Perlakuan Tidak Sama Terhadap Hukum Adat

Sistem hukum adat dan hukum agama sering kali dianggap kurang penting dibandingkan dengan sistem hukum nasional yang lebih formal dan terstruktur. Berikut beberapa poin yang menjelaskan situasi ini:

  1. Hukum Adat:
  2. Hukum adat di Indonesia sangat beragam dan tidak dikodifikasi secara formal. Hukum ini hidup dan berkembang dalam masyarakat adat tertentu dan sering kali hanya dikenal dan diterapkan secara lokal1. Karena tidak adanya kodifikasi, hukum adat sulit diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional yang lebih formal.
  3. Hukum Agama:
  4. Di Indonesia, hukum agama yang telah dikompilasi secara resmi adalah hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam (KHI) digunakan sebagai pedoman dalam pengadilan agama untuk menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan pernikahan, warisan, dan wakaf2. Hukum agama lainnya belum mendapatkan perhatian yang sama dalam bentuk kodifikasi resmi.
  5. Perlakuan sebagai “Anak Tiri”:
  6. Hukum adat dan hukum agama sering kali dianggap sebagai “anak tiri” karena kurangnya pengakuan dan integrasi dalam sistem hukum nasional. Hal ini disebabkan oleh dominasi sistem hukum Barat (Civil Law) yang diadopsi dari Belanda selama masa penjajahan3. Sistem hukum ini lebih mengutamakan kodifikasi dan kepastian hukum yang tertulis, sehingga hukum adat yang bersifat dinamis dan tidak tertulis sering kali terpinggirkan.
  7. Upaya Integrasi:
  8. Ada upaya untuk mengintegrasikan hukum adat dan hukum agama ke dalam sistem hukum nasional. Misalnya, dalam beberapa kasus, pengadilan di Indonesia mempertimbangkan hukum adat dalam putusannya, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan masyarakat adat4.
  9. Ada pula upaya restorative justice, namun menurut pandangan saya itu tidak tepat. Sistem Hukum Adat, Agama dan Nasional seharusnya berdiri sama tinggi sebagai Sistem Hukum yang berlaku di Indonesia dan bukan untuk dilebur.