Jauh dari lorong-lorong gelap Bukittinggi dan rimba belantara yang menjadi saksi bisu perjuangan Alam dan kawan-kawannya, di sebuah kantor berdinding putih bersih dengan jendela-jendela tinggi yang menghadap ke alun-alun kota, seorang pria Belanda bertubuh ramping dengan rambut pirang yang mulai menipis di bagian depan tengah menatap tajam ke arah peta besar wilayah Agam yang terbentang di atas meja mahoni kokoh. Pria itu adalah Tuan Willem van der Stel, Kontrolir yang baru beberapa bulan bertugas di Dataran Tinggi Minangkabau. Di usianya yang baru menginjak tiga puluh lima tahun, ia dikenal sebagai pejabat yang ambisius, penuh perhitungan, dan memiliki obsesi besar terhadap ketertiban serta efisiensi pendapatan bagi Pemerintah Hindia Belanda. Nasihat Haji Saleh tentang “Tuan Kontrolir baru yang sangat ketat aturannya” [Bab 12] merujuk padanya.
Ruangan kantornya terasa sejuk, kontras dengan udara Bukittinggi yang terkadang bisa begitu terik. Kipas langit-langit dari anyaman bambu berputar perlahan, digerakkan oleh seorang bujang pribumi yang berdiri diam di sudut ruangan. Di atas meja Tuan Kontrolir, selain peta, bertumpuk pula laporan-laporan berkala, catatan-catatan pajak, dan beberapa surat resmi berstempel lilin merah.
Tuan van der Stel menghela napas panjang, jemarinya yang lentik mengetuk-ngetuk permukaan peta, tepat di area sekitar Nagari Sago dan beberapa nagari kecil lainnya yang menurut catatannya masih “kurang kooperatif” dalam hal penyerahan hasil bumi dan kepatuhan terhadap aturan-aturan baru yang ia berlakukan.
“Demang Rustam!” panggilnya dengan suara yang tidak keras namun penuh otoritas.
Seorang pria Minangkabau berusia paruh baya, mengenakan destar dan baju teluk belanga yang rapi, segera masuk dari pintu samping, membungkuk hormat. Ia adalah Demang Rustam, salah satu pejabat pribumi yang diangkat Belanda untuk membantunya mengurus administrasi dan menjaga “ketertiban” di antara penduduk lokal.
“Ada perintah, Tuan Kontrolir?” tanya Demang Rustam dengan nada suara yang dibuat sebawah mungkin.
“Bagaimana perkembangan laporanmu mengenai nagari-nagari di lereng Gunung Sago itu?” tanya van der Stel, matanya masih terpaku pada peta. “Terutama Nagari Sago. Aku dengar mereka baru saja berhasil mengirimkan kafilah dagang yang cukup besar ke pasar ini dan kembali dengan hasil yang lumayan, meski ada sedikit ‘insiden’ di sungai.”
Wajah Demang Rustam sedikit menegang mendengar pertanyaan itu. Kabar tentang keberhasilan Alam dan kawan-kawan, meskipun sudah berusaha ia redam, ternyata sampai juga ke telinga Kontrolir. “Benar, Tuan. Beberapa pemuda dari Nagari Sago memang datang berdagang. Namun, menurut laporan mata-mata kita, mereka hanya pedagang kecil biasa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan secara khusus.”
Van der Stel tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya yang dingin. “Pedagang kecil biasa, katamu? Pedagang kecil yang berhasil menembus hutan, menghadapi para penyamun, dan kembali dengan cukup uang untuk mungkin… membayar pajak mereka yang tertunggak, atau lebih buruk lagi, untuk membiayai bibit-bibit pembangkangan?” Ia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di depan meja.
“Nagari Sago itu,” lanjutnya, “dan beberapa nagari tetangganya, terlalu lama dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Mereka masih terikat kuat pada adat lama mereka yang kolot, menghambat kemajuan yang ingin kita bawa. Produksi kopi dan lada dari wilayah itu juga tidak pernah maksimal setorannya ke gudang Pemerintah.”
“Lalu, apa rencana Tuan Kontrolir?” tanya Demang Rustam hati-hati.
Van der Stel berhenti di depan jendela, memandang ke arah Gunung Marapi yang menjulang gagah di kejauhan. “Aku sudah menyiapkan sebuah peraturan baru mengenai perdagangan hasil bumi dari nagari-nagari pedalaman. Semua hasil panen utama seperti kopi, lada, dan cengkeh harus dijual melalui pos-pos perdagangan yang ditunjuk Pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan. Tidak ada lagi penjualan langsung ke pasar Bukittinggi oleh perorangan atau kelompok kecil tanpa izin khusus.”
