Bab 5: Keraguan Warga

Pusat Dokumentasi dan Informasi Padang Panjang ET Hadi Saputra

Hari kedua setelah rapat di balai adat dimulai dengan azan Subuh yang lembut dari surau Nagari Sago. Alam bangun dari tikar, ambil air wudu, dan bergegas ke surau bersama Hasan, Bujang, dan Arip. Mereka sholat berjamaah di bawah lampu minyak yang redup, dipimpin Uda Sutan Daud yang suaranya serak tapi penuh khusyuk. Selesai sholat, Alam duduk di serambi, dengar angin pagi yang bawa aroma sawah basah. Pikirannya penuh—hari ini dia harus kumpulkan anak bujang dan barang, tapi dia tahu tak semua warga setuju rencananya.

Pagi itu, setelah matahari naik, Alam panggil Hasan dan Bujang ke gubuknya. Arip datang lambat, masih menguap sambil bawa ladiang kecil yang dia bilang “buat gaya”. Mereka duduk di tanah, rencanakan siapa yang akan ikut ke Bukiktinggi. Tapi belum sempat selesai, suara ramai terdengar dari tengah nagari. Alam berdiri, lihat segerombolan warga mendekat—ada Uda Sutan Mudo, Tuan Engku Jamal, dan beberapa petani lain, wajah mereka penuh kerut dan ketidakpastian.

“Alam, kau nak bawa anak bujang ke Bukiktinggi beneran?” tanya Uda Sutan Mudo, suaranya keras seperti biasa. Dia berdiri dengan tangan di pinggang, baju destarnya penuh debu sawah.

“Iyo, Uda Sutan. Kita kumpulkan beras sama kayu manis hari ini, besok kita berangkat,” jawab Alam, tangannya memegang ladiang di pinggang. Dia tak mundur, meski lihat wajah Uda Sutan Mudo tak suka.

Tuan Engku Jamal melangkah maju, suaranya lebih pelan tapi berat. “Alam, aku tahu kau punya hati buat nagari. Tapi ini bahaya. Jalan ke Bukiktinggi penuh risiko—bandit, hutan, banjir kalau hujan datang. Apa kau pikir ini bakal berhasil?”

Alam menarik napas dalam, matanya tajam. “Tuan Engku, aku tak bilang ini gampang. Tapi kalau kita tak coba, apa lagi yang kita punya? Belanda tak kasih kita waktu. Sawah kita diambil kalau kita tak bayar pajak.”

Uda Sutan Mudo mendengus. “Kau bilang gampang, Alam! Dagang itu bukan cuma bawa barang terus jual. Kau tahu harga pasar? Kau tahu jalan yang aman? Kau ini parewa, bukan pedagang!”

Hasan melangkah maju, tak tahan dengar Uda Sutan Mudo. “Uda Sutan, Alam tak sendiri. Kami ikut, kami pikir bareng. Kita tak nak nagari ini habis.”

Tapi Uda Sutan Mudo tak mundur. “Kalian anak bujang, tak punya pengalaman! Kalau gagal, barang kita hilang, duit tak ada, nagari tambah susah. Ini gila!”

Alam mengepalkan tangan, tapi suaranya tetap tenang. “Uda Sutan, aku tahu kau tak percaya aku. Tapi aku tak nak nagari ini mati pelan-pelan. Kalau kau punya cara lain, bilang sekarang.”

Uda Sutan Mudo diam, cuma melotot. Tuan Engku Jamal menghela napas, lalu bilang, “Alam, kami tak bilang kau salah. Tapi warga takut. Kami butuh jaminan kau tak bawa bencana.”

Sebelum Alam jawab, suara langkah pelan terdengar. Pak Tuo Sani datang, deta hitamnya sedikit miring, tangannya bertumpu pada tongkat. Di belakangnya ada Bundo Sari, matanya tajam seperti biasa. Warga langsung diam, hormat pada Ninik Mamak dan Bundo Kanduang.

