Janji vs Realitas

Indonesia di Bawah Sorotan Kritis

Hari ini tanggal 2 Maret 2025, saya menyelesaikan menyimak Materi Retreat Kepala Daerah – Akmil Magelang 21-28 Februari 2025. Anda dapat mengunduhnya disini https://drive.google.com/drive/folders/19DMU0JGQfGUT_ujl-hYX-SY2DNi3RwmG?usp=sharing.

Saya melihat Indonesia dari lensa kritis yang mempertanyakan berbagai kebijakan pemerintah. Dimulai dari pidato Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024, saat pelantikannya, yang menegaskan bahwa Indonesia milik semua rakyat, dari Sabang sampai Merauke. Tapi, apakah janji manis itu benar-benar tercermin di lapangan?


1. Indonesia Milik Semua, Tapi Wong Cilik Masih Merana

Presiden bilang, negara ini bukan milik kelompok tertentu, baik itu suku, agama, atau golongan. Tapi, lihat kenyataannya: kesenjangan antara kaya dan miskin masih lebar. Data terbaru dari Sekretariat Kabinet (Maret 2024) bilang angka kemiskinan turun jadi 9,03% dari 9,36% setahun sebelumnya, dan ketimpangan (koefisien Gini) juga membaik jadi 0,379. Kedengarannya bagus, tapi Oxfam bilang Indonesia masih negara keenam dengan ketimpangan kekayaan terbesar di dunia. Orang-orang di desa, yang disebut “wong cilik”, masih susah dapat akses listrik, internet, bahkan jalan yang layak. Jadi, retorika “milik semua” ini terasa kosong kalau keadilan sosial cuma jadi slogan.


2. APBN: Bikin Mercusuar atau Bantu Rakyat?

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seharusnya jadi alat untuk bikin hidup rakyat lebih baik. Tapi, sering kali duitnya habis buat proyek besar yang megah-megah, seperti bandara atau jalan tol, yang kurang dirasakan manfaatnya sama rakyat kecil. Belum lagi, korupsi dan pemborosan masih jadi penyakit kronis. Menurut laporan, seperempat kementerian pernah kebobolan anggaran karena disalahgunakan. IMF bilang defisit anggaran kita memang terjaga di 2,4% PDB tahun 2022, tapi kalau duitnya cuma numpang lelet di proyek tak berguna, apa kabar rakyat?


3. Harga Barang Naik, Pemda Kemana?

Pemerintah Daerah (Pemda) punya tugas jaga harga barang biar rakyat tak kepayahan. Tapi, inflasi di daerah sering lebih tinggi dari angka nasional. Januari 2025, inflasi nasional turun jadi 0,76%, tapi di banyak daerah, harga beras atau cabai bisa melonjak jauh lebih tinggi. Ini menunjukkan koordinasi antara Jakarta dan daerah masih lelet. Rakyat yang rugi, karena dompet mereka makin tipis.


4. SDM Unggul: Impian atau Kenyataan?

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 janji bikin Sumber Daya Manusia (SDM) yang hebat. Tapi, pendidikan dan kesehatan kita masih tertatih. Bank Dunia bilang Indeks Modal Manusia kita cuma 0,53 – artinya, anak-anak kita lahir dengan potensi yang kurang maksimal karena pendidikan dan gizi buruk. Sekolah banyak, tapi kualitasnya timpang. Belum lagi, sikap pragmatis dan hedonisme mulai menggerus nilai-nilai moral anak muda. Jadi, SDM unggul ini masih jauh di mata.


5. Lawan TBC dan Perbaiki Sekolah: Langkah Maju atau Jalan di Tempat?

Program penanganan tuberkulosis (TBC) dan perbaikan sekolah jadi prioritas. Bagus sih, karena Indonesia nomor dua dunia soal jumlah kasus TBC. Tapi, di lapangan, akses ke dokter atau obat di desa-desa masih susah. Sekolah juga sama: banyak yang diperbaiki, tapi di daerah terpencil, bangunannya masih reyot, dan guru kurang terlatih. Kalau cuma bikin kebijakan tanpa eksekusi, ya cuma jadi “macan kertas”.


