Oleh ET Hadi Saputra, Pengamat Hukum
13 Agustus 2025
Tanah ulayat itu bukan soal sertifikat. Bukan pula soal duit semata. Ini soal harga diri, soal identitas. Ia adalah warisan mati yang harus menghidupi yang hidup.
Konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 18B ayat (2), sudah jelas: hormati dan akui hak-hak mereka. Selesai? Ternyata tidak. Kita bicara sertifikasi, tapi realitasnya justru membangkang pada konstitusi.
Ambil contoh aturan terbaru BPN. Mereka bilang, tanah ulayat yang sudah terlanjur “dikerangkeng” hak lain—sudah jadi milik perusahaan atau fasilitas umum—tidak bisa lagi diurus pendaftarannya.
Artinya apa? Perampasan di masa lalu disahkan. Negara cuci tangan. Pintu ditutup bagi masyarakat adat untuk merebut kembali tanahnya. Ini jelas-jelas menantang Konstitusi, mengabaikan hak asasi untuk tidak dirampas hartanya.
Belum lagi urusan partisipasi. Aturan dibuat di Jakarta. Masyarakat adat yang punya tanah cuma diajak duduk sebentar, sekadar formalitas. Itu namanya bukan partisipasi yang bermakna, itu namanya akting.
Ini yang paling aneh. Negara mencoba mengintervensi urusan dapur adat. Dibuatlah skema “Hak Milik Bersama Kelompok.” Seolah-olah, negara yang paling tahu cara mengelola hak komunal.
Padahal, hak ulayat itu hak asal-usul, bukan hadiah dari Jakarta. Saat tanah ulayat dikonversi jadi Hak Milik perorangan—untuk alasan kepastian hukum—sifat komunalnya langsung hilang. Mahkamah Agung (MA) pun cenderung menguatkan sertifikat formal negara, meskipun prosesnya merobek adat. Tanah ulayat punah perlahan di atas kertas.
Ketegangan ini diperparah oleh pernyataan pejabat. Masih ingat kata Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid? Beliau pernah bilang, “Tanah Ulayat Bisa Dicaplok Kalau Tak Segera Didaftarkan.”
Terdengar seperti peringatan, tapi sejatinya mencerminkan filosofi negara: Hak itu sah kalau sudah distempel. Padahal, bagi orang adat, hak itu sah karena turun-temurun, karena dihayati, bukan karena dicatat di kantor. Negara menjadikan sertifikat sebagai syarat keberadaan, bukan sekadar alat pembuktian.
Intinya cuma satu: Frasa “Kepentingan Nasional.” Ini kata sakti yang selalu dikeluarkan pemerintah untuk membenarkan pengambilalihan tanah. UUPA memang mensyaratkan hak ulayat harus sesuai dengan kepentingan nasional.
Tapi, kepentingan nasional macam apa yang dibangun di atas penderitaan dan penggusuran hak asasi rakyat? Negara harusnya sadar. Konstitusi sudah berteriak, tapi implementasi kita masih tuli. Jangan biarkan hak konstitusional MHA menjadi sandungan dalam pembangunan. Kita harus adil, sebelum terlambat.