“Alam, kau punya rencana. Tapi warga ragu. Itu wajar,” kata Pak Tuo Sani, suaranya pelan tapi penuh wibawa. “Makanya, sebelum kau berangkat, kita buat batagak doa sederhana malam ini di surau. Kita kasih restu adat, minta perlindungan Allah buat kau sama anak bujang.”

Alam mengangguk, lega dengar Pak Tuo Sani dukung. “Iyo, Pak Tuo. Aku setuju. Kami butuh doa, tapi kami juga bakal kerja keras.”

Bundo Sari tersenyum kecil. “Kau ini, Alam. keras tapi ada akal. Batagak doa tak cuma doa—ini tanda kau dipilih nagari buat jaga kami. Jangan buat kami malu.”

Warga masih bisik-bisik, tapi keraguan mereka sedikit reda. Uda Sutan Mudo cuma mendengus lagi, tapi tak bilang apa-apa. Alam tahu, tak semua bakal setuju, tapi restu Ninik Mamak sama Bundo Kanduang cukup buat dia lanjut.

Saat matahari tepat di atas kepala, azan Zuhur berkumandang. Alam ajak Hasan, Bujang, dan Arip sholat di masjid dekat gudang, ambil wudu dari kolam kecil di samping. Selesai sholat, mereka lanjut kumpulkan barang—beras dari gudang, kayu manis yang Bujang ambil dari bukit pagi tadi. Tapi pikiran Alam tak tenang—keraguan warga masih terasa seperti bayangan di hatinya.

Sore menjelang, Aisyah datang lagi, kali ini bawa air dalam bambu buat Alam sama anak bujang. “Aku dengar warga ragu sama kau,” katanya pelan, matanya menatap Alam.

“Iyo, Yah. Tapi aku tak mundur,” jawab Alam, ambil bambu dari tangan Aisyah. “Malam ini ada batagak doa di surau. Kau datang, ya?”

Aisyah mengangguk kecil. “Aku datang sama ibu. Tapi kau janji, Alam—hati-hati di jalan.”

“Janji,” kata Alam, senyumnya lembut meski hatinya penuh beban.

Malam tiba, dan surau penuh sesak. Azan Maghrib berkumandang, semua sholat berjamaah, lalu batagak doa dimulai. Pak Tuo Sani pimpin doa, tangannya memegang sirih dalam carano kecil—lambang adat Minang. Bundo Sari taburkan beras kunyit ke kepala Alam dan anak bujang yang ikut: Hasan, Bujang, Arip, plus dua lagi, Malin Rajo dan Malin Kaciak, yang setuju sore tadi. Warga duduk melingkar, beberapa bawa lemang dan rendang buat bajamba setelah doa selesai.

“Alam, kau dipilih nagari buat cari jalan,” kata Pak Tuo Sani, suaranya khidmat. “Ini bukan cuma dagang—ini soal marwah kita. Jangan lupo itu.”

Alam mengangguk, rasakan berat tanggung jawab di pundaknya. “Iyo, Pak Tuo. Aku tak lupo. Kami berangkat besok, bawa restu nagari.”

Selesai batagak doa, warga makan bajamba dalam talam besar, suasana sedikit cair meski keraguan masih ada di mata Uda Sutan Mudo dan beberapa petani. Alam duduk di sudut, pandang Hasan yang ngobrol sama Arip. Aisyah lambat bawa talam kecil ke dekatnya, taruh rendang tambahan.

“Kau orang kuat, Alam. Tapi jangan terlalu keras hati,” katanya pelan, lalu pergi sebelum Alam sempat jawab.

Malam itu, Alam pulang ke gubuknya, pikirannya penuh. Keraguan warga masih ada, tapi batagak doa bikin dia yakin—ini langkah pertama buat buktikan dia tak cuma parewa keras hati. Dia pegang ladiang, rasakan dinginnya, lalu pandang langit gelap. Besok, perjalanan dimulai, dan dia tak akan mundur.