Demang Rustam terkesiap. “Tapi, Tuan… itu akan sangat memberatkan para petani kecil. Mereka akan kehilangan kebebasan untuk mencari harga terbaik.”
“Kebebasan?” Van der Stel tertawa sinis. “Kebebasan yang mereka maksud adalah kebebasan untuk menghindari pajak dan kewajiban kepada Pemerintah yang sah. Peraturan ini bertujuan untuk menertibkan, Demang. Menertibkan perdagangan, meningkatkan pendapatan Pemerintah, dan tentu saja, meningkatkan ‘kesejahteraan’ mereka dengan cara yang lebih teratur.” Ada penekanan khusus pada kata ‘kesejahteraan’ yang terdengar penuh ironi.
“Selain itu,” lanjut Tuan Kontrolir, kembali ke mejanya dan mengambil selembar kertas berisi catatan, “aku ingin kau mempersiapkan sebuah tim ekspedisi kecil. Bukan tim militer yang mencolok, cukup beberapa orang kepercayaanmu, didampingi oleh satu atau dua sersan Belanda untuk ‘pengamanan’. Tugas mereka adalah melakukan ‘survei dan pendataan’ di wilayah lereng Gunung Sago itu. Peta ini harus diperbarui. Kita perlu tahu potensi sebenarnya dari setiap jengkal tanah di sana, jalur-jalur tersembunyi yang mungkin mereka gunakan, dan tentu saja, siapa saja tokoh-tokoh berpengaruh di nagari-nagari itu yang bisa ‘diajak bekerja sama’ atau yang perlu ‘diperhatikan lebih saksama’.”
Intrik itu mulai terlihat jelas. Tuan Kontrolir tidak hanya ingin mengendalikan ekonomi melalui peraturan perdagangan baru yang mencekik, tetapi juga ingin memperkuat cengkeraman fisiknya dengan memetakan wilayah dan mengidentifikasi potensi perlawanan atau kerjasama. Nagari Sago, dengan keberhasilan dagang Alam yang mungkin dianggap sebagai simbol kemandirian, kini masuk dalam radar utamanya.
“Tim survei ini juga bertugas untuk ‘mengingatkan’ para kepala nagari tentang kewajiban mereka,” tambah van der Stel. “Sampaikan bahwa Tuan Kontrolir yang baru sangat peduli dengan kemajuan mereka, dan kemajuan itu dimulai dengan kepatuhan.”
“Kapan tim ini akan diberangkatkan, Tuan?”
“Secepatnya. Seminggu dari sekarang. Pastikan orang-orangmu adalah mereka yang bisa dipercaya dan tidak banyak bicara. Aku tidak ingin ada kegaduhan sebelum waktunya.” Ia menyerahkan kertas berisi beberapa instruksi detail kepada Demang Rustam. “Dan mengenai pemuda-pemuda dari Nagari Sago yang baru kembali itu… awasi mereka. Cari tahu berapa persisnya uang yang mereka bawa, dan untuk apa uang itu akan digunakan. Jika ada tanda-tanda bahwa uang itu akan dipakai untuk hal-hal yang ‘tidak produktif’, aku ingin segera mendengarnya.”
Demang Rustam menunduk dalam. “Baik, Tuan Kontrolir. Akan saya laksanakan.”
Ketika Demang Rustam keluar dari ruangan itu, Tuan Willem van der Stel kembali menatap peta. Jarinya kini melingkari area Nagari Sago dengan pensil merah. Senyum tipis penuh kepuasan terukir di bibirnya. Ia merasa seperti seorang pemain catur ulung yang sedang mengatur bidak-bidaknya untuk sebuah skakmat yang tak terhindarkan. Baginya, penduduk pribumi hanyalah pion-pion yang harus digerakkan demi kepentingan Kerajaan Belanda dan ambisi pribadinya. Ia tidak tahu bahwa salah satu “pion” dari Nagari Sago, seorang pemuda keras hati bernama Alam, baru saja berhasil melewati berbagai rintangan dan kini membawa harapan yang bisa mengacaukan semua perhitungannya.
Sementara itu, ratusan mil dari kantor sang Kontrolir, Alam dan kawan-kawannya tengah berjuang menembus kembali lebatnya hutan menuju kampung halaman. Mereka belum menyadari bahwa di pusat kekuasaan kolonial, sebuah jaring baru tengah ditebar, siap menjerat nagari mereka dalam intrik yang lebih besar dan lebih berbahaya daripada sekadar bandit hutan atau penjahat pasar. Bayangan Tuan Kontrolir, dengan segala peraturan dan rencana liciknya, akan segera menjadi ancaman nyata yang harus mereka hadapi.