tangan suruh semua diam. Benar, ada suara gemericik samar, tapi bukan sungai kecil seperti kemarin—ini lebih keras, lebih liar. “Itu sungai besar,” gumam Alam. “Kita cari jalan lain kalau bisa. Banjir kecil yang Uda bilang mungkin dari situ.”

Mereka belok ke kiri, ikut jejak pedagang lama yang lebih tinggi dari sungai. Tapi tanah di sini licin, penuh lumut dan daun basah. Kerbau melangkah lambat, kakinya sesekali tergelincir. Bujang tarik tali kuat-kuat, pastikan binatang itu tak jatuh. “Alam, ini susah. Kerbau tak biasa jalan macam ini,” katanya, suaranya berat.

“Sabah, Bujang. Kita tak ada pilihan,” jawab Alam, bantu dorong kerbau dari belakang. Keringat mulai membasahi baju destarnya, meski udara dingin.

Saat matahari naik tinggi, azan Zuhur tak terdengar, tapi Alam tahu waktunya. Mereka berhenti di bawah pohon besar, ambil air dari bambu yang dibawa Aisyah, wudu, lalu sholat di atas batu kecil yang kering. Selesai sholat, mereka makan rendang kering dan lemang, duduk di akar pohon sambil istirahat. Arip buka mulut, “Alam, kalau hujan turun, apa kita bisa lanjut?”

Alam pandang awan yang makin hitam. “Kita coba sampe sore. Kalau hujan terlalu deras, kita cari tempat berteduh. Nasihat Tuan Pak Tuo aku pegang—‘nan bulek dilampokkan.’ Kita harus cerdas.”

Tapi langit tak kasih mereka waktu lama. Belum selesai makan, tetes air mulai jatuh, pelan dulu, lalu deras dalam sekejap. Hujan turun macam air bah, bikin jalan setapak jadi sungai kecil. Alam teriak, “Cepat, tarik kerbau ke atas! Cari tempat tinggi!” Anak bujang buru-buru gerak, tapi tanah licin bikin mereka jatuh berkali-kali. Bujang pegang tali kerbau kuat-kuat, tapi satu karung beras tergelincir, jatuh ke lumpur dan hanyut sebelum Malin Rajo sempat ambil.

“Alam, barang kita hilang!” teriak Malin Rajo, suaranya panik.

“Biarkan! Selamatkan yang lain!” balas Alam, dorong kerbau ke bukit kecil di samping jalan. Hujan makin ganas, angin bawa ranting-ranting kecil yang hantam wajah mereka. Mereka akhirnya sampe di tanah yang lebih tinggi, tapi semua basah kuyup, baju menempel di badan, dan barang dagangan penuh lumpur.

Mereka duduk di bawah pohon besar, nafas tersengal. Alam pandang karung-karung yang tersisa—beras basah, kayu manis sedikit lambat terlepas dari ikatan. “Kita kehilangan satu karung,” gumamnya, tangannya mengepal. “Tapi kita masih punya banyak. Kita tak boleh menyerah.”

Hasan memandang ke bawah, wajahnya pucat. “Alam, ini baru hari kedua. Kalau macam ini terus, apa kita sampe?”

Alam tarik napas dalam, ingat mambaco adat dari Tuan Pak Tuo Sani. “Kita sampe, Hasan. ‘Alam takambang jadi guru,’ kata Bundo Sari. Hujan ini guru kita—kita belajar dari sini.”

Sore itu, hujan reda, tapi langit masih gelap. Mereka cari tempat berteduh di gua kecil di sisi bukit. Alam suruh Bujang sama Malin Rajo buat api, sementara Arip sama Malin Kaciak cek barang yang tersisa. Hasan bantu Alam keringkan baju di dekat api yang mulai menyala. “Alam, malam ini kita tidur di sini?” tanya Hasan, suaranya pelan.

“Iyo, Hasan. Kita tak bisa lanjut dalam gelap. Malam ini kita istirahat, minta perlindungan Allah biar besok lebih baik,” jawab Alam, matanya penuh tekad.

Arip mendengus, tapi tak protes. “Minta perlindungan? Hujan tadi macam nak tenggelamkan kita, Alam.”

“Kita masih hidup, Arip,” balas Alam, senyum kecil di wajahnya. “Kita sholat, kita doa. Itu yang diajar Tuan Pak Tuo—jangan cuma harap pada tangan, tapi juga pada Allah.”

Saat waktu Asar tiba, mereka ambil air dari bambu yang tersisa—sungai terlalu jauh dalam hujan—wudu, lalu sholat di atas batu besar di dalam gua. Selesai sholat, mereka duduk dekat api, keringkan badan sambil makan sisa rendang kering. Alam pandang anak bujang satu per satu, lihat wajah mereka yang lelah tapi masih ada api di mata. “Kita hampir sampe separuh jalan,” katanya, suaranya tegas. “Hujan tadi susah, tapi kita kuat. Besok kita lebih siap.”

Malin Kaciak menimpali, “Alam, kau yakin barang kita cukup kalau macam ini lagi?”

Alam hitung dalam hati—satu karung hilang, tapi beras, kayu manis, dan kopi masih ada. “Cukup, Malin. Kita pandai-pandai manjua di pasar. Kita tak pulang bawa cerita sedih,” jawabnya, ingat nasihat Tuan Pak Tuo Sani.

