Bab 6: Langkah Pertama

Pusat Dokumentasi dan Informasi Padang Panjang ET Hadi Saputra

Pagi di Nagari Sago terasa beda. Langit masih gelap saat azan Subuh berkumandang dari surau, tapi udara sudah penuh harap dan ketegangan. Alam bangun lebih awal, ambil air wudu dari tempayan, dan bergegas ke surau. Baju destarnya yang hitam sudah dicuci bersih malam tadi, celana galembongnya rapi meski sedikit usang. Di surau, dia ketemu Hasan, Bujang, Arip, Malin Rajo, dan Malin Kaciak—semua anak bujang yang akan ikut ke Bukiktinggi. Mereka sholat berjamaah, dipimpin Uda Sutan Daud, lalu duduk di serambi, dengar suara kerbau yang sudah disiapkan di luar.

Selesai sholat, Tuan Pak Tuo Sani dan Bundo Sari datang ke surau, bawa carano kecil berisi sirih dan kapur. Warga lain ikut berkumpul, beberapa bawa karung beras dan kayu manis yang sudah diikat rapi. Hari ini adalah hari keberangkatan, dan sebelum Alam sama anak bujang pergi, Tuan Pak Tuo Sani bilang akan ada mambaco adat—nasihat terakhir dari Ninik Mamak buat jaga marwah nagari.

“Duduklah, anak bujang,” kata Tuan Pak Tuo Sani, suaranya pelan tapi penuh wibawa. Alam dan yang lain duduk melingkar, warga berdiri di belakang, pandang mereka dengan campuran harap dan takut. “Hari ini kau berangkat, Alam. Tapi sebelum itu, aku nak mambaco adat, biar kau ingat siapa kau dan apa yang kau bawa.”

Alam mengangguk, tangannya memegang ladiang di pinggang. “Iyo, Tuan Pak Tuo. Aku dengar baik-baik.”

Tuan Pak Tuo Sani ambil sirih dari carano, kunyah pelan, lalu mulai bicara. “Kau ini anak Minang, Alam. Adat kita bilang, ‘nan bulek dilampokkan, nan pipih dikatokan’—artinya, kau harus cerdas, sesuaikan diri sama keadaan. Jalan ke Bukiktinggi tak gampang, tapi kau tak boleh lupo—kau bawa nama nagari. Kalau kau berhasil, marwah kita naik. Kalau kau gagal, jangan bawa malu.”

Bundo Sari menimpali, matanya tajam tapi lembut. “Kau sama anak bujang ini macam harimau di rimba, Alam. Kuat, tapi harus hati-hati. Jangan gegabah, tapi jangan takut. Ingat, ‘alam takambang jadi guru’—belajar dari apa yang kau lihat di jalan.”

Alam diam, rasakan berat kata-kata itu. Hasan memandang ke bawah, Arip cuma garuk kepala, tapi Bujang mengangguk pelan. Tuan Pak Tuo Sani lanjut, “Kau bawa barang nagari—beras, kayu manis, kopi. Itu bukan cuma dagangan, tapi harapan kami. Jaga baik-baik, pandai-pandai manjua. Pulang bawa duit, bukan cerita sedih.”

Selesai mambaco adat, Tuan Pak Tuo Sani taruh carano di depan Alam, tanda restu selesai. Warga bertepuk tangan pelan, lalu bantu angkat barang ke punggung kerbau. Alam berdiri, pandang anak bujang yang sudah siap—ladiang di pinggang, kain kecil di pundak buat lap keringat.

“Terima kasih, Tuan Pak Tuo, Bundo Sari,” kata Alam, suaranya tegas. “Kami tak lupo nasihat ini. Kami berangkat sekarang.”

Matahari mulai naik, dan rombongan kecil itu bergerak. Dua kerbau penuh muatan—karung beras, ikatan kayu manis, dan sedikit kopi kering—berjalan lambat di depan. Alam sama Hasan pimpin di muka, Bujang dan Malin Rajo jaga samping, sementara Arip sama Malin Kaciak di belakang, awasi barang. Warga lihat mereka pergi, ada yang melambai, ada yang cuma diam.