6. Belajar Digital: Maju Tapi Tertinggal

Digitalisasi pembelajaran dijanjikan jadi kunci SDM hebat. Tapi, coba tanya anak di pedalaman Papua atau NTT: ada internet nggak? Data bilang, 73 juta orang Indonesia belum pakai internet sampai 2022. Listrik aja masih byar-pet di banyak tempat. Guru juga banyak yang gagap teknologi. Kalau alat dan pelatihannya nggak sampai ke semua pelosok, program ini cuma manis di kota.


7. Hemat Anggaran: Bantu Rakyat atau Malah Susahkan?

Presiden minta anggaran dipakai hemat untuk hal penting, dan Pemda diminta potong belanja yang nggak perlu. Kedengarannya bijak, tapi jangan sampai malah motong program yang rakyat butuh, seperti subsidi atau bantuan sosial. IMF bilang kebijakan hemat ini bikin ekonomi kita stabil, tapi tantangan global seperti perang dagang bisa bikin kita goyah kalau salah langkah.


8. Kepala Daerah: Pemimpin atau Pengkhianat?

Kepala Daerah punya peran gede: jaga daerah aman, kelola duit dengan bener, dan bikin inovasi. Tapi, banyak yang malah korup atau sibuk main politik. Studi bilang kasus korupsi di daerah naik sejak desentralisasi, dari suap kecil sampai proyek besar. Kalau kepala daerah nggak punya integritas, impian daerah maju cuma jadi omong kosong.


9. Sampah Bencana: Aturan Ada, Tapi Pelaksanaan Mana?

Aturan soal sampah bencana udah ada di Permen LHK No 1 Tahun 2024. Tapi, lihat pas banjir atau gempa: sampah numpuk, baru diberesin setelah semua reda. Koordinasi antara pusat dan daerah lelet, dan tempat pembuangan akhir (TPA) sering penuh. Sampah harus dipilah dan diolah bener, tapi di lapangan, sistemnya masih amburadul.


10. Data Kependudukan: Digital Maju, Tapi Masih Berantakan

Data penduduk penting buat bikin kebijakan dan layanan publik. Identitas Kependudukan Digital (IKD) udah dipakai 12,3 juta orang per Oktober 2024, tapi masalah teknis dan birokrasi masih bikin pusing. Belum lagi, keamanan data sering dipertanyakan. Kalau Kepala Daerah nggak serius jaga ini, data rakyat bisa bocor atau nggak kepakai maksimal.


11. Perbatasan: Kaya Potensi, Miskin Perhatian

Perbatasan negara harusnya jadi aset, tapi masih banyak masalah: batas wilayah belum jelas, perdagangan lintas batas nggak optimal, dan potensi lokal kayak kayu atau ikan kurang digarap. Ada rencana besar 2020-2024, tapi koordinasi antarlembaga dan dukungan Pemda masih lemah. Akibatnya, daerah perbatasan lebih sering jadi beban ketimbang kebanggaan.


12. Korupsi: Musuh yang Nggak Mati-mati

Korupsi masih jadi penyakit akut. Kepala Daerah harus jadi teladan, tapi malah banyak yang jadi pelaku. Dari suap kecil sampai proyek miliaran, duit rakyat hilang entah kemana. Tata kelola yang bersih dan adil cuma jadi jargon kalau nggak ada tindakan nyata.


Saatnya Berbenah

Semua yang disebutkan diatas harus menjadi tamparan keras buat pemerintah. Ada progres, seperti kemiskinan turun atau digitalisasi maju, tapi tantangan gede masih numpuk: korupsi, akses buruk di desa, dan koordinasi yang lelet. Data bilang kita punya potensi, tapi kalau cuma janji tanpa kerja keras, Indonesia adil dan makmur cuma jadi mimpi. Saatnya para pemimpin, dari Jakarta sampai kampung, buktikan omongan mereka dengan tindakan nyata.