Saat waktu Maghrib tiba, langit sudah gelap penuh, tapi hujan tak turun lagi. Mereka ambil air dari bambu terakhir, wudu, lalu sholat di atas batu di dalam gua. Selesai sholat, Alam pimpin doa malam sederhana, suaranya pelan tapi penuh harap. “Ya Allah, lindungi kami di jalan ini. Ampuni kami kalau ada salah. Buka jalan buat kami bawa harapan nagari pulang.” Anak bujang ikut diam, tangan mereka terangkat, rasakan tenang meski hutan di luar masih penuh suara angin.

Selesai doa, mereka duduk dekat api, bagi sisa lemang kecil yang masih kering. Bujang buka mulut, “Alam, hutan ini macam nak lawan kita. Hujan tadi, suara air—kau tak takut?”

Alam pandang bara api, ingat kata Bundo Sari—‘alam takambang jadi guru.’ “Takut ada, Bujang. Tapi kita tak boleh kalah sama hutan. Kita belajar dari hujan tadi—besok kita cari jalan lebih tinggi, jauh dari sungai.”

Hasan mengangguk, wajahnya mulai tenang. “Iyo, Alam. Kita lebih cerdas sekarang. Hujan tak boleh hentikan kita.”

Malam itu, mereka tidur bergilir, jaga api dan kerbau. Alam ambil giliran terakhir, duduk dekat pintu gua, pandang langit yang mulai cerah. Bintang-bintang muncul pelan, bawa sedikit harap di hati. Dia pegang ladiang, rasakan dinginnya, dan pikir—hujan tadi uji mereka, tapi dia tak akan mundur. Keras hati dia mungkin, tapi itu yang bikin dia terus jalan.

Pagi ketiga, mereka bangun sebelum matahari naik, sholat Subuh di atas batu dengan air sisa dari sungai yang Hasan ambil malam tadi. Selesai sholat, mereka siap lanjut. Hutan masih basah, tapi jalan setapak mulai kering. Alam pandang anak bujang, lihat wajah mereka yang lelah tapi teguh. “Hari ini kita cepat. Bukiktinggi tak jauh lagi,” katanya, suaranya membakar semangat.

Mereka bergerak, kerbau jalan lebih teguh meski muatan berkurang. Saat matahari naik, mereka keluar dari hutan, masuk ke lembah terbuka. Rumput hijau membentang, dan di kejauhan, ada asap tipis—tanda nagari kecil atau pedagang lain. Alam tarik napas lega, tapi tahu perjalanan belum selesai. “Kita sampe sini dulu,” katanya, pandang Hasan. “Tapi kita tak boleh lengah.”

Saat waktu Zuhur tiba, mereka sholat di atas batu di tepi lembah, tikar kecil Hasan jadi alas lagi. Selesai sholat, mereka makan sisa rendang, duduk di rumput sambil pandang jalan yang masih panjang. Arip buka mulut, “Alam, kau rasa barang kita cukup buat bayar pajak?”

Alam hitung lagi—satu karung hilang, tapi masih ada cukup beras, kayu manis, dan kopi. “Cukup, Arip. Kita pandai-pandai manjua di pasar. Nasihat Tuan Pak Tuo aku pegang—kita tak pulang bawa cerita sedih.”

Sore menjelang, mereka lanjut jalan, masuk ke jalan pedagang yang lebih ramai. Ada jejak roda kereta dan tapak kaki—tanda Bukiktinggi dekat. Tapi langit mulai gelap lagi, awan hitam muncul di kejauhan. Alam pandang ke belakang, lihat anak bujang yang masih kuat meski lelah. “Kita cari tempat berteduh malam ini,” katanya. “Besok kita sampe.”

Malam itu, mereka berhenti di bawah pohon besar di tepi jalan, dekat sungai kecil. Waktu Isya tiba, mereka wudu dengan air sungai, sholat di atas batu, lalu duduk dekat api kecil. Alam pimpin doa lagi, minta perlindungan buat hari terakhir. “Ya Allah, bawa kami sampe Bukiktinggi dengan selamat. Bantu kami jaga harapan nagari,” katanya, suaranya penuh keyakinan.

Selesai doa, mereka makan sisa makanan yang tinggal sedikit, bagi-bagi lemang dan rendang kering. Malin Rajo menimpali, “Alam, kau keras hati bener. Hujan tadi tak buat kau goyah.”

Alam tertawa kecil, pertama kali dalam dua hari. “Keras hati mungkin, Malin. Tapi ini buat nagari kita. Kita tak boleh kalah sama hutan atau hujan.”

Hasan ikut tersenyum, “Iyo, Alam. Besok kita sampe, bawa duit pulang.”

Malam itu, mereka tidur dengan harapan baru. Hutan dan hujan sudah uji mereka, tapi Bukiktinggi tinggal selangkah lagi. Alam duduk terakhir, pandang langit gelap, pegang ladiang di pinggang. Dia tahu, besok adalah hari besar—hari yang bakal buktikan dia tak cuma parewa keras hati, tapi anak Minang yang bawa harapan pulang ke Nagari Sago.