Jalan setapak keluar nagari penuh lumpur, tapi langkah mereka teguh. Saat matahari tepat di atas kepala, azan Zuhur terdengar samar dari surau. Mereka berhenti di tepi sawah, ambil air dari sungai kecil buat wudu, lalu sholat di atas batu dengan tikar kecil yang dibawa Hasan. Selesai sholat, mereka duduk sejenak, makan lemang sisa dari batagak gala malam tadi.

“Alam, kau yakin kita sampe Bukiktinggi tiga hari?” tanya Arip, suaranya penuh tanya sambil kunyah lemang.

“Iyo, Arip. Jalan ini lambat, tapi aman. Pedagang lain biasa lewat sini,” jawab Alam, pandang ke hutan lebat di kejauhan. “Kita jaga barang, jaga diri. Nasihat Tuan Pak Tuo aku ingat—kita harus cerdas.”

Hasan mengangguk, tapi matanya gelisah. “Bandit, Alam. Kalau mereka datang, apa kita lawan?”

“Kalau terpaksa, iyo,” kata Alam, tangannya menepuk ladiang. “Tapi kita coba hindari dulu. ‘Nan bulek dilampokkan,’ kata Tuan Pak Tuo. Kita cari jalan pinter.”

Sore menjelang, mereka masuk hutan kecil. Pohon-pohon tinggi tutup sinar matahari, bikin udara sejuk tapi penuh suara aneh—burung, angin, dan sesekali ranting patah. Alam awasi sekitar, tangannya siap pegang ladiang. Bujang jalan lambat di samping kerbau, pastikan tali muatan tak lepas. Tiba-tiba, Malin Kaciak berbisik, “Alam, aku dengar suara dari belakang.”

Semua berhenti, dengar baik-baik. Angin bawa suara samar—langkah kaki, mungkin manusia, mungkin binatang. Alam angkat tangan, suruh semua diam. “Hasan, kau sama Arip awasi depan. Bujang, Malin Rajo, jaga kerbau. Aku sama Malin Kaciak lihat apa itu.”

Dengan hati-hati, Alam sama Malin Kaciak mundur ke belakang, sembunyi di balik pohon. Suara makin dekat—dua orang, bawa parang biasa, wajah mereka penuh debu. Bukan bandit, cuma pencari kayu dari nagari lain, lambat jalan cari kayu bakar. Alam keluar, angkat tangan tanda damai.

“Assalamualaikum, Uda,” sapa Alam, hormat meski waspada.

“Waalaikumsalam, nak,” jawab salah satu, yang rambutnya sudah beruban. “Kalian ke mana bawa kerbau?”

“Ke Bukiktinggi, Uda. Dagang,” jawab Alam singkat. “Jalan ini aman tak?”

Pencari kayu itu mengangguk. “Aman sampe malam. Tapi hati-hati kalau hujan—jalan licin, banjir kecil bisa datang.”

“Terima kasih, Uda,” kata Alam, lalu balik ke rombongan. Dia lega, tapi tahu perjalanan masih panjang.

Matahari mulai tenggelam, dan mereka cari tempat istirahat di tepi hutan. Azan Maghrib tak terdengar di sini, tapi Alam tahu waktunya. Mereka ambil air dari sungai, wudu, lalu sholat di atas batu, tanpa surau kali ini. Selesai sholat, mereka buat api kecil, duduk melingkar, dan makan rendang kering yang dibawa Aisyah kemarin.

“Alam, ini baru hari pertama,” kata Bujang, suaranya pelan. “Kau rasa kita bisa?”

Alam pandang api, ingat mambaco adat tadi pagi. “Iyo, Bujang. Kita bisa. Nasihat Tuan Pak Tuo sama sama Bundo Sari aku pegang—kita cerdas, kita kuat. Langkah pertama ini cuma awal.”

Malam itu, mereka tidur bergilir, jaga kerbau dan barang. Alam duduk terakhir, pandang langit penuh bintang. Hatinya penuh tekad—Bukiktinggi masih jauh, tapi dia tahu, setiap langkah bawa harapan nagari. Keras hati dia mungkin, tapi itu yang bikin dia terus jalan, apa pun yang menanti.